Jumat, April 19, 2024

Agar Hari Anak Tak Sekadar Seremonial

M S Fitriansyah
M S Fitriansyah
Mahasiswa Universitas Terbuka Yogyakarta

Jamak ketika suatu negara merayakan hari anak. Begitupun di Indonesia. Hari Anak Nasional (HAN) tersebut diperingati pada 23 Juli sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984.

Segala puji untuk Presiden Soeharto yang mencetuskan ide brilian tersebut. Begitu terbukanya pemikiran beliau untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anak-anak penerus bangsa.

Untuk menjamin hak-hak anak di Indonesia, pemerintah telah menjaminnya dalam Undang-Undang RI Nomor 23 Tentang Perlindungan Anak. Setidaknya ada 12 hak anak tercantum,  yang diantaranya adalah hak memperoleh perlindungan dari tindak kekerasan, eksploitasi, serta diskriminasi. UU tersebut kemudian diperbarui menjadi Undng-Undang Nomor 35 Thaun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Berbagai kegiatan bakal dihelat untuk memperingati hari anak. Umumnya, di Indonesia yang memiliki populasi 258 juta jiwa (2016) dan 32,24%-nya adalah anak-anak menyambut HAN dengan perayaan.

Perayaan dengan tema-tema tertentu sudah menjadi agenda rutin setiap tahun. Pemerintah sudah semestinya digarda terdepan—mengajak masyarakatnya untuk peduli akan hak-hak anak. Seperti tema yang diusung tahun ini “anak Indonesia anak GENIUS (Gesit-Empati-Unggul-Sehat). Yohana Yambise, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berharap anak Indonesia nantinya sehat, bahagia dan aman.

Harapan Bu Menteri bukan tanpa sebab. Jelang HAN, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) hingga Juli ini sudah menerima 1.185 pengaduan tentang pelanggaran hak-hak anak. KPAI juga mencatat dalam tujuh tahun terakhir setidaknya ada 26.954 kasus kekerasan pada anak.

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) membagi kekerasan pada anak menjadi beberapa klasifikasi: kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional, penelantaran, serta eksploitasi komersial.

Dalam tatanan masyarakat, keluarga menjadi akar untuk membangun karakter anak nantinya. Namun, kenyataan justru berbeda. Kekerasan terhadap anak cukup tinggi terjadi di rumah.

Ironis jika harus menerima kenyataan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi dalam lingkungan keluarga. Namun, begitulah nyatanya. Dalam catatan KPAI kekerasan terhadap anak dalam rumah menjadi salah satu klaster yang tertinggi. Sejumlah 3.875 kasus kekerasan pada anak terjadi di rumah (2011-2016).

Secara tak langsung salah satu akar permasalahan maraknya kekerasan pada anak terjadi di keluarga. Kekerasan fisik masih dominan diterapkan dalam keluarga. Dengan dalih mendisiplinkan anak, acap kali orang tua berlaku kasar. Maka lumrah apabila anak mendapat kekerasan fisik berupa cubitan, pukulan, hingga tamparan.

Seorang teman sempat bercerita bahwa ketika masih SMP, ia sudah terbiasa mendapat perlakuan kasar dari orang tuanya. “Pernah aku nggak dapat ranking di kelas, oleh ibuku, tas dan perlengkapan sekolahku dibuang ke sungai,” ungkapnya. Ia bahkan pernah dilempar pakai panci hingga piring.

Ia pun tak memungkiri jika kurang harmonisnya rumah tangga keluarganya menjadi faktor orang tuanya bertindak kasar.

Namun, problematika tersebut seperti sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat kita. Seakan cara ampuh untuk mendisiplinkan anak adalah dengan melakukan tindakan yang justru melanggar hak anak.

Perlakuan yang menjerumus otoriter dari orang tua tersebut bukan tanpa sebab. Faktor penyebabnya bisa berupa kemiskinan, kondisi lingkungan, hingga prahara rumah tangga—seperti teman saya di atas. Kondisi tersebut, jika tak bisa dikendalikan akan menjadikan anak sebagai objek pelampiasan.

Dear Ayah, Bunda

Cara yang kalian lakukan lakukan justru keliru. Menerapkan hukuman fisik justru akan berdampak negatif bagi anak. Anak yang mendapat kekerasan fisik dari orang tuanya akan mengalami perubahan pada tubuh seperti luka, memar, hingga patah tulang.

Namun, yang patut dikhawatirkan apabila kekerasan fisik dilakukan terus menerus maka akan mengganggu pertumbuhan sang anak. Bisa saja anak tersebut akan mengalami disabilitas.

Selain kekerasan fisik, kekerasan psikis pada anak juga menjadi ancaman. Orang tua yang gemar memaki, membentak dan mengancam bisa menimbulkan trauma pada anak. Bisa saja sang anak akan mengalami ketakutan yang berlebihan, tak percaya diri serta menarik dari lingkungan sekitar. Akibatnya segala bentuk aktivitas sehari-hari anak akan terganggu.

Tentu saja, kita mengapresiasi apapun yang dilakukan pemerintah—selama arahnya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anak-anak Indonesia. Namun, sebaik apapun program pemerintah, selama masyarakatnya pekok ya sama aja!

Sekarang semua berawal dari diri sendiri. Mulailah meninggalkan cara-cara lama. Jika pemikiran masyarakatnya masih konservatif, sampai kapanpun kekerasan pada anak bakal terus berputar.

Percuma kan kalau merayakan hari anak tiap tahun tapi kekerasan pada anak tetap dijalankan. Memperingati hari anak sah-sah saja, tapi mbok ya diimbangi dengan menghapus kekerasan tersebut di lingkup keluarga. Insya Allah kita bisa menekan angka kekerasan pada anak. Stop kekerasan pada anak.

M S Fitriansyah
M S Fitriansyah
Mahasiswa Universitas Terbuka Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.