Ini tentang sebuah sikap yang perlu diuji dengan mekanisme nalar publik. Kehidupan politik kita hari-hari kini kian dikotomis. Problemnya, perbedaan-perbedaan itu bukan lagi dalam upaya revitalisasi nalar publik kendati dalam rangka involusi pikiran.
Kita tak hendak menghakimi celoteh Rocky Gerung dengan pasal-pasal kriminal. Dalam definisi agnostik, boleh jadi ada kebenaran di sana. Tapi sialnya, Rocky ibarat sensor pemanas yang tersingkap selaput kerak dan lendir-lendir oli yang meluber. Ada atau tak ada komponen itu, tetap tidak berguna.
Akal Sehat
Saya coba mengingat. Saat itu saya bersama Agus Istijanto. Jika tak salah hampir sebelas tahun lalu. Pertemuan saya dan Rocky di kediaman Bondan Gunawan, Cempaka Putih Timur No. 45.
Berkali-kali dia ucapkan politik “akal sehat” dan disandingkan dengan “politik harapan”. Dengan lagaknya yang kenyang filsafat, dia membuat diagram ideologi. Itu yang saya ingat. Dan keusilan saya memantik diskusi utilitarianisme.
Kesan saya saat itu, orang ini punya semangat yang tulus menjaga republik. Tentu, kesan sok Menteng itu yang tak akan lekang dalam horizon pikiran saya. Entah siapa yang lebih dulu, menorehka kalimat politik akal sehat diantara mereka. Dugaan saya semantik itu adalah rumusan Almarhum Syahrir. Dan Rocky hanya sebagai backing vocal dari suara Syahrir. Jika kita tidak ingin mengatakan Rocky adalah asisten Ci’il (Syahrir).
Yang pasti, politik akal sehat adalah sebuah pupuk terbaik untuk tumbuh suburnya kebangsaan kita. Setelah pertemuan itu, saya berkenalan lebih akrab dengan pikiran Rocky. Satu-satunya saluran yang paling mungkin adalah melalui media sosial.
Berkali-kali saya blusukan pasar buku-buku bekas, tak satu pun saya menemukan pikiranya yang termanifest dalam sebuah jurnal, apalagi buku. Singkat cerita, saya memaknai politik akal sehat adalah satu upaya mengambil alih fungsi sosial yang kerap ditinggalkan kaum intelektual. Apa itu? Sebagai kompresor dan kondensator. Filsafat sebagai pandangan hidup, seharusnya bisa mengaktivkan kedua fungsi kerja itu secara seksama.
Akal sehat bisa menjadi kompresor, disaat argumen-argumen publik dikelola tanpa melirik secuil kepentingan elektoral. Jika Rocky utarakan pendapat itu dilantamkan diatas podium elektoral. Maka sejatinya, pandangan itu harus mati atas nama peradaban. Karena kadar kontaminasi elektoral sudah begitu pekat.
Dalam hal yang lain, akal sehat juga menarik satuan elemen politik harapan. Dengan begitu, politik akal sehat berfungsi sebagai kondensator. Konflik dan segregasi sosial di redam dalam sebuah khazanah kebangsaan. Dan pada waktunya, energi yang tersimpan dialirkan untuk kemajuan zaman.
Saya tidak tahu, apakah Rocky memahmi fungsi-fungsi akal sehat itu. Atau, dia hanya mengulang tentang sesuatu yang diucapkan Ci’il, tanpa pernah mengerti satu kalimat pun. Satu tahun lalu, di sebuah senja yang syahdu. Saya, Tumpak Sitorus dan seorang profesor hukum UI melakukan ritus akal sehat. Sore itu adalah ritus bagi kami. Cerita politik, filsafat dan ketololan penyebar kebencian. Bagi kita, itu semacam hiburan yang mendidik. Selain tetap mengaktifkan nalar kritis pada rezim penguasa.
Entah Malaikat mana, yang menuntun kita menentukan nama Rocky Gerung, sebagai subjek hiburan. Sang professor hukum membeberkan fakta begitu naifnya Rocky Gerung. Dalam peradaban maya Rocky berupaya mempertahankan reputasi sebagai “Devil Advocate”. Tapi sialnya, dalam keseharian Rocky adalah hamba sahaya dari sebuah persekongkolan oligarki politik. Ya, Rocky saat itu melatih AHY.
Tumpak Sitorus menguatkan saya. Orang yang pernah menjadi pimpinan Rocky Gerung saat membangun Partai Indonesia Baru. Besutan Dr. Syahrir. Tumpak meneguhkan, bahwa hidup Rocky mahal, sedangkan dulu hidupnya ditanggung oleh almarhum Ci’il. Dan Rocky, memang tidak pernah menjadi Dosen UI.
Sejenak, politik akal sehat saya aktif. Ada semacam hasrat akal sehat, membuka tabir basa-basi Rocky. Di sanalah, untuk pertama kalinya saya menantang Rocky Gerung. Secara terbuka. Banyak orang yang tidak memahami.
Menerka, ini adalah soal popularitas. Sama sekali tidak. Harapanya, ini adalah perjuangan “Akal Sehat”. Prasyaratnya adalah kejujuran publik. Dalam hal ini, Rocky sudah jauh menyimpang dari khazanah pikiran Ci’il. Soal politik akal sehat. Rocky menipu daya publik, dengan retorika yang ditopang oleh bobroknya moralitas. Di situ, Rocky mulai demagog. Bersyair soal kedunguan.
Siasat Jahat
Pejuang akal sehat, tidak boleh terpancing dengan diksi “Kitab Suci Fiksi”. Akal sehat bergantung pada nalar publik, dengan begitu kita harus lebih percaya pada perbincangan publik. Tentu, tidak mudah. Kendati yang pasti, Rocky dan gerombolan boy band-nya sedang melakukan siasat jahat.
Siasat jahat itu adalah provokasi terhadap institusi Polisi. Mungkin sekarang Rocky sedang mengidam-idamkan Rizieq Shihab. Betapa jahatnya, maka dia sedang merelakan dirinya untuk dijadikan martir dari gerombolan pembenci Jokowi.
Secara perlahan, Rocky berhasil menghasut publik untuk mengkhianati keyakinan teologisnya sendiri. Dalam definisi agnostik, atau bahkan ateisme apa yang diucapkan Rocky mengandung kebenaran. Namun tetapi, dalam keyakinan liturgis itu bertolak belakang.
Jika saya mengacu dalam definisi Islam, perintah salat termaktub dalam ayat-ayat Al-Quran. Maka berarti, bagi saya Al-Quran bukanlah fiksi. Al-Quran adalah keyakinan yang bukan berlatar karangan.
Siasat jahat, berjalan efektif. Banyak orang membela Rocky, soal pernyataan Kitab Suci Fiksi. Para pembela itu, tentu mereka yang sepakat dan menerima perintah ibadahnya adalah sebuah karangan.
Mereka yang juga menerima dan yakin, bahwa peristiwa-peristiwa ilahiah juga karangan pencetak kitab. Siasat jahat Rocky, memiliki suksesi atas de-teologisasi. Satu upaya, merendahkan nilai-nilai keyakinan teologis.
Jika begitu, Anda berada di mana ?