Amerika serikat telah menandatangani sebuah pernyataan pada 6 Desember 2017 lalu. Pernyataan tersebut memuat pengakuan Amerika serikat bahwa Yerusalem merupakan ibukota Israel. Keputusan presiden Amerika Serikat.
Dalam pidatonya di Gedung Putih, Rabu (06/12), Presiden Trump mengatakan ‘sudah saatnya untuk mengakui secara resmi Yerusalem sebagai ibu kota Israel’. Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel telah memicu kecaman global dari para pemimpin dunia.
Mengingat keputusan itu akan menghambat proses perdamaian antara Israel-Palestina serta melanggar berbagai perjanjian internasional. Di tambah lagi pada 14 Mei 2018 lalu Amerika secara terang-terangan mendirikan kedutaan besarnya di Yerusalem Diaman hal ini memicu situasi yang semakin memanas dan bergejolak di kawasan Israel dan Palestina.
Sekitar 850 ribu orang tinggal di Yerusalem—37 persen adalah Arab dan 61 persen adalah Yahudi—menurut wadah pemikir independen, Jerusalem Institute. Populasi Yahudi mencakup sekitar 200 ribu Yahudi ultra-Ortodoks, dan sisanya dipisah antara Zionis religius dan Yahudi sekuler. Dari populasi Arab di kota itu, 96 persen adalah Muslim; 4 persen lainnya adalah umat Kristen. Mayoritas penduduk Palestina tinggal di Yerusalem Timur. Meski pun terdapat beberapa lingkungan campuran di Yerusalem dimana orang Israel dan Arab tinggal, namun sebagian besar lingkungannya terpisah.
Status terakhir Yerusalem selalu menjadi salah satu pertanyaan paling sulit dan sensitif dalam konflik Israel-Palestina. Selama bertahun-tahun, kebijakan Amerika adalah untuk menghindari menyatakan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dengan tidak adanya kesepakatan damai antara Israel-Palestina, karena Palestina juga mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota mereka. Dikatakan bahwa sebuah keputusan sepihak dapat merusak konsensus internasional dan menetapkan suatu masalah yang seharusnya diselesaikan melalui perundingan.
Dari kebijakan yang di buat oleh Amerika ini, menbulkan banyak kontroversi dan kritikan dari berbagai pihak yang menyatakan bahwa Yerusalem bukanlah ibukota Israel atau tidak seharusnya di jadikan ibukota Israel. Lalu apa alasan sebenarnya dari banyak nya penolakan terhadap keputusan AS ini? kenapa Yerusalem tidak dapat di jadikan sebagai ibukota Israel?
Pertama , Di bawah Rencana Pemisahan PBB 1947 untuk membagi Palestina antara negara-negara Yahudi dan Arab, Yerusalem diberikan status khusus dan dimaksudkan untuk ditempatkan di bawah kedaulatan dan pengawasan internasional. Status khusus didasarkan pada kepentingan religius Yerusalem terhadap tiga agama Abraham.
Dalam perang tahun 1948, setelah keluar rekomendasi PBB untuk membagi Palestina, pasukan Zionis menguasai bagian barat kota tersebut dan mendeklarasikannya sebagai wilayah Israel.
Kemudian, pecah perang tahun 1967, Israel merebut bagian timur Yerusalem, yang berada di bawah kendali Yordania pada saat itu, dan mulai menguasainya dengan menabrak hukum internasional.
Pada tahun 1980, Israel mengesahkan hukum Yerusalem, yang menyatakan bahwa seluruh Yerusalem adalah ibukota Israel dengan demikian meresmikan aneksasi Yerusalem Timur. Dewan Keamanan PBB kemudian mengeluarkan Resolusi 478 pada tahun 1980, yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut batal demi hukum. Aneksasi ilegal Israel terhadap Yerusalem Timur melanggar beberapa prinsip di bawah hukum internasional, yang menjelaskan bahwa kekuasaan pendudukan tidak memiliki kedaulatan di wilayah yang didudukinya. Makanya, semua kedutaan besar berbasis di Tel Aviv.
