Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) belum menunjukkan sikap yang dewasa dalam berpolitik. Beberapa kader Ikatan MM masih terkurung dalam pola berpikir yang rigid dan serba hitam-putih.
Padahal, sikap semacam itu tidak bijak jika diterapkan di politik. Hasil dari sikap hitam-putih inilah yang kemarin sempat menghasilkan reaksi keras sebagian kader-kader IMM akar rumput terhadap langkah atau ijtihad politik DPP IMM.
Kader IMM di Politik
Jika melepas embel-embel Muhammadiyah dan murni hanya menjadikan IMM sebagai tolok ukur, kita akan kaget dengan fakta kader IMM yang berkiprah di politik praktis. Dibanding organisasi mahasiswa lain, hanya sedikit anggota DPR RI yang betul-betul berasal dari IMM. Sebut saja Bang Saleh Partaonan Daulay (Dapil Sumut Fraksi PAN), Mas Ahmad Labib (Dapil Jawa Timur Fraksi Golkar), dan Bang Ashabul Kahfi (Dapil Sulsel Fraksi PAN)
Coba bayangkan, usia perjalanan IMM yang panjang, ternyata belum mampu mencetak banyak politisi-politisi handal yang berkiprah di ranah legislatif tingkat nasional. Hal ini harusnya menggugah kesadaran kita agar mampu berpikir tentang apa kira-kira yang perlu diperbaiki dari pendidikan politik di IMM.
Bagaimana di ranah eksekutif? Apakah IMM telah banyak melahirkan kader-kader yang mengisi pos-pos di kabinet? Hari ini tentu kita bersyukur. Ada tiga sosok nama yang dipercaya oleh Prabowo Subianto menjadi menteri dan wakil menteri. Prof. Abdul Mu’ti (Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah), Dr. Fajar Rizal Ul Haq (Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah) dan Prof. Fauzan, M.Pd (Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi).
Namun jika dihitung dari usia IMM yang telah memasuki usia matang (60 tahun), kita baru menghasilkan sedikit nama. Sebelumnya kita pernah memiliki kader seperti Yahya Muhaimin yang menjadi Menteri Pendidikan Nasional di rezim Gus Dur. Setelah itu kita tak pernah mendengar lagi nama-nama menteri Muhammadiyah dari IMM. Baru sekarang di zaman Prabowo Subianto.
Mengevaluasi Sikap Politik IMM
Jika merujuk pada beberapa dokumen-dokumen dan pernyataan-pernyataan resmi Muhammadiyah, maka jelas ditegaskan bahwa urusan politik dalam kacamata Muhammadiyah adalah masalah muamalah. Sebagai konsekuensinya, kita boleh bermitra dengan siapa saja. Karena pada dasarnya, sebagaimana kaidah dalam ushul fikih, al-ashlu fil mu’amalati al-ibahah, illa ma dalla ad-dalilu ala tahrimihi (asal hukum dari muamalah adalah boleh, kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya).
Kaidah dan pernyataan resmi Muhammadiyah ini, jika betul-betul dipahami dan diamalkan oleh warga Muhammadiyah, khususnya kader-kader IMM, maka sulit untuk mereka jatuh pada sikap kaku dalam berpolitik. Sebaliknya, ia justru menampilkan sikap yang lentur. Dasar berpikirnya adalah maslahat. Jika memilih dan terjun dalam satu partai tertentu lebih dekat pada maslahat, maka harus didorong. Kita jangan sampai mengkotak-kotakkan mana partai yang benar dan mana yang salah. Sebab semuanya punya tujuan sama, yakni menghadirkan kemakmuran bagi semua.
Ketersebaran kader IMM di berbagai partai politik ini tentu penting. Agar ketika terjadi suatu kontestasi yang pastinya ada menang dan kalah, Muhammadiyah tidak perlu cemas dan menjadi korban dari residu kontestasi yang telah berlalu. Karena ia memiliki kader di setiap partai. Hal ini berbeda jika kader IMM hanya terpusat pada satu partai tertentu. Sebab, kapan partai ini tidak lagi berkuasa, Muhammadiyah akan mendapat imbasnya. Jadi, yang kita terapkan adalah politik alokatif.
Perlunya Mentalitas Petarung
Beberapa hari yang lalu (5-8 Desember), kami di Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) mengadakan agenda AKPOL (Akademi Politik). Agenda ini kami selenggarakan karena keresahan yang kerap membayangi kami, yakni politik kader IMM. Selain karena sering menggunakan kaca mata kuda dalam berpolitik, kami juga melihat beberapa kader IMM yang terjun di politik praktis kurang memiliki mental petarung.
Demi menambal kekurangan itulah agenda AKPOL digelar. Melalui kegiatan ini kami mengundang beberapa narasumber yang kompeten dan secara pengalaman telah teruji di medan politik. Acara dibuka oleh Gus Imin (Menko PM dan Ketua Umum PKB) sebagai pembicara kunci (keynote speaker). Penunjukkan ini tentu memiliki beberapa dasar.
Pertama, Gus Imin adalah orang yang sama seperti umumnya kader-kader IMM. Yakni memulai perjalanan karir dari aktivis. Kedua, sosok Gus Imin dianggap sebagai politisi ulung yang selalu ‘abadi’ di pemerintahan. Entah menjadi anggota legislatif ataupun menteri.
Selain Gus Imin, kami juga mengundang beberapa politisi lain seperti Bang Rocky Candra (Anggota DPR RI Komisi VII Fraksi Gerindra). Pada materi ini beliau menekankan pentingnya mentalitas petarung bagi kader IMM yang ingin terjun di politik. Ia bahkan menekankan bahwa menang dan kalah adalah hal biasa. Jika menang, maka kita diminta mengabdi. Sedangkan jika kalah, maka kita diminta belajar.
Bang Rocky amat menekankan pentingnya melihat politik sebagai proses. Jadi tak seperti pertunjukkan sulap yang langsung jadi. Ada tangga demi tangga yang harus dilalui. Inilah menurut saya yang kadang keliru dari kader IMM. Karena kalah sekali dalam bertarung di politik, maka ia cepat-cepat mengemas baju dan menganggap diri tidak pantas di politik. Mental seperti ini, khususnya dengan kehadiran AKPOL, ingin kita hindari. Kader-kader IMM harus siap bertarung di segala cuaca. Entah musim panas, dingin, kemarau dan sebagainya.
Di samping dua pembicara itu, kami juga mengundang Bang Viva Yoga Mauladi (Politisi PAN yang kini menjadi Wamen Transmigrasi) dan akademisi seperti Bang Dr. Bonny Hargens. Jadi ada berbagai macam latar belakang politisi yang kami dari undang. Tidak hanya PAN, tapi juga partai-partai seperti Gerindra dan PKB. Hal ini tidak lain demi mengajarkan kader-kader akan perlunya bersikap terbuka dan tidak malu belajar dari siapa saja.