Ahmad syafii Maarif (selanjutnya ditulis sebagai buya’ Syafii) adalah sosok muadzin bangsa yang humanis, pluralis dan moderat. Ia adalah satu dari sekian intelektual muslim Indonesia yang terus menyerukan, toleransi, keadilan, kemanusiaan, persatuan dan kebhinekaan. Meski sudah berumur sepuh, hal tersebut ia lakukan untuk menjaga Indonesia agar tetap harmonis dan damai.
Buya ASM tanpa tedeng aling-aling bersuara dan mengkritik kelompok garis keras (Ia menyebutnya preman berjubah) yang suka melakukan intoleransi, kepada minoritas keagamaan yang dianggap sesat di Indonesia. Meski preman berjubah tersebut dengan jumlah mayoritas, buya walaupun berdiri sendiri ia tidak pernah mundur, bahkan urat takutnya sudah putus untuk menghantam mereka dengan pikiran-pikiran segarnya. Di sisi lain ia juga tidak pernah menutup mata dan mulutnya terhadap sikap negara yang sering memberikan karpet merah terhadap tindakan intoleransi dari preman berjubah.
Indonesia hari-hari ini terus berkutat dengan masalah intoleransi, diskriminasi dan kekerasan dalam beragama. Realitas ini dialami paling banyak oleh Ahmadiyah, Syiah, Agama leluhur dan lain-lain. Mereka bukan hanya dipandang dengan kebencian dan kesesatan, tetapi melampaui itu, mereka sering mengalami kekerasan secara fisik, seperti: Tempat ibadah mereka disegel dan dibongkar, diusir dari perkampungan bahkan ada yang dianiaya.
Masalah di atas menunjukan maraknya pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Sebagai seorang yang kritis dan berkomitmen dalam persoalan kemanusiaan, buya Syafii sangat getol membela kebebasan beragama dan berkeyakinan. Maka dalam tulisan ini saya akan mengurai tentang gagasan kebebasan beragama dan berkeyakinan dari buya syafii. Di sisi lain gagasan tersebut, bisa menjadi dasar hidup bersama di tengah kemajemukan Indonesia.
Menurut pembacaan saya terdapat dua pendekatan dalam membaca gagasan kebebasan beragama dan berkeyakinan buya Syafii. Pertama, pendekatan keislaman. Bagi buya Syafii Islam tidak pernah melarang agama dan kepercayaan orang lain. Ia percaya bahwa, setiap orang bebas memilih jalannya untuk menuju Tuhan. Memang buya Syafii tidak mengatakan atau menuliskan secara langsung gagasannya tentang kebebasan beragama, namun hal tersebut dapat kita lihat dalam pembahasannya tentang Islam dan masalah keragaman agama dan budaya. Ia pun menegaskan bahwa berbicara keragaman agama dan budaya tidak bisa dilepaskan dari prinsip kebebasan.. (Ahmad Syafii Maarif; 2015).
Bagaimana pendekatan Islam terhadap kebebasan beragama? Menurut buya Syafii pendekatan tersebut terdapat pada salah satu ayat dalam Al-qur’an, yang berbunyi: “la ikraha fi al-din” yang artinya tidak ada paksaan dalam beragama (Q.S Al-Baqarah; 256). Dengan meminjam Mufassir A. Hassan, ia mengatakan bahwa ayat tersebut memilliki dua kandungan: Pertama: Tidak boleh sekali-kali dipaksa seseorang untuk masuk satu agama; Kedua, tidak dapat sekali-kali dipaksa seseoraang di dalam urusan iman. Artinya setiap pemaksaan dalam beragama ataupun beriman ia telah melawan perintah Al-Qur’an (Ahmad Syafii Maarif; 2015) Anjuran Al-Qur’an tersebut sangat jelas bahwa, orang muslim harus menghargai kebebasan beragama dan berkeyakinan orang lain. Meski seseorang telah memilih jalan yang sesat, ia tidak bisa dibinasakan dan bahkan haknya untuk beragama tidak boleh dirampas.
Bagi buya Syafii, meski agama dan keyakinannya dianggap menyimpang biarkan itu berurusan dengan apa yang ia yakini. Tidak boleh ada kelompok yang menghakimi dan mengadilinya. Pun dalam sebuah negara, hak-haknya untuk memilih agama apapun, harus dijamin oleh negara dengan segala ketentuan yang ada. Jangankan orang yang beragama, orang atheis pun bebas hidup di muka bumi ini. Karena bumi dan khususnya Indonesia berhak dihidupi oleh orang yang beragama maupun tidak beragama. Sepanjang hidup dengan harmonis aman dan damai (Ahmad Syafii Maarif; 2015, 167).
Menurutnya Indonesia tidak bisa diklaim milik orang beragama saja. Di sisi lain dengan pendekatan keislaman buya Syafii menempatkan Islam sebagai agama inklusif, ramah dan memberikan rasa aman bagi siapapun. Gagasan buya Syafii ini, perlu menjadi perhatian bagi kaum muslim untuk mencita-citakan hidup harmonis di tengah keberagaman Indonesia. Karena gagasan tersebut, bukan lahir dari kevakuman ruang, tetapi ia berada dan berasal dalam ajaran Islam itu sendiri.
Kedua, pendekatakan kemanusiaan. Pendekatan ini saya mengambilnya dari pembacaan Sumanto Al-Qurtuby atas pembelaan buya Syafii terhadap hak-hak kaum ateis. Sumanto, menamakannya sebagai dalil kemanusiaan (Sumanto Al-Qurtuby; 2015). Sebagai seorang yang humanis, buya Syafii sangat tegas membela kemanusiaan sejati. Baginya kemanusiaan mutlak diperjuangkan apa pun latar agama dan etnis umat manusia (Sumanto Al-Qurtubi; 2015).
Dalam semua kehidupan yang plural, semua keunikan, perbedaan, keberbehagiaan harus diakui sebagai realitas yang inheren ada dalam manusia. Buya Syafii juga menyebutkan bahwa semua umat manusia terdapat persudaraan sejati. Persudaraan manusia sejati dibangun dari rasa kemanusiaan yang tinggi, tulus dan penuh keterbukaan. Ia tanpa disekati oleh etnis, suku ataupun agama.
Cara untuk menghargai dan menghormati hak beragama ataupun tidak beragama orang lain. Salah satunya dengan mempercayai dan mengamalkan persaudaraan umat manusia sejati. Dengan cara-cara seperti itulah kita bisa hidup di Indonesia secara damai, toleran dan harmoni. Hal itulah yang akan membuat hidup umat manusia terhindar dari segala kebencian, diskriminasi, intoleransi atas nama agama. Mengikuti penjelasan buya Syafii di atas, bagi penulis budaya busuk seperti pembelengguan dan perampasan atas hak beragama dan berkeyakinan harus kita buang jauh-jauh dari bumi Indonesia ini.
Sebelum tulisan ini saya akhiri, sebagai anak muda yang takjub dengan jalan intelektual buya Syafii. Selamat ulang tahun yang ke 86 buya Syafii. Teruslah berjuang untuk kemanusiaan, keindonesiaan dan kebhinekaan. Semoga buya Syafii berumur panjang dan sehat selalu.
Daftar Pustaka
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung; Mizan. 2015)
Sumanto Al-Qurtubi, Buya Syafii, Ateisme dan Hak-hak Kewargaan Kaum Ateis di Indonesia, Dalam, Muazin dari Makkah Darat Biografi Intelektual Ahmad Syafii Maarif, Editor Ahmad Najib Burhani dkk (Jakarta; Maarif Institute dan Serambi, 2015)