Dalam satu dekade terakhir, percakapan publik masyarakat Indonesia kian meningkat seiring dengan masifnya penetrasi media sosial. Ruang maya (cyberspace) telah menjadi medan pertempuran narasi publik. Melalui akun media sosial, semua orang berhak menjadi narator. Akibatnya, ruang sosial di Indonesia semakin marak dan padat dengan informasi.
Di satu sisi, terbukanya keran informasi itu mengundang dampak positif bagi publik, saat yang sama, Fenomena banjir informasi (information overload) justru kian mengurangi kualitas informasi. Badai informasi itu nyaris melumat nalar publik, orang-orang seperti terjebak dalam rimba informasi yang tak punya ujung pangkal, sebagai akibatnya, masyarakat rentan terkena informasi palsu (hoax), fitnah dan adu domba.
Giat memproduksi dan mengeksploitasn informasi palsu itu banyak digerakkan para pendengung (buzzer) lewat narasi bombastis sensasional. Susana kian centang perenang kala norma sosial dilabrak, percakapan publik lantas dilumuri ocehan penuh cacian, umpatan dan sumpah serapah. Di tengah suasana seperti ini, kaum intelektual mengemban amanah untuk membangun nalar kritis di masyarakat, sebangun dengan terus memperhatikan sikap kritis yang elok, arif dan bijaksana.
Pentingnya Nalar Kritis
Di tengah badai informasi yang demikian deras, pilar kokoh yang niscaya menyelamatkan masyarakat adalah nalar kritis. John Dewey (1997) memaknai nalar kritis/nalar reflektif sebagai kesanggupan untuk mempertimbangkan suatu informasi secara aktif, gigih dan hati-hati. Sanggup memilah pengetahuan secara tepat, jelas, sembari menunjukkan orientasi argumen hingga akhir. Secara sederhana, dapat dikatakan nalar kritis adalah kecerdasan mengumpulkan dan mengelola informasi.
Dasar dari nalar kritis itu adalah skeptisisme yang sehat. Haryatmoko (2023) menjelaskan skeptisisme yang sehat termanifestasi dalam bentuk kritik yang bersifat: pertama, sketisisme dan nalar ktisis yang mampu menyodorkan wawasan berharga sembari terus mendorong solusi alternatif guna menghadirkan pengambilan keputusan yang relevan terhadap kebutuhan publik. Kedua, skeptisisme dan nalar kritis yang didukung oleh argumen logis dan bukti faktual. Argumentasi yang berdasar pada rasionalitas dan analisis yang memadai dengan mempertimbangkan semua sudut pandang.
Sikap skeptis dan kritis itu niscaya dibutuhkan dalam kehidupan demokrasi Indonesia, guna menjaga keseimbangan kekuasaan, meningkatkan kualitas pemerintahan serta memastikan bahwa hak-hak warga negara dihormati dan dilindungi. Ruang publik Indonesia harus terbuka untuk segala ragam diskursus dan kritik, tentu dengan tetap mengedepankan akal sehat, rasionalitas dan moralitas.
Elok Bernalar
Dalam negara Indonesia yang menghargai nilai-nilai agama dan kebudayaan luhur bangsa, nalar kritis hendaknya berjalan seiring dengan sikap elok dan bijaksana. Dalam hal ini, kritik bukan hanya upaya merongrong dan menjatuhkan gagasan sembari mengabaikan tawaran alternatif dan solusi yang konstruktif.
Para insan cendekia yang gemar menggelar kritik seyogianya terhindari dari sikap kritis yang merusak (destruktif) yang justru jamak melahirkan polarisasi, menghambat kemajuan, menggelar kebencian sehingga yang terjadi adalah kerentanan terhadap konflik sosial di masyarakat. Dalam mengurai masalah keindonesiaan, kritik seharusnya menjadi air yang memugas dan memecahkan masalah, bukan serupa kobaran api yang menghanguskan segalanya.
Kendati kritik ialah bagian dari hak setiap orang dan merupakan bagian dari kemerdekaan berpendapat, namun patut terus disadari, bahwa dalam kemerdekaan berpendapat itu juga terdapat hak-hak orang lain yang harus terus dijaga dan dihormati. Hak untuk didengarkan, mengungkapkan pendapat serta hak untuk menjaga privasi.
Guna meningkatkan kualitas percakapan publik di masyarakat, diperlukan sikap elok bernalar, sikap tersebut ditandai dengan: pertama, kesanggupan membangun komunikasi publik yang efektif dan konstruktif, logis dan kritis. Kedua, sikap elok bernalar ditandai dengan kehendak batin untuk menghargai perspektif orang lain, terbuka dengan keragaman pendapat dan tidak memaksakan kebenaran pribadi (truth claim). Ketiga, elok bernalar juga termanifestasi dalam sikap yang santun dan menghormati harkat dan martabat orang lain, sebentuk sikap yang tajam namun tetap menghindahkan kesantunan.
Jika sikap elok bernalar itu berlangsung dalam kehidupan publik, nisacaya akan lahir kualitas diskusi publik yang sehat, mengurangi ketegangan sosial, saat yang sama juga menumbuhkan harmoni sosial di masyarakat. Sebaliknya, bila sikap elok bernalar diabaikan, niscaya kehidupan publik akan terus dihantui ketegangan, keterbelakangan dan konflik sosial yang kisruh dan kacau balau.
IMM Merawat Nalar
Sebagai bagian dari komunitas intelektual dalam dinamika Indonesia modern, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) mengemban tanggung jawab sosial untuk hadir di tengah masyarakat, terlibat dalam membangun dan terus merawat nalar publik. Upaya ini tentu dimulai dari melahirkan kultur elok bernalar di tubuh IMM itu sendiri.
Diskurus intelektual di dalam Ikatan hendaknya terus mengedepankan dialektika yang konstruktif, logis dan solutif. Sikap tersebut sebangun dengan visi menciptakan “akademisi Islam yang berakhlak mulia”. Para kader IMM di segala tingkatan harus terus menginsafi slogan, “anggun dalam moral dan unggul dalam intelektual”. Slogan tersebut seyogianya diletakkan sebagai dasar etik dalam membangun dialektika di internal organisasi, jangan sampai slogan itu berhenti di wilayah “estetik” yang singgah sekadar sebagai ujaran verbal belaka. Lebih dalam dari itu, slogan tersebut seharusnya tercermin dalam perilaku dan sikap berorganisasi (Ahsan, 2021).
Dalam kerangka kehidupan publik, IMM sepatutnya hadir di tengah masyarakat untuk membangun kehidupan yang lebih rasional, toleran dan kritis. Misi tersebut dijalankan lewat upaya membangun pendidikan dan literasi publik, melahirkan diskusi dan debat terbuka serta mencontohkan penggunaan media sosial yang tepat dan bijaksana. Ketika merespons isu-isu kritis yang tengah berkembang di masyarakat, para kader harus mampu bersikap proaktif, namun bukan sikap yang reaksioner dan ekstrem. Demikian itulah ciri dari akademisi yang berakhlak mulia.
Kompilasi tulisan para alumni Darul Arqam Madya PC IMM Banjar Baru ini adalah bagian lain dari usaha untuk merawat nalar publik. Gugus tulisan ini layak untuk terus dikembangkan dalam wacana intelektual Ikatan, lebih dari itu, tulisan ini diharapkan menjadi petunjuk bagi organisasi IMM dalam kerja-kerja praktis membangun nalar publik. Kami sungguh mengapresiasi tulisan ini dan berharap bahwa tulisan ini dibaca semua kader IMM se-Indonesia.