Penghematan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia beberapa waktu lalu mulai menjadi perhatian. Dengan titah Presiden Jokowi yang menginginkan pemberhentian ekspor bahan mentah, hal itu bertujuan untuk mengantisipasi kekosongan SDA saat infrastruktur fisik maupun non fisik sudah siap digunakan sepenuhnya. Pernyataan ini dipublikasikan di Republika.
Pembahasan industrialisasi di Indonesia erat kaitannya dengan persepsi masyarakat mengenai penjajahan alam. Konteksnya sama seperti eksploitasi SDA, penggusuran lahan pertanian, dan lainnya. Padahal, bisa jadi ketika Indonesia tidak melakukan industrialisasi, lahan pertanian dan pemanfaatan SDA memiliki nilai ekonomi yang rendah. Memberikan kebermanfaatan yang kecil baik bagi masyarakat maupun penerimaan negara.
Lahan pertanian Indonesia makin tahun kian berkurang. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tahun 2020 luas panen padi mengalami penurunan jika dibandingkan tahun 2019. Yakni sebesar 10,66 juta hektar dari 10,68 juta hektar. Kemerosotan luas panen ini rasionalnya juga menurunkan jumlah produksi bahan pertanian -mengabaikan perubahan budaya tanam.
Profitabilitas pertanian erat hubungannya dengan sumber-sumber pertanian (INDEF) yakni resources endowment, kualitas pendidikan atau sumber daya manusia, kemampuan dan teknik budidaya dan sistem produksi, penguasaan teknologi baru dan laju inovasi, serta faktor-faktor lain.
Artinya, menyusutnya lahan pertanian dapat dibarengi dengan perubahan faktor-faktor tersebut dalam tren positif. Misalnya, penurunan luas lahan pertanian diatasi dengan peningkatan penggunaan teknologi baru dalam proses penanaman. Hal ini dapat membuat suatu tanah menjadi lebih produktif.
Penggunaan sumber daya yang modern di pertanian Indonesia juga masih minim. Masih dilakukan secara konvensional dan tidak efektif. Cara ini dinilai tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan Indonesia dengan populasi penduduk yang besar. Eksperimen pada teknologi pertanian yang saat ini umum dibicarakan adalah mengenai pertanian presisi, pertanian vertikal, dan smart farming.
Tanaman selain beras seperti hasil perkebunan juga mengalami nasib serupa. Namun kabar baiknya, hasil perkebunan masih memiliki kinerja ekspor yang cukup baik. Tetapi, kinerja ekspor ini belum tentu menjadi kabar baik. Sebab yang diekspor oleh Indonesia masih berupa bahan mentah.
Di sisi lain, Indonesia kembali mengimpor barang tersebut dalam bentuk lain, misalnya dalam bentuk makanan kemasan. Indonesia melakukan impor barang-barang dari hasil kebun mereka sendiri. Maka, bisa jadi Indonesia justru mengalami kerugian pada ekspor netonya.
Kasus serupa juga ditemukan di bahan alam seperti karet, nikel, dan lainnya. Barang yang diekspor tentu barang yang masih mentah. Nilai jualnya hanya dihargai sebagai barang mentah sehingga bernilai kecil. Kemudian, Indonesia mengimpor kembali barang mentah tersebut menjadi barang jadi dengan nilai yang jauh lebih tinggi.
Hasil perkebunan serta bahan tambang yang diekspor oleh Indonesia nyaris tidak memiliki nilai tambah. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki sumber daya yang minim untuk mengolahnya. Sumber daya ini dapat berupa banyak hal, di antaranya adalah modal, kualitas sumber daya manusia, dan teknologi. Hal itu bisa diupayakan dengan adanya restrukturisasi perekonomian Indonesia.
Restrukturisasi perekonomian dimaknai sebagai perubahannya komposisi ekonomi dari sektor pertanian menuju sektor industri dan jasa. Meski begitu, sektor pertanian tidak serta merta ditinggalkan. Melainkan tetap dipertahankan dan dikembangkan sebagai input bagi sektor industri.
Pengalihan fokus perekonomian tersebut didukung pula oleh animo masyarakat yang rendah untuk bertani. Data BPS menyatakan bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian kian tahun kian menurun.
Pada tahun 1985, sektor pertanian menjadi sumber pekerjaan bagi 56% masyarakat Indonesia. Namun per 2020, jumlah itu menurun menjadi hanya 29,8% saja. Berbanding terbalik dengan sektor jasa yang pada tahun 1985 hanya menyerap 35%, kini dapat menyerap hingga 55,5%.
Sedangkan sektor industri, yang hal ini meliputi manufaktur dan pertambangan pada 1985 hanya menyerap 9%, secara stabil meningkat di 14,7% pada 2020. Pertumbuhan tersebut memang masih rendah. Hal ini dapat didongkrak dengan dorongan pada sektor manufaktur yang merupakan industri padat karya.
Di samping semakin menurunnya animo masyarakat untuk bertani, produktivitas petani di Indonesia memang tergolong kecil. Lahan garapan yang sempit dapat digarap oleh banyak orang (buruh tani), sehingga setiap orang tidak bekerja secara penuh. Hal ini berbanding terbalik dengan petani di negara maju. Satu orang petani dapat menggarap lahan tani yang cukup luas, sehingga petani tersebut bekerja secara penuh dan produktif. Memang jika membicarakan hal ini akan berkaitan dengan kualitas petani itu sendiri serta inklusifitas lahan pertanian.
Alih-alih memaksa generasi muda untuk terjun ke pertanian, sebaiknya memberikan input serta kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat yang memang minat dan niat untuk bertani.
Substitusi impor, atau penggantian penggunaan barang impor dengan barang dalam negeri, tidak terjadi dalam waktu yang cepat. Butuh tahapan bagi sektor manufaktur untuk memperkuat pondasinya. Proteksi dari pemerintah dibutuhkan pula agar barang buatan Indonesia dapat bersaing secara harga dengan barang buatan luar -mengingat Indonesia tidak serta merta dapat menutup keran impor.
Memang masalah kesejahteraan Indonesia tidak serta merta selesai dengan industrialisasi. Jika industrialisasi tersebut benar terjadi di Indonesia, ada banyak tantangan yang akan dihadapi. Ada banyak pembahasan baru yang akan muncul. Persoalan persaingan barang di pasar internasional akan menunggu Indonesia.
Setidaknya kita, masyarakat Indonesia, tak melulu menjadi bangsa yang mengkonsumsi, melainkan dapat juga menjadi bangsa yang memproduksi. Memiliki ekonomi yang kuat dengan masyarakatnya yang berdaya.