Selasa, April 30, 2024

AI di Persimpangan Estetika, Etika dan Kapitalisme

Azi Satria
Azi Satria
Bekerja sebagai komikus dan ilustrator. Senang mendiskusikan sastra, sejarah dan manusia. Menulis ketika senggang.

Kecerdasan buatan alias AI (Artificial Intelligence) sempat mengguncang dunia maya beberapa waktu terakhir. Setidaknya, sebagian besar orang sudah mengenal ChatGPT dengan kemampuannya yang luar biasa untuk keperluan pekerjaan atau tugas sekolah. Hal yang menawarkan kegembiraan tapi juga kengerian dalam waktu yang bersamaan. Sebutlah Ultron dalam komik Marvel yang digambarkan mampu menghancurkan dunia saat mereka menyadari bahwa manusia adalah sumber kekacauan di muka bumi.

Saya yang bekerja sebagai ilustrator dan komikus mendapatkan pertanyaan soal AI yang dirasa mampu menggeser peran-peran pekerja kreatif. Sebagian orang bertanya jika ini adalah akhir dari peran manusia dalam menciptakan karya seni. Katakanlah Midjourney dengan kemampuannya menghasilkan gambar super ciamik hanya dalam waktu beberapa detik saja—lebih gila lagi karena kita hanya perlu mengetik prompt alias kata perintah. Tanpa perlu mempelajari anatomi, perspektif, atau bahkan komposisi warna.

Sayangnya, AI belum bisa menggantikan posisi seniman. Bahkan saya bereksperimen menulis dengan ChatGPT dan yang ia berikan adalah tulisan-tulisan sederhana yang seolah memiliki pola yang sama. Jika diibaratkan, entah itu text atau image generator, kecerdasan buatan ini memiliki susunan ‘tulang’ yang sama. Mereka tidak mampu menulis atau menggambar sesuatu yang ‘tidak umum’ dan kreatif.

Sebenarnya alasannya sederhana, karena AI diprogram menggunakan data-data yang tersedia di internet. Entah itu tulisan, gambar, atau bahkan percakapan. Data-data ini kemudian diberikan kepada ‘sang robot’, sang entitas maya untuk kemudian ia pelajari. Dari proses ini, timbul masalah kedua yang banyak dipermasalahkan oleh seniman di internet.

Hak cipta. Sesuatu yang pada akhirnya menimbulkan kegaduhan luar biasa. Konon katanya, para programmer dan ahli-ahli di bidang kecerdasan buatan memasukkan jutaan karya tanpa izin pemiliknya. Hasilnya sudah bisa ditebak, bahwa apapun yang dikeluarkan oleh sang AI memiliki tingkat plagiarisme yang tinggi.

Kelly McKernan misalnya, seorang seniman digital asal Tennesse yang baru-baru ini mengajukan gugatan ke pengadilan bersama dua orang seniman lainnya. Mereka menggugat Stable Difussion, MidJourney, dan DreamUp atas klaim hak cipta. Sederhananya, ketiga perusahaan penyedia kecerdasan buatan bertipe text to image generator itu menggunakan karya-karya Kelly dan kawan-kawan untuk melatih AI mereka dan si AI mengeluarkan gambar yang memiliki tingkat kemiripan sangat tinggi dengan karya orisinilnya.

Hal ini memancing perdebatan di internet. Sebagian orang mengungkapkan kalimat dari Alkitab, bahwa “there is nothing new under the sun” alias seni hanyalah sebuah repetisi. Kesenian adalah daur ulang dari berbagai macam peristiwa, kejadian, atau bahkan karya seni lainnya dari masa lampau. Tapi kemudian sebagian orang lagi memberi argumen bahwa karya seni pada hakikatnya selalu berkaitan erat dengan individu penciptanya, sehingga sebuah karya seni instan yang diproses oleh mesin seharusnya tidak dianggap sebagai karya seni. Perdebatan ini berlangsung sangat panjang.

