Entah mengapa, saya selalu tidak sepakat bila gagasan dilawan dengan ‘senapan’. Dari kasus Ahok dengan polemik Al-Maidah, Rocky Gerung dengan kitab suci fiksinya, hingga sekarang Somad atau dikenal UAS dengan jin kafir pada salib Yesus, selalunya saya gelisah bila disikapi dengan pelaporan.
Bukan tanpa alasan, menyikapi gagasan dengan pelaporan bukan hanya menutup ruang dialog, tapi juga rawan memicu konflik horizontal dan upaya balas dendam. Tidak menutup kemungkinan, tensi ketegangan akan meningkat, lalu dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang memang cari hidup dari konflik. Mestinya, dengan dialog dan silaturahmi, ketegangan diredam, hingga bara api pun padam.
UAS telah mengungkapkan gagasannya ihwal salib dan patung. Dalam hematnya, jin kafir bersemayam dalam setiap patung, tak terkecuali patung Yesus yang ada di salib. Gagasan ini mungkin salah, dan pasti menyesakkan dada bagi pihak yang tak menerima gagasan tersebut.
Tapi mengapa mesti marah dan meresponnya dengan reaktif? Gitu aja kok marah. Apakah Yesus menjadi hina, hanya karena ia dihina? Apakah Muhammad SAW akan turun level, bila ia dicaci? Tidak, justru si pencela yang akan tercela dan turun level, bila ia menilai tidak proporsional.
Sokrates menemui sahabatnya yang larut dalam sedih. Kepada Sokrates, sahabat itu mengadu ihwal kesedihannya, barusan seseorang menghinaku. Sokrates menenangkan, bila engkau melihat orang yang sedang sakit, bagaimana perasaanmu, bersedih atau justru iba kepadanya?
Aku iba kepadanya, jawabnya. Lantas mengapa sekarang engkau bersedih. Ketahuilah, mereka yang gemar menghina hakikatnya sedang menderita penyakit hati yang tak mereka sadari. Tutup Sokrates.
Walhasil, dalam pandangan kita, tak ada jin kafir dalam patung salib Yesus. Salib Yesus adalah simbol cinta dan pengorbanan. Itu pandangan kita, dan boleh jadi benar. Tapi, dalam pandangan UAS, yang terjadi adalah sebaliknya, dan boleh jadi salah. Kita mengajarkan pandangan kita, UAS pun demikian. Lantas, masalahnya di mana?
Mengapa kita tidak saling duduk dan ngopi bersama. Tak usah saling tukar pandangan, wong masing-masing kita merasa benar. Cukup saling dengar gagasan. Di hadapan UAS dan jemaahnya, kita uraikan secara argumentatif pandangan kita. Dan di hadapan kita, biarkan UAS menyuguhkan argumentasi atas keyakinannya. Boleh jadi, ada hadis atau apalah, yang menjadi sandaran UAS. Kita simak dengan hati yang tenang, lalu nilai secara objektif.
Khawatirnya, sebelum menyimak dengan seksama video UAS ihwal salib Yesus, telah ada dibenak kita penilaian negatif atasnya, bahwa dia (UAS) menghina bla bla dan bla. Boleh jadi, penilaian prematur ini disebabkan oleh deskripsi video (kita menilai konten video dari deskripsi video yang ditulis oleh penyebar video), atau karena faktor politik (pokoknya UAS salah, karena ia adalah ustadz paslon si fulan).
Sekali lagi, akan lebih bijak, bila kepada UAS kita bertanya, apa argumentasinya bahwa dalam salib Yesus, terdapat jin kafir. Seperti juga kala itu, mestinya kita bertanya kepada Ahok dan RG, apa argumentasinya.
Biarkan mereka mempertanggungjawabkan secara ilmiah gagasan-gagasan yang mereka yakini. Rasanya, polisi tak perlu turun tangan menyelesaikan masalah pemikir, apatah lagi menurunkan massa rakyat hingga demo berjilid-jilid.
Lebih penting dari itu, mengapa kita tak curiga ihwal: siapa penyebar video tersebut dan mengapa baru sekarang diviralkan, apakah mungkin ada upaya adu domba, menciptakan konflik horizontal agar isu besar tertutupi. Sebab bukan rahasia lagi, bila isu² besar semisal perampokan SDA, korupsi dll, ditutupi dengan konflik.
Fokus rakyat dialihkan, dari mengawasi tikus-tikus kantor yang bersekongkol dengan kucing² lapar, ke masalah agama, ras dll. Rakyat sibuk, saling bertengkar karena keyakinan, sementara tikus dan kucing melahap seluruh isi rumah. Bukankah lebih baik membela kemanusiaan yang terus saja dijarah, daripada membela Tuhan yang memang tak perlu dibela.
Itulah mengapa, saya selalu bersyukur karena berfilsafat. Sebab dengan begitu, saya tak perlu terheran-heran, apatahlagi mencak-mencak, kala mendengar cacian atau gagasan yang berbeda dengan apa yang saya yakini. Betapapun pandangan tersebut menyayat emosi, kita sikapi dengan rasional.
Pun juga, saya tak perlu termehek-mehek, kala mendengar pujian atau gagasan yang sesuai dengan keyakinan saya, betapapun gagasan tersebut membuat hati berdebar-debar. Tahu mengapa? Sebab filsafat, pun juga dengan agama, menganjurkan kita untuk bertanya, apa argumentasi kalian, jika kalian adalah orang-orang yang benar.