Sabtu, April 20, 2024

Ajaran dan Ujaran “Kafir”

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Konbes NU)—yang digelar di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Banjar, Jawa Barat pada 27 Februari – 1 Maret 2019—menelurkan  lima poin rekomendasi, di antaranya: “Jangan sebut ‘kafir’ kepada nonmuslim.”

Tak berapa lama kemudian muncul beragam tanggapan. Ada yang setuju pada poin rekomendasi tersebut disertai penjelasan plus “pembelaan,” tak sedikit pula yang mempertanyakan, dan bahkan ada yang melancarkan “hujatan.”

Poin rekomendasi dengan muatan istilah “kafir” ini bisa dikatakan cukup seksi dan sensitif di antara poin-poin rekomendasi lainnya; yakni mengenai lembaga fatwa, menyangkut keputusan dan rekomendasi alim ulama, persoalan sampah plastik, dan soal terkait hukum money games dan sejenisnya.

Apalagi rekomendasi tersebut keluar di saat bangsa Indonesia sedang dalam riuh rendah kampanye politik dalam rangka Pemilu. Tak bisa dimungkiri, NU berada dalam pusaran ingar-bingar yang penuh propaganda ini.

KH Ma’ruf Amin, salah satu dari pucuk pimpinan NU adalah Cawapres pendamping Joko Widodo sebagai Capres di salah satu kubu yang tengah berlaga. Tak sedikit pula kader-kader NU lainnya yang ikut dalam kontestasi Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg).

Karena itu, wajar jika dari poin rekomendasi seperti tersebut timbul pro dan kontra. Selain seksi dan sensitif, konteks situasi dan waktu keluarnya maupun lembaga dan forum yang mengeluarkan turut menambah keseksiannya serta menaikkan tingkat sensitifitasnya.

Lepas dari ingar-bingar kampanye politik penuh emosionalisme yang membelah menjadi dua kubu ini, alangkah baiknya untuk kita melihat dan menyikapi poin rekomendasi tersebut dengan menelisik pemaknaan istilah “kafir” dalam ajaran agama (Islam) dan penggunaannya sebagai ujaran dalam pergaulan sosial.

“Kafir” dalam Ajaran Islam

Istilah “kafir” digunakan dalam Al-Quran dengan beberapa pemaknaan, yang secara umum menunjuk pada muatan arti “keingkaran.” QS al-Mâ’idah (5) ayat 73, misalnya menegaskan: Sungguh telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah adalah ketiga (salah satu) dari tiga.” Padahal sekali-kali tidak ada tuhan selain Tuhan Yang Maha Esa… Sebutan “kafir” di sini diarahkan kepada orang-orang yang mengingkari keesaan Allah (tauhid). Sebutan yang sama juga diarahkan kepada mereka yang mempersonalisasikan Allah dengan ciptaan-Nya: Sungguh telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah ialah al-Masih putra Maryam” (QS al-Mâ’idah (5): 17 dan 72).

Pemaknaan “kafir” di sini menunjuk pada “keingkaran akan (keesaan-kesucian) Allah.” Inilah yang sering disebut dengan “kafir teologis.” Terhadap kekafiran jenis ini, Al-Quran merespons dengan tegas dan gamblang melalui enam ayat dalam satu surah khusus: al-Kâfirûn (109).

Katakanlah, “Hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Kamu pun tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”

Mengutip Ibn Ishaq mengenai latar belakang surah ini diturunkan, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi mencatat—dalam kitab tafsirnya al-Nukat wa al-‘Uyûn—bahwa al-Walid ibn al-Mughirah, al-‘Ash bin Wail, al-Aswad bin Abdul-Muththalib, dan Umaiyah bin Khalaf—mereka adalah tokoh-tokoh Quraisy—menemui  Rasulullah Saw.

“Hai Muhammad,” kata mereka, “ayolah kausembah apa yang kami sembah, dan kami akan menyembah Tuhan yang kausembah. Mari kita, kami dan engkau bekerja sama dalam segala urusan kita. Maka jika ajaran yang kaubawa memberi kebaikan terhadap segala hal di tangan kami, berarti kami telah mengikutimu dalam hal itu, dan kami beroleh keberuntungan darinya. Dan jika yang ada pada kami membawa kebaikan terhadap apa yang ada di tanganmu, berarti engkau telah ikut kami dalam urusan kita ini, dan engkau memperoleh keuntungan darinya.”

