Bom bunuh diri sambut pagi di Surabaya. Tidak berapa lama, video kamera pengintai yang merekam kejadian sudah banyak terunggah di Youtube dan tersebar di media sosial. Sekali lagi, kita disajikan tontonan mengenai hasil tindakan biadab dari pelaku teror: asap, puing dan darah.
Kini, media sosial memudahkan kita untuk mengakses atau mensirkulasikannya. Namun, kita musti sadari, para pelaku teror memang menginginkan agar aksi mereka dapat disaksikan oleh mata kita.
Hasrat eksibisionis para pelaku teror menjadi satu asumsi dasar dalam kajian terorisme: dimensi performatif adalah sisi lain dari tujuan politis yang ingin dicapai. Sadar atas arena dan laga petarungan yang asimetris, pelaku tidak memaksudkan aksinya sebagai upaya meraih kemenangan secara taktis.
Menyasar para jemaat dan gereja tidak akan menjadikan Surabaya dalam sekejap jatuh dalam penguasaan mereka. Namun, menyasar jemaat dan gereja dengan aksi bom bunuh diri akan segera memaku perhatian para audiens atas liputan berita, perbincangan atau video aksinya, dibandingkan tayangan lainnya.
Apa yang ingin dicapai tidak lain, melempar penafsiran pada audiens, sekaligus memapankan jebakan atasnya yang mungkin tidak kita sadari.
Menerka Sembari Teriring dalam Jebakan
Kembali pada hasil pertunjukan aksi teror pagi tadi, apa yang kita rasakan ketika menyaksikan, perempuan dengan anaknya tiba-tiba meledakan dirinya di depan gerbang gereja?
Jika menyaksikan unggahan di media sosial, sikap moral: mengutuknya – karena memang itu perbuatan terkutuk yang mutlak, mendominasi laman. Namun, jangan-jangan, di luar dari laman media sosial, ada juga yang menghaturkan pujian. Kutukan dan pujian yang muncul secara bersama menunjukan para pelaku teror membatasi perannya sebagai penampil. Penafsirannya sepenuhnya diserahkan pada para audiens.
Lantas, apakah itu berpengaruh terhadap kinerja kelompok pelaku teror? Saya menduga, tidak ada! Mereka sadar, cercaan opini publik atau orang yang kemudian tertarik untuk mengulurkan tangan secara nyata setelah melihat aksinya, tidak akan membantu upaya mereka untuk lolos dari perburuan pihak berwenang.
Sementara jejaring pelaku teror tadi pagi sibuk menyembunyikan diri, di saat bersamaan kita –para audiens, tergiring pada jebakan ambiguitas dari aksi yang mereka ciptakan. Pernyataan tanggung jawab pelaku teror adakalanya baru disampaikan beberapa waktu setelah aksi, atau bahkan setelah proses penyidikan, itupun masih ada misteri yang belum sepenuhnya terungkap, tapi seketika para audiens menyaksikan tayangan aksi teror, proses- proses penafsiran berjalan. Sayangnya, apakah kita sadari, proses penafsiran pada umumnya sudah terperangkap dalam suatu batasan simbolis?
Batasan simbolis yang mengarahkan penafsiran para audiens, sayangnya, tidak imajinatif. Sembari mengenang peristiwa bom Thamrin, penafsiran yang kita lakukan pada peristiwa kali ini merupakan pengulangan pola dari sebelumnya. Penafsiran yang dominan, tidak lagi menafsirkan siapa pelakunya sebab asumsi atasnya sudah mempunyai asosiasi yang kuat, meski belum terbukti secara fakta, bermula dari pemaknaan peristiwa.
Dugaan yang luas beredar, perisitiwa aksi bom gereja di Surabaya mempunyai tali merah dengan peristiwa penyanderaan Mako Brimob, keputusan AS untuk memindahkan kedubes Israelnya ke Jarusalem, bahkan perhelatan pertemuan ulama Indonesia, Afghanistan, dan Pakistan, untuk pada akhirnya sebagai persiapan untuk meneror perhelatan Asian Games 2018, perhelatan yang mempertaruhkan wajah negara ini di panggung internasional.
