Sabtu, April 27, 2024

Akses Listrik dan PLTS yang Ternoda

denun
denun
Blogger, pekerja LSM

Lima tahun terakhir, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) bak jamur di musim hujan. Dia merambah lekuk kampung pegunungan, pesisir hingga pulau terluar atas nama pembangunan dan pemerataan akses listrik.

Triliunan dana digelontorkan Pemerintah dan donor asing per lima tahun terakhir. Pertanyaannya, bagaimana memastikan umur panjang PLTS berbiaya gede nan rumit itu sementara kapasitas dan akseptasi warga sangat cekak? Kemampuan teknis personal dan organisasi pengelola belum tersedia?

Bagaimana bisa Pemerintah menyimpan fasilitas bernilai miliaran dengan kapasitas tempatan tak semampu petugas PLN yang berlatih berhari-hari di lembah Diklat?

Tahun 2017 lalu, jika pembaca menengok laman LPSE Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan nampak proyek ‘Pembangunan PLTS Terpusat di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara 2017’ dengan nilai sebesar 34,64 miliar.

Proyek itu membangun pembangkit listrik tenaga surya terpusat di Desa Rewatayya, Takalar dan di Desa Awo, Desa Paselloreng, Desa Macanang, Kabupaten Wajo serta Desa Santigi dan Desa Pasipandangan di Muna Barat, Sulawesi Tenggara. Desa-desa yang tentu saja tak mempunyai sumber daya manusia terlatih dan jikapun dilatih takkan bisa hanya sehari dua hari.

Di tahun yang sama, proyek serupa menjangkau pulau-pulau jauh di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. yaitu di Desa Kalu-kalukuang, Pulau Samatellu Lompo, Pulau Saugi, Pulau Kapoposang, Pulau Sanani, dan Pulau Sabalana. Nilainya sekitar 46 miliar.

Dari kedua paket itu total dananya tidak kurang 80 miliar! Fakta ini belum menghitung provinsi lain seperti Sumatera Barat hingga Papua. Secara umum, untuk membangun PLTS dana yang diguyur perdesa atau pulau mencapai 7 miliar!

Banyak rusak

Tiap tahun Pemerintah seperti berburu target merealisasikan instalasi PLTS di desa, pulau terpencil. Tahun 2013, total MWp terpasang mencapai 27 MWp (megawatt peak). Sementara di 2015 telah mencapai 40 MWp dari target 850 di tahun 2025.

Merealisasikan target ini tentu bukan hal mudah, meski tersedia dana atau penyantun atas mediasi keadilan akses. Benar bahwa warga desa-desa atau pulau terluar masih defisit listrik, kalaupun ada listrik, itu hanya genzet dan hanya dimiliki warga berduit lebih, atau kantor Pemerintah yang berdiri di sana.

Dengan adanya PLTS, warga desa atau pulau-pulau itu bersukacita, ketika telah diresmikan, orang-orang euforia. Kampung mendadak terang benderang karena suplai listrik dari aki penyimpan energi listrik.

PLTS memang tak butuh bahan bakar minyak, yang dibutuhkan hanya penampung energi cahaya matahari melalui panel yang dikonversi jadi listrik oleh inverter, aki atau baterai serta solar controller.

Di situlah persoalannya. Hampir semua PLTS bermasalah dengan aki atau converter. Hal yang tidak bisa ditutupi dengan himbauan atau ajakan semata dari pemilik proyek, kontraktor atau agen panel.

Penulis mencatat antusiasme warga ketika berkunjung pada beberapa lokasi yang mendapat bantuan program PLTS seperti Makassar, Nusa Tenggara Timur, Papua, Kepri. Program tersebut bertujuan agar pulau-pulau dapat tumbuh mandiri dan memberi efek domino pada tumbuh kembangnya ekonomi, pelayanan kesehatan dan pendidikan.

Khusus untuk pulau-pulau jauh sebagaimana diinginkan Pemerintahan Jokowi-JK dengan Nawa Cita-nya adalah memperbaiki konektivitas, operasi pos jaga perbatasan, telekomunikasi, kelistrikan, pendidikan, kesehatan, air bersih serta usaha produktif.

“Di Alor, untuk Desa Langkuru baru dua bulan lalu ini mati total karena satu baterainya bocor sedangkan untuk Desa Taraweng, saya belum dapat info,” kata Jeszy, mantan fasilitator program PLTS tersebut di Nusa Tenggara Timur.

