Jumat, April 26, 2024

Agora Politik di Media Sosial

Rolip Saptamaji
Rolip Saptamaji
I'm a Political science researcher, lecturer and creative director.

Anda tentu tidak lagi asing dengan media sosial di internet seperti Facebook, twitter, instagram dan lainnya. Belakangan ini media sosial tak lagi sekadar soal bertemu teman lama atau mencari teman baru.

Kini, kampanye politik memasuki wilayah media sosial yang selama ini luput dari perhatian para politisi. Siapa tak tahu kalau tokoh-tokoh nasional kini memiliki akun di twitter untuk berkomunikasi dengan masyarakat, Siapa juga tak sadar kalau berbagai wacana politik mengalir deras di sosial media.

Aktivitas politik kini merambah ke dunia maya melalui media sosial, blog, dan website. Sebaliknya, kini politik pun dipengaruhi oleh aktivitas di media sosial, kita dapat melihat fenomena bagaimana aktivitas media sosial dijadikan ukuran untuk popularitas isu kebijakan ataupun popularitas kandidat politik.

Media sosial memungkinkan orang untuk dapat berkomentar dan mengkritik apapun, mendukung siapapun dan isu apapun tanpa harus mengalami kendala jarak, ruang dan waktu. Kebebasan ini begitu menjanjikan, meretas semua batas yang ada di dunia nyata, menjadikan segala yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Adalah Manuell Castells (2010) yang berpendapat bahwa pengembangan teknologi informasi internet mampu mendorong munculnya gerakan sosial dan partisipasi demokrasi melalui media sosial baru. Menurutnya juga konsepsi ruang publik Habermas telah terwujud dalam media sosial dimana kekuasaan dan kebebasan muncul tanpa hambatan. Media sosial menjadi wilayah netral dimana negara tidak dapat muncul dalam bentuk represifnya.

Mesir dan Tunisia telah membuktikan keampuhan media sosial dalam mobilisasi politik. Beberapa negara pun bersikap reaktif terhadap aktivitas warganya di dunia maya. Tidak hanya negara berhaluan Komunis sepert China dan Vietnam yang membatasi kebebasan internet, negara non-komunis seperti Korea Selatan, Filipina, dan Singapura juga mengatur kebebasan internet.

Di Indonesia, aktivitas di media sosial bahkan mengakibatkan banyak pemilik akun media sosial ditangkap karena cuitannya. Pertanyaannya adalah jika aktivitas di media sosial dapat dijadikan ukuran partisipasi politik mengapa partisipasi tersebut berbanding terbalik dengan partisipasi pemilih yang terus menurun.

Dalam mitos Yunani pasca Homer, dikenal istilah Agora yang merujuk pada sebuah ruang dimana barang dan informasi dipertukarkan. Di Agora, informasi dipertukarkan melalui pembicaraan atau pesan yang ditempel di dinding.

Dalam konsepsi modern, Agora dapat disejajarkan dengan konsep Ruang Publik yang oleh Habermas disempurnakan sebagai ruang dalam artian area fisik maupun media dimana setiap orang dapat berdebat, berdiskusi dan membentuk konsensus bersama.

Singkatnya, baik konsep Agora maupun Ruang Publik adalah ruang terjadinya partisipasi sosial-politik tanpa hambatan. Asumsi inilah yang melatari pendapat Castells tentang alternatif ruang publik yang disediakan oleh media sosial.

Partisipasi politik sendiri dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu partisipasi yang terlembaga dan partisipasi yang tidak terlembaga. Partisipasi terlembaga berhubungan erat dengan sistem politik yang berlaku, dalah satu wujudnya adalah pemilihan umum. Sebaliknya, partisipasi tak terlembaga berada diluar sistem politik dan berkaitan erat dengan proses sosial sehari-hari.

Partisipasi tak terlembaga biasanya muncul melalui komentar, obrolan, kritik, poster protes, hingga mobilisasi aksi massa. Meski kadang dibebani oleh label yang peyoratif, partisipasi tak terlembaga merupakan arwah dari partisipasi terlembaga karena proses politik sebenarnya terjadi di ruang keseharian masyarakat. Partisipasi tak terlembaga inilah yeang menjadi inti dari teori Habermas mengenai proses Legitimasi.

Media sosial sebagai Agora alternatif

Berkembangnya teknologi internet yang sebelumnya sebelumnya bekerja dengan satu jalur (internet 1.0) menjadi dua jalur (2.0) memungkinkan para penggunanya untuk berbagi file, komentar, percakapan melalui teks singkat dan berkolaborasi bahkan membangun komunitas.

Fenomena ini kemudian ditampilkan oleh munculnya media sosial seperti Facebook, kaskus hingga Twitter yang populer saat ini. Evans (2010) menjelaskan bahwa, media sosial memiliki lima karakteristik umum yaitu; partisipasi, keterbukaan, percakapan, komunitas dan ketersalinghubungan. Kelima elemen ini memang sulit ditemui dalam realitas politik kita dimana elit dan massa dipisahkan oleh jarak yang rumit.

Mulai dari keterbatasan akses politik yang didominasi kaum tua (senior citizen) hingga kerumitan birokrasi untuk menyampaikan aspirasi politik mendorong orang menyalurkan aspirasinya melalui internet terutama sosial media yang mampu memutus jarak tersebut.

Hasilnya, masyarakat terutama kaum muda yang kehilangan hasrat untuk menyuarakan aspirasinya memilih dua jalur komunikasi politik; pertama, melakukan demonstrasi atau mobilisasi aksi massa untuk memotong jalur komunikasi politik yang rumit. Kedua, menyalurkan komentar, kritik dan partisipasi politiknya di dunia maya melalui internet, terutama di media sosial.

Massalnya penggunaan media sosial yang didukung oleh kemudahan memperoleh akses internet dan peralatannya yang semakin ringkas menambah fungsi media sosial yang sebelumnya hanya teknologi untuk mamfasilitasi komunikasi antara tiga orang atau lebih menjadi Agora alternatif  bagi partisipasi politik.

Namun, kemunculan Agora alternatif  ini bukan berarti tanpa masalah yang mengikutinya. Dengan beralihnya ruang ini ke konstruksi dunia maya sebagai alternatifnya, ruang publik tidak lagi membutuhkan kehadiran fisik dan tak lagi terhalang oleh ruang dan waktu.

Partisipasi didalamnya pun berakslerasi dengan cepat, pun begitu dengan persoalan kesamaran identitas partisipan yang melahirkan vigilantisme baru di dunia maya. Saat ini sangat sulit bagi kita membedakan mana akun yang benar-benar manusia, dan mana yang hanya bot, atau bahkan sekedar kumpulan buzzer politik anonim yang bertugas menyebar informasi bias sebanyak-banyaknya.

Pada perjalanannya, secara bertahap partisipasi politik di Agora media sosial semakin samar dan hanya menjadi fantasi politik yang menenggelamkan kita kedalam arus wacana politik artifisial.

Sumber

  • Castells, Manuel (2013) Communication Power. Oxford University Press, Oxford, United Kingdom
  • Evans, Dave (2010) Social Media Marketing; An Hours A day. Wiley & Sons, Indiana
Rolip Saptamaji
Rolip Saptamaji
I'm a Political science researcher, lecturer and creative director.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.