Kedua, Posisi masyarakat internasional. Masyarakat internasional, termasuk Amerika Serikat, secara resmi menganggap Yerusalem Timur sebagai wilayah yang diduduki. Selain itu, tidak ada negara di dunia yang mengakui bagian Yerusalem sebagai ibukota Israel, kecuali Rusia, yang mengumumkan pengakuannya atas Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel awal tahun ini.
Israel menduduki Yerusalem Timur pada akhir Perang 1967 dengan Suriah, Mesir dan Yordania; bagian barat kota suci telah direbut dalam perang Arab-Israel 1948. Pendudukan Israel di Yerusalem Timur telah menempatkan seluruh kota di bawah kendali Israel secara de facto. Yurisdiksi Israel dan kepemilikan Yerusalem, bagaimanapun, tidak diakui oleh masyarakat internasional, termasuk Amerika Serikat. Status Yerusalem tetap menjadi salah satu poin utama dalam upaya menyelesaikan konflik Palestina-Israel.
Ke tiga, Nasib warga Palestina di Yerusalem Meskipun ada penggabungan Israel secara de facto di Yerusalem Timur, orang-orang Palestina yang tinggal di sana tidak diberi kewarganegaraan Israel. Saat ini, sekitar 420.000 warga Palestina di Yerusalem Timur memiliki kartu identitas tinggal permanen.
Meskipun memiliki paspor Yordania tapi tidak diberikan nomor identifikasi nasional. Ini berarti bahwa mereka bukan warga Yordania seutuhnya dan memerlukan izin untuk bekerja di Yordania dan tidak memiliki akses terhadap layanan dan manfaat pemerintah seperti pengurangan biaya pendidikan.
Warga Palestina di Yerusalem pada dasarnya tanpa kewarganegaraan, mereka bukan warga negara Israel, juga bukan warga Yordania atau Palestina. Jika Israel mengklaim dan mencaplok Yerusalem, maka akan membuat warga Palestina di wilayah itu semakin terpuruk. Israel memperlakukan orang-orang Palestina di Yerusalem Timur sebagai imigran asing.
Mereka diharuskan memenuhi persyaratan tertentu untuk mempertahankan status kependudukan mereka dan hidup dalam ketakutan terus-menerus. Adapun menurut lembaga penelitian strategis Jerusalem Institue, sekitar 850 ribu orang tinggal di Yerusalem, 37 persen di antaranya keturunan Arab dan 61 persen Yahudi. Dari populasi Yahudi, sebanyak 200 ribu di antarnya merupakan ultra Yahudi Ortodoks, dan sisanya umumnya Yahudi sekuler. Dan sebagian besar, 96 persen penduduk kota Arab ini Muslim dan sekitar 4 persen penganut Kristen.
Ke empat, Nasib penduduk Palestina di luar Yerusalem Setiap orang Palestina yang tinggal di luar batas-batas wilayah Yerusalem untuk jangka waktu tertentu, baik di luar negeri atau bahkan di Tepi Barat, berisiko kehilangan hak mereka untuk tinggal di sana. Jika Yerusalem menjadi ibukota abadi Israel, maka menyulitkan penduduk wilayah itu untuk dapat kembali.
Selama ini Israel memberlakukan semena-mena terhadap penduduk Yerusalem di luar. Mereka yang tidak dapat membuktikan bahwa pusat kehidupan mereka ada di Yerusalem dan mereka telah tinggal di sana secara turun temurun, kehilangan hak mereka untuk tinggal di kota kelahiran mereka.
Mereka harus menyerahkan puluhan dokumen termasuk akta, kontrak sewa, dan slip gaji. Sejak 1967, Israel telah mencabut status 14.000 warga Palestina, menurut kelompok hak asasi manusia B’Tselem. Sementara setiap orang Yahudi di seluruh dunia menikmati hak untuk tinggal di Israel dan untuk mendapatkan kewarganegaraan Israel di bawah Hukum Kembali Israel.