Selanjutnya, penafsiran atas aksi melompat pada urusan teknis. “Kebobolan” aksi-aksi teror yang terjadi belakangan disebabkan ketidaktegasan presiden dalam memerangi teror, tidak dilibatkannya TNI, tiadanya payung hukum dan perundangan untuk melakukan penanganan dini, hingga persoalan perlunya mensertifikasi para ahli agama, agar dapat meminimalisirkan munculnya para ideolog di masa mendatang.
Apa yang mengemuka di atas, kita secara tidak sadar sudah melangkah ke dalam jebakan. Mengapa? Apa yang kita tafsirkan luput untuk mengeksplorasi lebih jauh mengapa terjadi. Sebagian dari kita langsung mengarahkan telunjuk pada kelompok radikal yang secara diyakini secara natur adalah musuh kemanusiaan. Selanjutnya, sebagian dari kita sebatas memasang #kitatidaktakut sebagai ekspresi empati dan pernyataan sikap.
Masalahnya, adakah kita menduga apa yang kita lakukan sesungguhnya sudah diperkirakan oleh para pelaku teror, sehingga secara tidak langsung kita berperan dalam pelestarian habitat ideologi teror? Toh, kenyataannya, #kitatidaktakut dalam tempo dua atau tiga hari akan berganti dengan hashtag-hashtag lainnya.
Kurasi atas Aksi Teror
Satu dilema yang kita sadari, keterjebakan dalam permainan simbolis pelaku teror, tidak lain disebabkan oleh praktik kurasi atas teror. Sebagai penampil yang sembarang memperhelatkan aksinya, para pelaku teror yang adalah “anarkis yang terorganisir,” sebagaimana dikategorikan oleh Scott Atran, antropolog yang mengkaji teroris, menyadari situasi setelah proses kurasi akan secara otoritatif berasal dari retorika negara.
Masalahnya, kurasi yang diproduksi negara adakalanya mempunyai kesenjangan dengan kehidupan kita sehari-hari. Hal ini disebabkan pada kontradiksi di dalam tubuh negara, yaitu pertimbangan politis menyebabkan produksi narasi tidaklah lugas. Simaklah, berulang kali pesan melawan terorisme disampaikan pada tataran yang bersifat abstraksi: musuh bagi kemanusiaan, ancaman keamanan negara, dan sebagainya.
Kenyataan yang terjadi dalam keseharian, segala narasi itu sekadar menjadi kosa wacana di benak kita. Mungkin, prasangka dan stereotip yang beroperasi secara nyata, akibat menjadi sempalan atributif atas narasi di atas. Akibatnya, kita menjadi berhati-hati untuk mengelaborasinya, sebab adanya kemungkinan akan dimaknai sebagai upaya menyinggung suatu keyakinan.
Sialnya, kurasi yang kita lakukan, para audiens umum, senantiasa berada pada lingkup kurasi yang diproduksi oleh negara. Kita sendiri luput untuk mengidentifikasi kelompok teror yang senyatanya nyatanya teramat intim dengan cara kita hidup dalam sehari-hari.
Kita cenderung merujuk pada gambaran popular, bahwa pelaku teror adalah “orang berbahaya dengan kemampuan organisatoral yang disiplin.” Padahal, sebagaimana teramati oleh Scott Atran, para pelaku teror “orang biasa,” sedari remaja bermasalah hingga seorang ayah, yang juga terpengaruhi oleh relasi dan nilai sosial yang kita terima pula. Selain itu, akibat pandangan popular di atas, kita tidak menyadari jika kelompok teror telah bertransformasi sebagai kelompok yang “tujuan yang ambigu dan tidak konsisten, pragmatis dalam beraksi berdasarkan trial and error dari aksi sebelumnya.”
Inilah yang menjadi krusial atas produksi kurasi oleh negara dan pereproduksiannya kembali oleh audiens umum. Empati dan konsensus moral gagal secara lugas menyasar akar pemasalahan yang memang teramat rumit dari aksi teror, maupun menghindari perangkap ambiguitas yang membuat kita ragu untuk secara berani mengungkapkan, bila ada yang keliru dalam penafsiran keyakinan suatu kelompok.
Meskipun kita menulis #kitatidaktakut, ketakutan sudah menyusup dalam tubuh kita untuk berani mengungkapkan. Tujuan suatu aksi teror.