Jumat, November 21, 2025

AI dan Pendangkalan Kognitif Mahasiswa

Ali Marzuki Zebua
Ali Marzuki Zebua
Dr. Ali M Zebua adalah dosen di IAIN Kerinci. Founder pada CND Publisher. Penulis buku-buku tema Manajemen Pendidikan dan Kepemimpinan Lingkungan.
- Advertisement -

Beberapa waktu yang lalu, Prof. Dairabi, seorang profesor di Jambi, berbagi pengalaman menarik dalam kelas menulis. Ia menjumpai fenomena yang kini menjadi kekhawatiran banyak pengajar, mahasiswa yang sebelumnya memiliki kemampuan menulis biasa-biasa saja, tiba-tiba mampu menghasilkan karya yang setara atau bahkan lebih baik daripada penutur aslinya. Hasil pre-tes dan UTS mereka tidak sebanding dengan kinerja di tugas akhir. Setelah diperiksa menggunakan alat deteksi AI, ada indikasi yang kuat bahwa banyak tulisan tersebut berasal dari mesin AI.

Sebagai respons terhadap situasi ini, Prof. Dairabi mengambil dua langkah yang berdampak. Pertama, ia mengganti metode pembelajaran menjadi flipped classroom, di mana mahasiswa mempelajari materi di rumah, lalu menulis di kelas tanpa menggunakan perangkat elektronik. Kedua, ia memberikan pemahaman bahwa ketergantungan pada AI dapat mengakibatkan “penurunan kualitas pembelajaran” dan menghentikan proses berpikir mandiri.

Langkah-langkah tersebut tidak hanya menunjukkan perubahan pada teknis penulisan, tetapi juga merupakan upaya etis untuk mengatasi krisis baru dalam dunia akademis; krisis kognitif yang disebabkan oleh otomatisasi berpikir.

Ketika menulis tanpa berpikir menjadi hal normal

Sebagai seorang seorang dosen pada fakultas yang sama, saya mendapati fenomena yang serupa. Banyak mahasiswa yang sekarang lebih fokus pada cara untuk “mengendalikan AI” daripada berlatih menulis. Mereka terampil dalam memberikan instruksi (prompt), tetapi kehilangan kemampuan untuk mengembangkan ide dengan kata-kata mereka sendiri. AI memang memberikan kemudahan, tetapi di sisi lain, ia juga mengikis aspek paling manusiawi dari aktivitas menulis, yaitu kemampuan untuk berpikir.

Studi terbaru oleh Zhai, Wibowo, dan Li (2024) mengungkapkan bahwa penggunaan berlebihan dari sistem dialog AI berdampak buruk pada kemampuan berpikir kritis dan pengambilan keputusan para mahasiswa. Mereka menyebut fenomena ini sebagai cognitive offloading; ketika otak berhenti berpikir karena beban kognitifnya telah “dialihkan” ke mesin. Hal ini mengakibatkan mahasiswa menjadi cepat merasa puas dengan jawaban yang diberikan secara instan, dan mereka tidak lagi berlatih dalam menyusun argumen secara mandiri.

Keadaan ini menjelaskan bagaimana bisa terjadi “lonjakan kualitas semu” dalam tugas menulis. AI mampu meniru struktur akademis, gaya bahasa formal, dan logika berargumentasi, namun tidak mencerminkan proses berpikir penulisnya. Tulisan tersebut mungkin secara teknis “benar,” tetapi secara intelektual terasa kosong atau istilah Viktor Frankl adalah Existential Vacuum (kekosongan makna hidup).

AI bukan musuh, tapi ujian kedewasaan intelektual

Sebagian orang merasa terancam oleh keberadaan AI, namun saya pribadi tidak sepenuhnya sependapat. AI, ibarat pedang bermata dua, dapat sangat bermanfaat ketika digunakan oleh individu yang memiliki kecerdasan tinggi, mereka yang mampu mengkritik, menyesuaikan, dan mengembangkan ide-ide yang dihasilkan oleh AI. Namun, bagi mahasiswa yang belum memiliki pondasi berpikir analitis yang baik, AI malah bisa menjadi solusi instan yang merugikan kemampuan pemikiran kreatif mereka.

Mahapatra (2024) dalam penelitiannya mengenai efek ChatGPT terhadap kemampuan menulis mahasiswa ESL mengungkapkan bahwa walaupun alat ini meningkatkan ketepatan tata bahasa dan kejelasan kalimat, perkembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi seperti analisis, evaluasi, dan sintesis hampir tidak terlihat (Mahapatra, 2024).

