“Islam itu agama teroris! Islam itu tidak mendukung kebebasan kaum wanita!”
“Buktinya?”
“Kau lihat, tuh, kelompok Taliban di Afghanistan. Dari mana ajaran mereka kalau bukan dari Islam?”
Islam kerap sekali menjadi sasaran empuk para sumbu pendek pembaca judul tanpa dilihat isi kebenarannya. Dan Taliban, sebagai kelompok radikal yang membuat peraturan dengan semena-mena di Afghanistan, membawa nama Islam sebagai junjungannya. Kaum naif menuduh sesukanya, Taliban yang dituduh bersembunyi di balik agama.
Saya juga sempat termakan omong kosong mereka. Yang bicara dengan mulut besar namun berotak kopong. Apa benar yang dikatakan orang banyak, bahwa Islam—agamaku—setega itu? Ditambah lagi dengan pengakuan dari para kelompok Taliban dengan menyebutkan diri mereka sebagai Islam Sunni yang taat. Tapi saya tak henti berpikir secara multi-perspektif.
Banyak referensi yang menjadi pencerahan saya dalam berkelana menguak kebenaran yang sebenar-benarnya. Salah satunya dari novel non-fiksi karya Agustinus Wibowo, seorang backpacker Indonesia keturunan Tionghoa yang berpaham non-muslim. Salah satu bukunya yang saya baca berjudul “Selimut Debu”. Bercerita tentang perjalanan si penulis dalam menyusuri pelosok-pelosok Afghanistan yang penuh debu dan mesiu.
Selepas membacanya dengan hikmat dan penuh kesadaran, saya dapat menyimpulkan satu hal: bahwa kebejatan Taliban bukanlah berakar dari Islam!
Sedikit pranala. Taliban adalah gerakan nasionalis Islam Sunni dari Afghanistan yang berdiri sejak 1994 dan runtuh di 2001. Para aktivisnya tak lain adalah etnik Pashtun yang juga sebagai etnik mayoritas di Afghanistan. Dalam kungkungannya, Taliban sudah banyak melanggar HAM bagi rakyat Afghanistan. Mengharuskan setiap wanita menggunakan burqa, melarang kaum perempuan menuntut ilmu di sekolah, bekerja, dan lainnya. Secara umum, mereka melarang penggunaan peralatan apa pun yang diciptakan dari karya umat non-muslim. Mereka juga memenggal, merajam, membunuh pada siapa saja yang telah melakukan tindakan kriminal.
Tahukah kalian, bahwa sebagian besar pengikut Taliban berasal dari etnik Pashtun? Benarkah demikian? Dan apa itu Pashtun?
Bangsa Pashtun adalah sekelompok orang yang disinyalir berasal dari Makedonia dan merupakan keturunan Iskandar Agung. Di teori yang lain disebutkan bahwa bangsa Pashtun berasal dari Bani Israel ke-13. Nama Pashtun berasal dari Pashtunawi, yang berarti kehormatan yang kental dan masih ditekuni oleh para pengikutnya.
Seperti namanya, orang-orang Pashtun (khususnya di daerah Kandahar, Afghanistan), mempunyai nilai-nilai yang dijunjung tinggi hingga kini, bahkan tidak lekang oleh waktu dan modernisasi yang menjadi salah satu unsur kemajuan dunia. Keprimitifan mereka inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Taliban. Perlu diingat! Tidak semua bangsa Pashtun punya perilaku yang serupa itu. Mereka adalah bangsa yang taat dan keras akan aturan budayanya sejak turun-temurun. Ada yang baik, ada yang tidak. Beberapa elemen tatanan hidup yang ditaati etnik Pashtun di antaranya:
Melmasha (keramahtamahan). Mereka sangat mengutamakan keramahtamahan pada orang lain, khususnya musafir. Setiap ada orang asing yang datang ke wilayah mereka, dengan senang hati para Pashtun menjamunya dengan segala hal. Bahkan mereka lebih mengutamakan para tamu ketimbang keluarganya sendiri.
