Dalam sistem pemerintahan demokrasi yang kita anut, menarik kiranya jika kita mencoba membincangkan persoalan eksistensi oposisi. Mengingat sedikitnya tulisan yang membahas tentang eksistensi oposisi. Diakui ataupun tidak, oposisi merupakan keniscayaan dalam sistem pemerintahan sebagaimana kita anut hari ini.
Sebelum berbicara banyak tentang oposisi dan keberadaannya, maka alangkah lebih baiknya, kita menengok kembali apa yang dimaksud oposisi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), oposisi adalah partai penentang di dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa.
Oposisi sebagai kelompok politik terorganisasi yang memberikan pandangan yang berbeda dengan pemerintah, sangat urgen keberadaannya untuk mengontrol kebijakan-kebijakan dan keputusan politik penguasa. Tentu keberadaannya harus dalam rangka mewujudkan pembangunan masyarkat yang berkeadilan dan berkemajuan, bukan yang lain.
Jadi kepentingan partai atau kelompok oposisi harus sejalan dengan kepentingan umum, bukan kepentingan pribada ataupun kelompoknya. Ia harus menempatkan dirinya sebagai kelompok yang membela kepentingan-kepentingan rakyat di hadapan penguasa yang tidak pro terhadap rakyat.
Dalam persoalan oposisi, Al-Ghazali yang popular sebagai seorang sufi yang digandrungi kaum Ahlussunnah wal-Jamaah dan kitab magnum opusnya “Ihya Ulumuddin” terus dijadikan rujukan utama di pesantren-pesantren (baca: Nusantara), juga tidak lupa memberikan pandangannya tentang oposisi.
Pandangan Al-Ghazali tentang oposisi seharusnya dijadikan rujukan utama oleh kelompok dan partai oposisi di negeri ini, tentang bagaimana mereka sebenarnya harus ber-oposisi. Mengingat kelompok dan partai oposisi hari ini, seringkali mendaulat dirinya sebagai kelompok yang paling Islami dan paling pro akan kepentingan umat Islam dari pada kelompok dan partai yang lain (baca: partai pendukung penguasa).
Menurut Al-Ghazali, sikap oposan dalam batas-batas tertentu dibenarkan eksistensinya selama hal itu bertujuan demi kemaslahatan umum (baca: rakyat) dan masih dalam bingkai amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh pada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
Tentu yang dimaksud oposisi disini adalah bentuk oposisi yang tidak menyimapang, baik dilihat dari tujuannya maupun caranya. Karena pada kenyataannya, menurut beliau, ada oposisi yang tujuannya baik tetapi cara-cara yang dilakukannya tidak baik. Atau sebaliknya, ada oposisi yang melakukan cara-cara yang sopan serta santun tetapi tujuannya tidak baik, bahkan banyak yang bertentangan dengan prinsip amar ma’ruf nahi mungkar.
Dalam pandangan Islam sebagaimana yang disampaikan Al-Ghazali, tujuan dan cara-cara yang dilakukan partai atau kelompok oposisi harus baik dan benar. Itu semua harus dilakukan, demi terwujudnya kemaslahatan bersama, yaitu umat dan bangsa.
Menurut beliau, oposisi yang diperlukan adalah oposisi yang sejalan dengan amar ma’ruf nahi munkar, bukan oposisi asal-asalan. karena pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar merupakan faktor paling urgen dalam beragama dan berbangsa.
Yang perlu digaris bawahi dalam pandangan Al-Ghazali diatas adalah “oposisi demi kemaslahatan umum dan dalam bingkai amar ma’ruf nahi munkar.” Bila kita mencermati keberadaan oposisi hari ini, jauh panggang dari apa yang disampaikan oleh beliau diatas. Pesan yang disampaikan beliau nyaris tidak terlihat dalam laku keseharian oposisi kita.
Partai dan kelompok oposisi kita hari ini lebih doyan mengedepankan kepentingan-kepentingan partai dan kelompoknya dari pada kepentingan dan kemasalahatan umum. Kelompok ini lebih sering mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan partai dan kelompoknya dari pada yang merugikan rakyat.
Misalnya bisa dilihat ketika presidential treshould disyaratkan presiden dan wakil presaiden dicalonkan parpol atau gabungan parpol yang minimal memiliki 20 persen kursi diDPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu legislative sebelumnysa, betapa ngototnya partai oposisi menolak keputusan ini.
Pertemuan antara petinggi partai pun digelar (SBY-Prabowo) untuk menyikapi keputusan ini. SBY menuding pemerintah telah melakukakan abuse of power. Dan dia menegaskan, bahwa dirinya dan prabowo akan mengawal jalannya pemerintahan sehingga tidak ada penyalahgunaan kekuasaan.
Atau bisa dilihat, manakala partai dan kelompok oposisi di awal pemerintahan Jokowi-JK, dengan gagahnya merebut semua “pimpinan”’ di gedung parlemen. Mulai dari pimpinan DPR, MPR dan DPD pada waktu itu. Alih-alih demi rakyat, tapi ternyata demi partai dan kelompoknya masing-masing. Dengan begitu, akan begitu mudahnya mereka merecoki setiap kebijakan pemerintah.
Mengawal dan mengkritisi pemerintah itu adalah sesuatu yang baik, tetapi jika dimaksudkan untuk kemaslahatan umum (baca: rakyat). Sebaliknya, menjadi sangat tak terpuji, jika pengawalan dan kritik itu hanya bertujuan melindungi kepentingan partai dan kelompoknya.
Sebagaimana yang ditunjukkan oleh kedua elit partai tersebut. Alih-alih demi membela kepengtingan rakyat, mereka terlalu sering mencatut nama rakyat dalam setiap kritikannya terhadap pemerintah.
Saya menilai, rakyat selalu dijadikan tabir dan perisai demi mencapai hasrat politik partai dan kelompok oposisi di negeri ini. Rakyat kita sudah cerdas menilai, mana yang murni untuk rakyat dan mana yang murni untuk partai dan kelompoknya. Jadi tidak usah berpura-pura.
Oposisi di negeri ini memang selalu menjengkelkan. Mereka seringkali berteriak lantang manakala kepentingannya terusik. Menuduh pemerintah mengkriminalisasi ulama, anti Islam dan membunuh demokrasi. Tetapi, apakah pernah mereka berteriak lantang, ketika kepentingan rakyat yang terusik oleh kebijakan pemerintah? Jawabanya, tidak.
Ketika harga bahan pokok melambung naik, tarif listrik mencekik rakyat dan pemerintah doyan mengimpor barang-barang dari pada mengekspor, nayaris suara lantang mereka tidak terdengar sedikitpun.
Seakan mereka menutup mata dengan kebijakan yang menyengsarakan rakyat kecil itu. Banyak cara-cara dan tujuan-tujuan oposisi yang tidak baik dan pola-pola yang dilakukannya pun jauh panggang dari apa yang disampaikan oleh Al-Ghazali.
Saran saya untuk partai dan kelompok oposisi, jangan terburu-buru mengklaim diri sebagai kelompok oposisi yang peduli terhadap rakyat dan umat Islam pada khususnya dan mengklaim yang lain (baca; partai yang pro pemerintah) sebagai kelompok yang tidak pro rakyat serta anti Islam, sebelum kalian mampu merealisasikan apa yang disampaikan Al-Ghazali tentang bagaimana seharusnya oposisi itu bersikap.