Rapat paripurna mengenai pembahasan RUU Pemilu akhirnya telah berakhir, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan RUU Pemilu menjadi UU Pemilu. Hasil keputusan rapat paripurna dengan terpilihnya Paket A dari kelima Paket, Paket A yang terdiri dari; Presidential Threshold (20-25%), Parliamentary Threshold (4%), Sistem Proporsional Terbuka, Alokasi Kursi 3-10, Metode Konversi Suara (Sainte Lague Murni). Hal tersebut dianggap sebagai jalan menuju penguatan sistem demokrasi Indonesia, dan diharapkan mampu meningkatkan efektifitas dan efisiensi seluruh elemen baik Pemerintah, Parlemen dan masyarakat dalam menjalankan proses pemilu 2019.
Rapat paripurna yang diselenggarakan pada Rabu (20/7) penuh dengan ironi, pasalnya dengan keluarnya fraksi Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat dari rapat tersebut atau yang biasa disebut dengan “Walk Out”. Keluarnya fraksi oposisi disebabkan karena ketidaksepakatan terkait besaran ambang batas pilpres, argumentasi ketidaksepakatan terus dikeluarkan oleh Muhammad Syafi’i yang merupakan anggota fraksi Gerindra saat rapat paripurna berlangsung. Ia menganggap bahwa ketentuan ambang batas presidensial yang menjadi objek voting tidak bersifat konstitusional, hasil pemilu legislatif 2014 yang kemudian digunakan sebagai Presidential Threshold di pemilu 2019. Ketentuan itu pun dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Berkaitan dengan putusan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008 yang terbit atas dasar pengujian materi undang-undang No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dijelaskan, bahwa penyelenggaran pemilu pada tahun 2019 dilakukan secara serentak, pemilu legislatif dan eksekutif harus dilakukan secara bersama-sama. Ini merupakan upaya untuk memperkuat sistem presidential di Indonesia. Peraturan ini merupakan terobosan dari Pemerintah dan parlemen untuk memperkuat sistem politik di Indonesia. Disisi lain, aturan tersebut memberikan dampak yang signifikan bagi partai politik, di mana partai politik yang ikut dalam kontestasi pemilu mampu memperkuat dan mempertahan koalisi antar partai politik lainnya.
Tentunya, koalisi yang akan dibangun antar partai politik dilakukan jauh hari sebelum pemungutan suara dalam pemilu berlangsung. Koalisi yang dibangun sejak dini merupakan koalisi yang cukup strategis berkaca pada pemilu sebelumnya, dimana koalisi di dalam parlemen terlihat tidak sinergis dan cenderung menjadi koalisi yang pragmatis. Selama ini partai pengusung presiden yang terpilih tidak bisa mendominasi perolehan kursi di parlemen. Akibatnya terjadi koalisi semu di parlemen, karena koalisi baru terbentuk setelah presiden terpilih.
Muncul pertanyaan paling mendasar terkait hubungan antara pemilu serentak dengan UU Pemilu yang baru disahkan khususnya pada ambang batas pilpres (20-25%). Lantas, rujukan yang mana dan seperti apa yang dijadikan parameter pada ambang batas pilpres 2019? Dengan permasalahan tersebut menjadi sebuah polemik tersendiri bagi internal parlemen, karena dianggap tidak konstitusional jika ambang batas pilpres mempunyai nominal didalamnya, maka dari itu Presidential Threshold sebagai ancaman besar bagi jalannya pesta demokrasi.
Ancaman Presidential Threshold
Aturan pemilu serentak yang akan diselenggarakan pada tahun 2019 begitu bersinggungan pada ambang batas pilpres. Dengan disepakatinya besaran ambang batas pilpres 20-25%, maka besaran tersebut mengambil rujukan pada hasil pemilu legislatif yang mana? Jika pemilihan umum dilakukan secara serentak.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli menganggap, sangat tak masuk akal apabila Pilpres 2019 harus mengacu pada hasil Pemilu Legislatif saat Pemilu 2014 sebagai syarat agar partai politik bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Padahal dinamika politik antara Pemilu 2014 dengan Pemilu 2019 akan sangat berbeda. Apabila menggunakan pemilu 2014 sebagai rujukan, tentunya hal ini menguntungkan bagi partai pemenang saat itu karena partai yang menang tidak perlu berupaya keras dalam mencalonkan presiden dan wakil presiden.
Hasil rapat paripurna (20/7), dengan Presidential Threshold sebesar 20%-25% menyebabkan pemilihan umum 2019 terancam tidak demokratis. Muncul tendesi terhadap pemangkasan partai politik, dengan dalih bahwa harus ada penyederhanaan partai politik agar stabilitas politik terjaga. Kebebasan berserikat yang merupakan prinsip demokrasi menjadi tak bernyawa lagi, khususnya pada partai politik baru yang terancam kesulitan mengikuti kontestasi pemilu 2019.
Pemilu 2014 sebagai rujukan ambang batas presiden dan wakil presiden akan menyebabkan partai-partai besar mempunyai potensi menghegemoni kontestasi perpolitikan nasional. Seperti kita ketahui pada pemilu 2004 sampai 2014, partai politik yang mampu mendulang suara banyak pada hasil pemilu legislatif selalu mengalami perubahan. Ini adalah bukti bahwa, jika pemilu 2014 dijadikan sebagai rujukan dalam menentukan partai politk yang lolos dari ambang batas presiden, maka hal itu tidak relevan lagi mengingat pada pemilu 2019 pemilihan dilakukan secara serentak.
Pemilu menjadi peranan penting dalam mengukur tingkat demokratisasi suatu negara. Jika kemudian Presidential Threshold telah disepakati dalam sidang paripurna pada Rabu (20/7) lalu, maka hal tersebut akan menghambat perjalanan demokrasi yang telah dibangun sejak lama.
https://nasional.tempo.co/read/news/2017/07/20/078892978/alasan-gerindra-tolak-voting-ruu-pemilu
http://news.okezone.com/read/2017/06/14/337/1715481/perludem-norma-presidential-threshold-tak-usah-dimasukkan-dalam-revisi-uu-pemilu