Badal (keadilan). Nah, dari sinilah timbul berbagai tindakan kontroversial dari mereka. Sebagai etnik Pashtun, Taliban berdiri dengan “keadilan” yang dibawanya untuk rakyat Afghanistan. Setiap pelaku kriminal mereka bantai tak manusiawi. Perempuan tak ber-burqa menjadi sasaran. Kegiatan yang tidak diajarkan dalam Islam, dilarang keras. Entah dari mana Islam begitu rupa.
Nang (kehormatan). Ada tiga unsur kehormatan yang harus dijaga oleh bangsa Pashtun. Yang pertama adalah Zan atau wanita. Walau para wanita Pashtun “dibungkus” burqa besar-besar seolah terkurung, tapi sejatinya niat mereka untuk melindungi wanita memang bukan bualan belaka. Kedua ada Zir atau harta. Setiap harta milik pribadi adalah sebuah kehormatan yang harus dijaga. Setiap usaha yang mereka berikan haruslah dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Ketiga adalah Zamin (tanah). Tanah bangsa Pashtun adalah titipan Tuhan yang harus dilindungi sehidup semati.
Sharam (rasa malu). Sebuah aib yang mereka perbuat sebisa mungkin untuk tidak diumbar-umbar. Hal-hal yang begitu tabu dalam pandangan mereka sebisanya tidak dikerjakan. Hukum akan terus menghantui bagi siapa yang melanggarnya.
Keempat poin di atas bukanlah kilahan tak terbukti. Jika saja ada orang yang menodai empat kehormatan di atas, niscaya hukum keras akan jatuh kepadanya. Bahkan nyawa bukanlah hal yang berharga lagi ketika itu. Namun, di tengah kegarangan mereka, ada nanawatai, yaitu penyesalan dari setiap hal yang mereka lakukan dan dianggap salah. Permintaan maaf bisa menjadi penolong mereka dari maut jika korban mau memaafkan.
Islam tidak berlaku seperti tindakan ekstrem orang-orang Taliban. Pashtun juga bukanlah budaya sejahat yang kita bayangkan. Kesucian Islam dengan ketegasan Pashtun membuat terjadinya akulturasi bagi dua hal tersebut. Kaum Taliban mencampur aduk sesuka hati dengan membawa nama agama di dalamnya. Hingga kesalahpahaman pun terjadi. Siapa lagi yang disalahkan kalau bukan kelompok yang paling besar, yaitu Islam?
Akulturasi boleh saja ada. Tapi perlu ditekankan bahwa percampuran dua budaya yang berbeda jauh, seharusnya tidak terjadi. Agama tidak bisa bercampur dengan budaya jika aturan yang tertera dalam budaya tersebut melanggar etika agama. Begini jadinya. Tetapi jika mereka punya rasam yang sejalan, itu bukan masalah.
Singkatnya, aktivis Taliban membuat aturan dan kebijakannya sendiri. Di satu sisi, mereka seorang Islam Sunni. Di sisi lain, mereka juga taat oleh budaya Pashtun yang keras dan sudah mendarah daging. Setiap larangan yang ada dalam Islam mereka jalankan, itu benar. Tapi dengan menggabungkan antara agama dan budaya, itu salah besar!
Sesungguhnya agama itu tidak mengikat, tidak ada paksaan darinya untukmu. Namun, agama itu akan selalu ada dalam sanubari sekali pun kita tidak sedang berada di jalannya. Sedangkan budaya tidak harus kamu ikuti jika tidak baik.
Berpikirlah secara multi-persepktif. Berpikir dari berbagai macam sudut pandang, teliti hingga matang, jangan menjadi orang bodoh yang suka menentang.
Sumber website : https://id.wikipedia.org/wiki/Pashtun
Sumber buku : Wibowo, Agustinus. 2010. Selimut Debu. Jakarta:Gramedia.