Dalam konteks politik, faktor utama munculnya berbagai gerakan radikalisme agama yang terjadi di dunia Islam, khususnya di Timur Tengah, adalah kegagalan para ulama dan pemimpin politik dalam menghadirkan suatu sistem pemerintahan yang tepat sebagai ganti dari sistem kekhilafahan yang dahulu pernah jaya dan menuai masa gemilang.
Karenanya, sebagian umat Islam, katakanlah kelompok fundamentalis, memandang perlu menghadirkan sebuah model negara sendiri berbasis Islam.
Bassam Tibi, seorang pakar kajian Islam politik memandang bahwa kelompok fundamentalis Muslim pada dasarnya ingin membangun sebuah negara Islam yang totaliter, jadi bukan semacam negara demokrasi yang selama ini berkembang, atau kolaborasi antarkeduanya. Kekuasaan yang totalitarian itu akan mengambarkan sebuah pemerintahan Ilahi (negara Tuhan) sebagaimana banyak digagas oleh fundamentalis militan seperti Maududi dan Sayyid Qutb.
Cara berpikir mereka pun sangat khas bersifat dikotomis, yakni hitam-putih, benar-salah, dan baik-buruk. Artinya suatu pemerintahan Tuhan pastilah memungkinkan adanya masyarakat yang Islami, yang merupakan lawan dari masyarakat jahiliah (bodoh). Bagi kelompok yang berharap membangun negara Islam, mereka membagi masyarakat ke dalam dua golongan, yakni Muslim dan kafir, tidak heran misalnya jika mereka menolak seluruh landangan pemikiran modern, khususnya di bidang politik.
Menurut Qomar (2018), radikalisme dalam jangka panjang pada akhirnya hanya akan memperburuk citra Islam yang disucikan oleh para pengikutnya. Umat Islam merupakan umat yang paling rentan terhadap rayuan radikalisme, karena posisi mereka yang berada di deretan umat yang terbelakang. Posisi yang agak memprihatinkan ini mudah sekali mendorong orang untuk menempuh jalan pintas dalam mencapai tujuan.
Jika nalar dikotomis itu diterapkan, agamaisasi kekerasan tidak mungkin akan dihindari. Sebab mereka sudah terlanjut mati-matian membela ideologi politik berbasis agama, sebagaimana tercermin dalam pemikiran Sayyid Qutb. Aksi-aksi kekerasan seperti bom bunuh diri dengan dalih jihad demi membela Islam, juga tak mungkin dapat dihindari. Itu artinya radikalisme agama dalam berbagai bentuknya, sangat anti kemanusiaan.
Di Indonesia sendiri, berbagai praktis kekerasan seperti bom bunuh diri dengan dalih agama, bukanlah khas gaya beragama orang Indonesia, ia sebetulnya bawaan dari Timur Tengah. Ia bukanlah gejala khas dunia Islam, apalagi Indonesia. Syafi’i Ma’arif sendiri menegaskan bahwa berdasarkan pengalaman sejarah, susunan kimiawi budaya Indonesia ternyata menolak berbagai bentuk ekstremisme.
Tetapi harus disadari bahwa ideologi ekstrem akan tetap muncul secara sporadis dan temporal, baik karena ia merupakan gejala khas yang mengiri modernitas, atau belum terpenuhinya keadilan sosial berbasis Pancasila. Memang, modernitas tidaklah sempurna, di dalamnya banyak ditemukan kecacatan, tetapi harus diakui bahwa modernitas dengan seluruh ideologi di dalamnya, masih yang terbaik dan paling relevan di antara semuanya.
Begitu juga Pancasila, ia tak benar-benar seideal sebagaimana dipahami oleh Yudi Latif sebagai “the theory of everything”. Idealisme Pancasila tergantung siapa yang menerapkannya, dalam pengertian bahwa selama para pengakut Pancasila belum benar-benar bersikap secara Pancasilais, maka kemajuan pun terasa sulit dicapai. Jika hati nurani para elite bangsa sering tidak berfungsi, maka jangan heran bila menuai kegagalan dikemudian hari. Dan, tentu saja akan menjadikan ideologi ekstrem semakin tumbuh sumbur.
Kita pun dapat menyaksikan betapa gerakan-gerakan radikal mengalami perkembangan dan banyak warga Indonesia yang menerimanya. Jika ini ditarik pada logika di atas, maka jelas Pancasila belum benar-benar dijalankan secara maksimal, atau belum mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat yang lebih maju.
Namun demikian, kita harus tetap menyadari bahwa paham agamaisasi kekerasan dan menjadikan agama sebagai basis politik, telah sebegitu membahayakan bagi stabilitas keagamanan nasional, menganggu kerukunan hidup antarumat beragama, dan memperburuk citra Islam yang sebetulnya lebih mengedepankan cinta damai.
Menangkal paham radikalisme tidaklah boleh dilakukan dengan cara-cara yang keras, apalagi menggunakan militer, langkah semacam ini sama saja dengan mengajak mereka untuk berperang. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana sedapat mungkin menghadirkan ekspresi Islam yang rahmatan lil alamin, dan selalu mensosialisasikannya secara terus menerus.
Kekerasan atas nama agama yang seringkali menghantui keamanan masyarakat dan negara haruslah dihindari. Sebab, nalar kekerasan ini menjadi cikal bakal tindakan kekerasan perilaku seseorang. Tidaklah mungkin memaksakan kehendak dan mencari benarnya sendiri dalam kehidupan yang majemuk. Jika faktornya adalah ketidakadilan sosoal dan kemiskinan, maka wilayah ini harus mulai diperbaiki.
Paham keagamaan berbasis teologi perdamaian juga harus lebih diupayakan secara maksimal. Sebab agama pada hakikatnya adalah memberi kedamaian bagi penganutnya. Jika para penganut agama tidak merasa damai dengan apa yang ia anut, maka keyakinannya perlu dipertanyakan. Yakni apakah ia sudah beragama secara benar atau hanya terprovokasi oleh keadaan-keadaan, apalagi kepentingan.
Perdamaian pada dasarnya adalah bagian dari implementasi iman yang mestinya harus terus diperjuangkan dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa kedamaian, sulit bagi siapa saja untuk menjalankan perintah agamanya, sebab ia akan dirundung rasa tidak aman dan situasi konflik yang memprihatinkan. Perdamaian, dengan demikian, harus diwujudkan dari keyakinan ke pratik kehidupan.