Menanggapi ajakan “kerja sama peribadatan” tersebut, turunlah QS al-Kâfirûn (109). Karena itulah, kalimat “qul” (katakanlah, wahai Muhammad) disertakan dalam surah ini—sebagaimana juga dalam QS al-Ikhlâsh (111), al-Falaq (112), dan al-Nâs (113)—sebagai jawaban, yakni terhadap orang-orang kafir tertentu; tidak untuk semua orang kafir. Mengapa? Karena dari orang-orang kafir itu boleh jadi kemudian ada yang beriman.

Pemaknaan lainnya diisyaratkan dalam QS Ibrâhîm (14) ayat 7: Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sungguh jika kamu bersyukur (syakartum), niscaya Aku tambahkan (nikmat) untukmu. Tetapi jika kamu ingkar (kafartum), sungguh azab-Ku benar-benar keras.” Kata kafartum—artinya kamu ingkar; tidak bersyukur alias kafir—pada ayat ini dilawankan dengan kata syakartum. Istilah ini menunjuk pada “keingkaran terhadap (nikmat-karunia-anugerah) Allah.”

Selain itu, perlu diingat sebutan “kafir” kerap juga dikaitkan dengan sifat-sifat negatif lainnya, dan selalu berkonotasi “keingkaran” dan/atau “pengingkaran,” misalnya mengada-adakan kebohongan terhadap Allah (QS al-‘Ankabût [29]: 68); memperdebatkan ayat-ayat Allah (QS Ghâfir/al-Mu’min [40]: 4); berpaling dari peringatan (QS al-Ahqâf [46]: 3); kesombongan (QS al-Baqarah [2]: 34); kemunafikan (QS al-Munâfiqûn [63]: 3); mengingkari hukum-hukum Allah (QS al-Mâ’idah [5]: 44), dan lain sebagainya.

“Kafir” dalam Ujaran

Berangkat dari teks ajaran (nas) dengan muatan makna yang multikonteks dalam kehidupan yang multikompleks, diksi “kafir” menjadi istilah “bersayap” yang mudah dilayangkan ke sana sini mewujud ujaran dengan pemaknaan yang sering kali bias. Di antara “sayap krusial” dari istilah ini ialah ujaran takfîrî—kata derivatif dari kafara-yakfuru-kufrun menjadi kaffara-yukaffiru-takfîrun, artinya mengafirkan, yakni melemparkan tuduhan “kafir” kepada pihak lain yang tidak seiring-sejalan dalam soal-soal kegamaan dan sering kali bermuatan politis.

Ujaran takfîrî ini, diakui atau tidak, memberi andil besar bagi proses terjadinya keretakan dan perpecahan akut dalam tubuh umat beragama, dan bahkan bisa disebut sebagai “biang” dari perpecahan umat Muslim. Ujaran ini kerap juga dijadikan alat subversi, terutama di negara-negara Islam.

Jika melongok ke belakang, kita dapati perpecahan telah muncul di masa-masa peralihan kepemimpinan Islam dari Khalifah Utsman bin Affan—yang dipaksa berakhir dengan pembunuhan Sang Khalifah—ke Khalifah Ali bin Abi Thalib. Lalu bersemi setelah Ali juga dibunuh, dan selanjutnya kekuasaan diambil alih oleh Mu‘awiyah bin Abi Sufyan, pendiri Dinasti Bani Umaiyah.

Sejak itu ujaran-ujaran takfîrî membelit dunia politik Islam. Syekh Muhammad ‘Abduh mencatat—dalam bukunya, Risâlat al-Tauhîd—perihal umat Islam yang terpecah menjadi kelompok-kelompok Syi‘ah, Khawarij, dan antara keduanya ada golongan moderat. Masing-masing kelompok terjebak fanatisme buta.

Orang-orang dari kelompok Khawarij dikuasai sikap berlebih-lebihan. Mereka mengafirkan siapa saja yang berdiri di luar kelompok mereka, dan siapa pun yang menentang pendirian ini juga dianggap kafir. Orang-orang dari kelompok ini kelak menyebar ke berbagai penjuru, dan tempo-tempo muncul melalui gerakan “bawah tanah” atau tampil membonceng dalam gerakan-gerakan perlawanan yang menimbulkan kekacauan. Wallâhu a‘lam

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.