Kamis, Maret 28, 2024

Akar Kearifan Lokal Gerakan Perempuan di Nusantara

Murdianto An Nawie
Murdianto An Nawie
Dosen Program Pascasarjana IAI Sunan Giri (INSURI) Ponorogo

Ada kecenderungan dalam berbagai kajian terhadap tradisi dan kebudayaan nusantara, terdapat temuan yang menunjukkan kecenderungan untuk mengidentikkan ‘kepemimpinan’ dengan ‘laki-laki’. Citra ini yang terbentuk di mata masyarakat berdasarkan pengaruh nilai, yang bersumber dari keyakinan agama dan adat istiadat tertentu, yang cenderung menempatkan kepemimpinan perempuan dalam posisi minor.

Perempuan sering diposisi sebagai subordinat dalam relasinya dengan masalah kepemimpinan. Citra perempuan sebagai ‘yang dipimpin’ dan bukannya ‘yang memimpin’, inilah yang kemudian dieksploitasi dalam suatu kultur patriarki, yang kemudian merembet ke ranah publik, hingga seakan-akan muncul keyakinan, bahwa kepemimpinan perempuan adalah suatu anomali, bahkan adalah sesuatu yang tabu untuk dibahas dan diperjuangkan. Sebagai akibatnya, kaum perempuan menjadi semakin tersudut dari berbagai kemungkinan mendapat posisi kepemimpinan dalam berbagai ranah publik.

Namun, hal ini tidak dapat digeneralisir dalam seluruh corak kehidupan di Nusantara. Ada berbagai bukti historis maupun kultural, yang memberi dukungan akademik bahwa perempuan, baik dalam arti substantif, nilai mapun secara faktual politis memiliki kemampuan dan kapasitas menjadi pemimpin dalam kehidupan publik. Dalam tradisi Nusantara kita mencatat beberapa tokoh perempuan yang berhasil menjadi pemimpin.

Seperti di Aceh nama-nama tersebut antara lain Tjut Nyak Dien dan Tjut Meutia yang mencoba berjuang ditengah-tengah tradisi kemaharajaan Aceh. Sebutlah nama lain Nyi Ageng Serang, Rohanna Kudus dalam tradisi Jawa. Di Maluku kita mengenal nama Christina Martha Tiahahu, di Rembang tercatat nama RA Kartini, Bandung mengabadikan nama Dewi Sartika, Organisasi Sarekat Islam mencatat tokoh Siti Soendari.

Belakangan kita mengenal banyak sekali pemimpin politik, pengusaha, dan bahkan pimpinan daerah adalah seorang perempuan.Terdapat beberapa tradisi yang terekam dalam khazanah sejarah kebudayaan masyarakat nusantara ini dimana seorang perempuan mendapatkan posisi yang cukup istimewa dalam kehidupan sosial. Dalam sejarah kita mengenal Ratu Sima, Ratu Kilisuci, Ratu Tribuwana Tunggadewi, Ken Dedes masing-masing mereka adalah pimpinan suatu rezim monarkhi atau memiliki pengaruh yang amat kuat dalam kekuasaan politik. Dan hal ini terekam kuat dalam dokumentasi sejarah maupun alam fikir kolektif masyarakat Jawa.

Catatan juga menunjukkan terdapat 4 (empat) Sultan Perempuan dalam Kesultanan Aceh, yang menjadi bukti penguat bahwa kepempinan perempuan bukanlah semata-mata imajinasi para feminis, namun memiliki akarfaktual.Ini menjadi bukti bahwa kepemimpinan perempuan telah memiliki akar historis dalam alam fikir kolektif masyarakat Indonesia.Belum lagi dari berbagai mitos yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Jawa, dan berbagai daerah di Indonesia.

Berbagai memori kolektif yang menunjukkan perempuan, pertama-tama adalah simbol kemakmuran, sebagaimana tampil dalam cerita Dewi Sri dalam masyarakat Jawa. kedua adalah simbol Kekuasaan, sebagaimana tampil dalam personifikasi Nyi Roro Kidul, yang diidentifikasi sebagai ratu dunia ‘halus dan mistis’ yang menguasai laut Selatan Jawa, dan memiliki peran kosmik dalam masyarakat Jawa, yang diyakini berjenis kelamin perempuan.