Menurut saya sebagai seorang seniman digital, pada dasarnya yang membuat AI kian marak adalah kapitalisme, dan itu tidak bisa dihancurkan. Permasalahan yang terjadi antara AI dan seniman, atau robot dan pekerja adalah masalah ekonomi. Kapitalisme selalu mengedepankan efisiensi di atas segalanya, dan ini yang membuat AI akan menjadi kunci dalam ekonomi global.

Dengan menggunakan AI, pengusaha bisa memangkas biaya desain, waktu, bahkan tidak perlu mengeluarkan hak-hak untuk pekerja. Dalam artian lain, semakin banyak profit yang bisa dihasilkan dan semakin sedikit biaya yang dikeluarkan. Tapi di sisi lain, AI menjadi pedang bermata dua. Ia memiliki segudang permasalahan dengan hak cipta, juga memiliki tingkat plagiarisme yang sangat tinggi.

Di mata seorang seniman, kami dengan mudah membedakan karya hasil AI dan buatan manusia. Mulai dari hal sesederhana jari karakter yang biasanya lebih atau kurang dari lima, latar belakang yang blur dan foreground yang terlalu kontras, sampai inkonsistensi garis dan arah pencahayaan. Bahkan setelah mengalami ratusan kali pembaruan, hasil karya AI selalu bisa dibedakan dengan mudah, mereka tidak hidup selayaknya gambar buatan manusia.

Permasalahan yang dihadapi oleh AI menjadikan kami tetap memiliki pekerjaan. Saya masih menerima pekerjaan terkait komik dan ilustrasi karena ternyata orang-orang memiliki keraguan atas AI. Pertama, mereka tidak mau terlibat dengan urusan hak cipta. Kedua, AI tidak bisa memberikan hasil yang konsisten bahkan dengan bantuan ‘prompt artist’ (seseorang yang pekerjaannya mengetik perintah untuk AI). Ketiga, AI tidak memberikan opsi untuk orang-orang yang ingin bersenang-senang dengan sebuah karya.

Pada akhirnya AI mungkin hanya akan berakhir sebagai sebuah media. AI tidak bisa menghasilkan output yang maksimal selayaknya tangan-tangan cekatan manusia yang menggerakkan pena, juga tidak mampu memberikan nyawa atas karya-karya yang ia hasilkan. AI bisa diterima sebagai sebuah media untuk referensi, atau bahkan kerangka dasar untuk karya yang akan dihasilkan.

Ketiadaan dan ketidakmampuan manusia untuk memberikan regulasi pada kecerdasan buatan juga menjadi masalah lainnya. Saya mengunjungi beberapa situs yang secara eksplisit menawarkan generator gambar-gambar dewasa bernuansa seksual dan bahkan ada AI chat bot yang khusus untuk kegiatan pornografi. Sebuah bot AI di aplikasi Telegram misalnya, ramai diperbincangkan pengguna X (dulu Twitter) karena bisa melakukan ‘undressing’ alias menelanjangi seseorang.

AI menjadi mengerikan karena kita tidak mampu mengontrolnya. Bahkan, seorang pemula yang tidak mengetahui seluk beluk pemrograman atau teknologi bisa memasang software AI di komputer mereka untuk dilatih. Berita buruknya, sebagian orang justru melatih AI ini untuk menghasilkan gambar-gambar porno.

Tidak bisa dikontrol, dan tidak bisa dihentikan. Mungkin peradaban manusia akan menuju kehancuran selayaknya film-film distopia—kita akan mulai mengembangkan AI yang secara terlatih memiliki emosi dan memasangkan kesadaran itu ke dalam robot humanoid. Tapi bisa jadi itu berlebihan, karena toh pada nyatanya, AI hanya digunakan sebagai alat kapitalisme terbaru. Apapun yang terjadi, manusia berjalan terseok-seok berusaha mengejar kencangnya zaman berlari.

Azi Satria
Azi Satria
Bekerja sebagai komikus dan ilustrator. Senang mendiskusikan sastra, sejarah dan manusia. Menulis ketika senggang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.