Pandangan serupa juga dinyatakan oleh Shi dan rekan-rekan (2024) dalam tinjauan sistematik mereka di jurnal RECALL Cambridge, mengatakan bahwa umpan balik otomatis yang berbasis AI hanya berhasil memperbaiki kesalahan yang sifatnya dangkal, namun gagal dalam membangun keterampilan menulis tingkat lanjut seperti argumen dan koherensi logis (Shi et al., 2024). Dengan kata lain, AI bisa memperbaiki kalimat, tetapi tidak dapat menggantikan proses berpikir yang menghasilkan kalimat tersebut.

- Advertisement -

Pendangkalan kognitif sebagai gejala era instan

Dalam konteks pendidikan, fenomena ini dapat disebut sebagai “pengurangan kognitif.” Mahasiswa tidak lagi belajar dengan motivasi pengetahuan, melainkan dipicu oleh tekanan untuk produktif. Ketika AI membuat segala sesuatunya lebih mudah, apa yang hilang adalah perjuangan atau kegigighan belajar yang merupakan elemen penting dalam proses pembelajaran.

Alkamel (2024) menemukan bahwa mahasiswa yang sering menggunakan ChatGPT untuk menulis cenderung mengalami ketergantungan menulis sesuai format dan gagasan yang disediakan oleh teknologi (Alkamel, 2024). Mereka dapat menulis dengan cepat, namun kehilangan kemampuan untuk mengedit sendiri dan merenungkan ide-ide mereka secara kritis.

Khan (2024) dalam kajian tentang mahasiswa di Bangladesh juga menemukan hal serupa: alat AI memang meningkatkan kepercayaan diri dan efisiensi dalam menulis, tetapi memiliki efek samping dalam bentuk berkurangnya kepekaan bahasa dan kreativitas dalam berpikir (Khan, 2024).

Di sinilah peranan dosen menjadi sangat penting. Tanpa adanya pengawasan etis dan pembelajaran yang menekankan proses berpikir, AI hanya akan menjadi alat yang memperparah kemalasan intelektual.

Kembali ke kelas: menulis dengan tangan, berpikir dengan kepala

Solusi yang diterapkan oleh Prof. Dairabi dengan memindahkan tugas menulis ke dalam ruang kelas dan membatasi pemakaian gadget merupakan bentuk penolakan intelektual terhadap otomatisasi berpikir. Tindakan ini bukanlah sebuah nostalgia akan cara tradisional, melainkan pendekatan pedagogis untuk mengembalikan keaslian dalam proses penulisan.

Rekomendasi serupa juga muncul dari Lo, Wang, dan Hew (2024) dalam tinjauan sistematis mereka, integrasi AI dalam pengajaran harus dilakukan dengan bimbingan, bukan secara bebas, agar mahasiswa tetap mengalami proses kognitif yang sah dalam menyusun teks (Lo et al., 2024).

Saya berpendapat bahwa pembelajaran menulis di tengah perkembangan AI tidak perlu menolak teknologi, tetapi harus mendidik cara berpikir mengenai teknologi tersebut. Mahasiswa perlu menyadari bahwa menulis tidak sekadar membuat teks saja, melainkan juga menciptakan makna dalam tulisan sehingga mampu diimplemntasikan dalam kehidupan. Jika AI digunakan secara bijaksana, misalnya untuk membandingkan gaya penulisan, menguji logika, atau memperluas kosakata, maka ia dapat berfungsi sebagai mentor digital yang bermanfaat. Namun, jika digunakan untuk menggantikan proses berpikir, teknologi tersebut menjadi sebuah kecanduan intelektual.

Menulis untuk berpikir, bukan menulis untuk selesai

Fenomena mahasiswa yang menulis dengan “kualitas di luar nalar” adalah cermin dari krisis pendidikan modern, kecepatan mengalahkan kedalaman. AI telah mengaburkan batas antara belajar dan menyalin, antara berpikir dan mengetik.

Seperti dikatakan oleh Prof. Dairabi, “Ketergantungan pada AI tools bisa menyebabkan pendangkalan pembelajaran.” Pernyataan itu tepat menurut saya, karena kemampuan menulis sejatinya bukan sekadar kemampuan linguistik, melainkan kemampuan berpikir.

AI adalah alat, bukan pengganti intelektualitas. Ia akan memperkuat penulis yang berpikir, tapi menumpulkan mereka yang hanya menyalin.

Ali Marzuki Zebua
Ali Marzuki Zebua
Dr. Ali M Zebua adalah dosen di IAIN Kerinci. Founder pada CND Publisher. Penulis buku-buku tema Manajemen Pendidikan dan Kepemimpinan Lingkungan.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.