Sementara itu Nisriany, fasilitator lainnya yang bertugas di Pulau Enggano Bengkulu, melaporkan fasilitas PLTS yang terbakar dan baterainya mati. “Di Pulau Rajuni, Taka Bonerate, Selayar masih jalan, sebulanan lalu ada inverter yang rusak dan masih nunggu kiriman pengganti,” tambah Arni Rohmiatun, fasilitator lainnya.

Di Kawaluso, Sulawesi Utara, Surya Asri Simbolon menyebut bahwa ada dua PLTS yaitu yang bertenaga 50 kWp dan 15 kWp.  Fasilitas yang 50 kWp telah rusak. Sementara di Pulau Kawio, satu PLTS telah rusak sejak tahun lalu. “Bermasalah di inverter,” kata Surya.

Pembangkit listrik tenaga listrik yang dibangun menyerap anggaran antara 3 hingga 7 miliar, Diperkirakan tahun 2014 hingga 2016 telah menghabiskan dana hingga 300 miliar atau bahkan lebih.

Sampai di situ, kita bisa menyebut bahwa warga telah dibantu, desa telah dibangun. aspek pendidikan dan kesehatan bisa dibenahi namun tetap saja tiada jawaban ketika ada pertanyaan susulan.

Apakah warga pulau menggunakannya untuk bikin es pengawetan ikan? Ibu-ibu atau kaum muda menggunakannya untuk dapat menjahit baju dari mesin jahit listrik? Pada siang hari digunakan untuk pengelasan atau dimanfaatkan untuk menambah produksi dan pendapatan warga? Biar biar bisa rajin bayar iuran.

“Yang perlu itu perawatan fasilitas dan kesediaan warga membayar biaya pasang. Juga iuran,” kata salah seorang petugas di PLTS Terpadu di Desa Rewatayya, Takalar.

“Kalau ada trouble, tidak ada yang berani menyentuh, mungkin karena risikonya,” katanya.

Perlu capacity transfer

Tahun lalu, Pemerintah melaporkan bahwa saat ini, dari 82.190 desa di Indonesia ada 2519 desa belum memperoleh aliran listrik. Terdapat 2111 di Papua dan 262 di Papua Barat. Inilah yang menjadi alas mengapa mereka begitu antusias menyiapkan anggaran gede. Seakan-akan listrik adalah segalanya.

PLTS bisa jadi solusi, sayangnya, siklus bisnis dan kelanggengan usaha kerap diabaikan sehingga banyak tak berfungsi, ide perubahan dan pembangunan menjadi ternoda. Padahal ada beberapa hal yang perlu dibereskan berbarengan dengan gelontoran dana bejibun PLTS itu.

Semisal, perlunya community capacity transfer melalui fasilitasi akseptasi gagasan perubahan, perlunya kesiapan warga penerima, tersedianya kapasitas pengetahuan, keterampilan serta komitmen untuk melihatnya sebagai input sumber daya yang membutuhkan kelengkapan pendukung lain.

Pada tingkat makro, lintas Kementerian-di sinilah perlunya Kemenko Maritim ibekerja dengan leluasa dan memediasi solusi lintas Kementerian untuk membangun pulau-pulau kecil terluar sebagai misal, melalui kerja-kerja konsultasi dan koordinasi lintas aktor – pada penentuan harga beli listrik oleh otoritas seperti PLN yang dapat diterima oleh semua kalangan di pulau-pulau terdepan.

Pemerintah Pusat harus mendorong fasilitasi dan perbaikan mekanisme perencanaan investasi PLTS yang tak main terabas atau teknokratik belaka. Perlu memastikan penentuan lokasi PLTS yang partisipatif, dan yang pasti mengerek tanggung jawab warga setelah diberi bantuan melalui skema pendampingan dari LSM atau organisasi masyarakat sipil yang komopeten.

Pembangunan tak harus melulu bagi-bagi sarana prasarana seperti PLTS tetapi mengangkat derajat kesadaran warga untuk berpartisipasi dan membangun inisiatif sendiri. Cahaya PLTS dibutuhkan tetapi tidak berarti harus mengabaikan akal sehat tentang proyeksi jangka panjang dan efisiensi uang negara.

Itu penting supaya tidak dikesankan bahwa Pemerintah hanya maunya PLTS terkirim, dana terserap. Serupa membuang garam ke lautan, langgeng tidaknya, lain perkara!

denun
denun
Blogger, pekerja LSM
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.