Dua deskripsi ini memberi gambaran awal bahwa dalam kehidupan nusantara, isu kepemimpinan perempuan bukanlah sesuatu yang baru. Perempuan telah memiliki legitimasi historis maupun kultural untuk memiliki kesempatan yang setara untuk mendapatkan posisi kepemimpinan dalam kehidupan publik, dan memiliki peran sentral dalam pengaturan tata kehidupan bersama diranah publik.Selain itu dalam tradisi masyarakat pedesaan di Jawa, nyata bahwa perempuan mendapatkan tempatnya yang khas dalam soal kepemimpinan.

Lihatlah dalam kehidupan petani, laki-laki dan perempuan berbagi peran sangat sempurna, dan tidak cenderung berada dalam posisi konflik dan konfrontatif. Jika sang laki-laki mencangkul dan menggemburkan tanah, menanam sampai menuai padi perempuan justru mendapat tempat yang utama. Dalam perkembangan kehidupan sosial dalam masyarakat Nusantara, berkembangnya bandar-bandar Islam, semakin lama mulai memunculkan berbagai pembatasan terhadap kaum perempuan.

Apalagi ditemukan buktu muncul fatwa dari ‘ulama Makkah bahwa kepemimpinan perempuan dilarang dalam Islam, semakin meyudutkan posisi perempuan. Padahal dalam kenyataan di era sebelumnya, perempuan mendapatkan posisi yang setara dalam soal kepemimpinan. Apalagi fakta hukum waris Islam, memberikan posisi istimewa pada kaum laki-laki, semakin menyudutkan akses perempuan pada masa-masa itu.

Perkembangan Kekinian Gerakan Perempuan

Perkembangan penafsiran agama mutakhir, serta perkembangan nilai global menunjukkan bahwa dorongan atas kesetaraan posisi perempuan semakin disuarakan dalam berbagai ruang kehidupan. Era Kartini, oleh penguasa kolonial dianggap suatu momentum di mana perempuan berupaya mengemansipasi diri. Walaupun domestifikasi perempuan dalam kehidupan sosial di Indonesia pernah menghadapi tantangan pada Era Orde Baru.

Dan pada masa selanjutnya itulah peran perempuan di ranah publik sampai soal kepemimpinan, menjadi diskursus yang dibicarakan dari panggung politik dan panggung budaya. Hingga kemudian muncul suatu Keputusan Presiden di era KH Abdurrahman Wahid tentang Pengarusutamaan Gender  yang semakin memberi peluang bagi penguatan posisi perempuan dalam proses pembangunan, dan seluruh tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat masa kini.Era kepemimpinan politik sesudahnya, menunjukkan bahwa perempuan mendapatkan tempat yang luas dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

Program pemberdayaan yang dilaksanakan pemerintah saat ini, membuka jalan seluas-luasnya bagi perempuan untuk memainkan peran ekonomi, sosial dan politiknya dari lokus paling kecil yakni keluarga. Bahkan untuk beberapa bidang ekonomi tertentu justru perempuan mengambil porsi yang cukup besar. Namun demikian program pemberdayaan, tidak boleh hanya bertumpu pada aspek pemberdayaan ekonomi dan politik semata, namun lebih dari itu mampu merepon tantangan kebudayaan yang lebih luas.

Dan oleh karena itu, gerakan pemberdayaan perempuan dimasa yang akan datang, tidak boleh berkutat pada isu elit dan konfrontatif, misalnya isu kepemimpinan politik, kuota 30% Pengurus Parpol, isu sejenisnya. Harusnya sudut pandang kita mulai peka terhadap kenyataan yang lebih mikro, misalnya fakta lemahnya institusi keluarga dalam pewarisan nilai, eksploitasi perempuan ‘atas nama kecantikan’ oleh media massa, peran perempuan dalam mencegah demoralisasi.

Hal tersebut tentu membutuhkan respon yang lebih intens dari perempuan. Karena jika gerakan perempuan lebih banyak bergerak diaras politik, maka dapat dipastikan terjadi pembiasan kepentingan, yang pada akhirnya akan mematikan ‘roh’ dari gerakan perempuan. Gerakan perempuan mestinya tak boleh hanyut dalam arus feminisme liberal, yang justru menjerembabkan perempuan dalam eksploitasi kapitalisme.

Perempuan mulai diajak melihat kembali pada kearifan lokal dan lebih fokus pada hal-hal mikro (kecil), yang pada akhirnya akan mampu menyuntikan corak baru dan akar kultural yang lebih kuat bagi pemberdayaan perempuan di Indonesia.

Murdianto An Nawie
Murdianto An Nawie
Dosen Program Pascasarjana IAI Sunan Giri (INSURI) Ponorogo
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.