Dewasa ini, realitas agama sebagai candu masyarakat agaknya tidak hanya berlaku bagi proletariat atau kaum tertindas saja, bahkan kaum borjuis atau orang-orang masyarakat menengah ke atas pun pada titik kesuksesan dan kekayaan mereka terkadang masih mencari opium agama untuk menenangkan dan mendamaikan hati mereka.
Hal demikian penulis saksikan sendiri ketika sedang berlibur di daerah Kediri untuk mengunjungi teman yang kebetulan tergabung dalam majelis dzikir cabang dari Jawa Barat. Kajian yang rutin setiap tengah malam melakukan dzikir mulai dari sholat hajat, tahajud, taubat dan diakhiri ruqyah.
Yang terlibat dalam jama’ahnya beragam. Mulai pegawai kantoran, ibu-ibu sosialita sampai mahasiswa yang bergabung untuk dzikir sampai menjelang subuh. Melihat mahasiswa mengikuti kajian seperti ini tentunya wajar saja karena pada masa mahasiswa adalah masa untuk mencari jati diri, namun berbeda ketika melihat ibu-ibu sosialita bahkan para pegawai kantoran sukses pun masih menyempatkan rutinan ruqyah.
Alasan mereka pun tidak jauh berbeda dengan yang lainnya yaitu untuk mencari ketenangan batin karena seharian telah berjibaku dengan urusan duniawi yang memusingkan. Jika fenomena ini dikaitkan dengan konsep agama Karl Marx bahwa agama itu candu masyarakat tertindas, maka pada masa ini agama pun juga adalah opium bagi masyarakat menengah ke atas.
Fenomena beberapa artis hijrah juga mulai semakin banyak di media Indonesia. Jelas mereka bukan dari masyarakat ekonomi rendah atau pun tertindas. Maka ketika Marx mencoba menawarkan komunisme sebagai revolusi agar tidak ada penindasan-penindasan yang disebabkan oleh kesenjangan kelas dengan diperparah oleh ilusi-ilusi agama, pertanyaan untuk zaman sekarang adalah masihkah relevan?
Karena bahkan masyarakat menengah ke atas pun juga kecanduan dengan agama, beberapa berhijrah dengan ekstrim bahkan beberapa kasus mereka langsung bertansformasi ke gaya kehidupan yang zuhud dan hidup dengan sederhana karena semua hartanya hanya untuk jihad. Dalam hal ini yang dibutuhkan bukanlah konsep baru, sejatinya yang dibutuhkan adalah merevitalisasi nilai-nilai gaya hidup moderat yang sebenarnya telah ada dalam al-Qur’an kemudian membumikannya.
Dalam filsafat ketuhanan Ahmad Yaqub dijelaskan bahwa fitrah manusia bergolak mencari dan merindukan tuhan, mulai dari bentuk yang dangkal dan bersahaja berupa perasaan sampai ke tingkat yang lebih tinggi berupa penggunaan akal (filsafat).
Boleh jadi fitrah ini sekali-kali tertutup kabut kegelapan sehingga nampak manusia tidak mau tau siapa penciptanya, namun kekuatan fitrah ini tidak dapat di hapuskan sama sekali. Dia sewaktu-waktu muncul ke permukaan lautan kesadaran memanifestasikan kecenderungannya merindukan tuhannya yang begitu baik budi.
Dan betapa bahagianya pencari-pencari tuhan yang merindukan penciptanya itu, ketika mereka di sambut mesra oleh tuhan sendiri dalam bentuk petunjuk yang di wahyukannya melalui rasul-rasulnya. Di sanalah terdapat perpaduan antara naluri, akal dan wahyu yang membuahkan ma’rifah, pengenalan terhadap Allah dengan sebenar-benarnya.
Dalam pandangan Karl Marx menurutnya manusia yang tertindas seakan terlena dengan khayalan-khayalan yang di janjikan agama pada kehidupan akhirat, hikmah-hikmah, dan mistik. Agama seperti candu, menghancurkan, menjerumuskan dan merusak tatanan kehidupan manusia di muka bumi dengan janji-janji yang kadang sulit dipahami dengan akal.
Padahal tidak selalu yang melarikan diri kepada agama hanyalah orang-orang yang tertindas karena terpuruk kesejahteraan ekonominya. Pada hakikatnya manusia mencari ketenangan dalam agama, dengan beragam motif yang salah satunya adalah keberkahan.
Dengan beragama sebenarnya tidak lantas membuat manusia terbuai oleh ilusi yang ditawarkan oleh agama, seperti surga dengan kenikmatan tiada akhirnya. Ada beberapa syariat yang lantas memberikan wadah kaum borjuis untuk bersedekah sekaligus beribadah seperti syariat zakat.
Dalam Islam terdapat syariat zakat salah satu tujuan adanya hukum ini adalah agar setiap mengumpulkan harta berarti juga ingat bahwa selalu ada beberapa bagian yang harus kita sisihkan kepada orang yang membutuhkan. Karena dalam berbagi juga mendatangkan efek psikologis ketenangan bagi pemberi.
Tentunya istilah seperti zakat tanpa beragama pun sebenarnya setiap orang dapat melakukannya, namun agama mewadahi manusia untuk berbagi dengan menawarkan ketenangan dan kepuasan. Maka kurang tepat jika mengatakan bahwa agama justru menjauhkan manusia dari dimensi kemanusiaannya itu sendiri dan sebagainya.
Hanya saja menjadi menggelikan jika cara kaum borjuis mendekatkan diri kepada Tuhannya agar berislam secara kaffah dengan hanya mengikuti kajian ruqyah kesana kemari.
Fenomena ini terasa baru, karena biasanya kaum menengah keatas ketika memutuskan berhijrah hanya sebatas pada simbolik. Sedangkan dalam prosesi ruqyah menurut salah satu ustadz dalam majelis tersebut adalah pergolakan batin yang melawan jin-jin jahat yang ada dalam jiwa manusia.
Orientasi dalam mendekatkan diri kepada Allah atau katakanlah hijrah, akan sangat sia-sia hanya jika bertujuan melawan jin-jin yang jahat dalam jiwa manusia. Seharusnya kaum borjuis dengan power yang dia miliki ketika memutuskan untuk mengabdi kepada agama setidaknya dapat memberi impact terhadap saudara seimannya, dengan sedekah misalnya.
Fenomena kajian ruqyah yang mulai banyak diikuti oleh kaum borjuis sebenarnya pengaruh terbesar adalah pemuka agama dalam memberikan ilusi-ilusi baru. Semangat beragama yang menggebu malah diarahkan pada hal yang bersifat abstrak seperti rukyah dengan tujuan melawan jin.
Dalam pandangan franz(2006) menjelaskan bahwa agama bukan pelarian. Apabila agama agama justru memberdayakan para penganutnya untuk membangun masyarakat yang solider dengan mereka yang miskin dan lemah, masyarakat yang positif, damai, saling menghormati, serta melawan ketidakadilan dan penindasan meraka yang tidak berdaya maka adalah suatu hal yang positif.
Namun, agama seperti itu hanya akan terjadi apabila kaum agamawan adalah manusia-manusia yang terbuka, positif, toleran, yang aktif memperlihatkan humanisme dan solider. bukan hanya pencekokan doktrin berupa ilusi-ilusi jin yang seakan-akan mengintervensi jiwa manusia sehingga perlu rukyah terus menerus.
Meski demikian, kritik agama marx bukannya tidak berguna sama sekali. Marx telah menyadarkan orang-orang beragama untuk tidak pasrah dan menyerah pada nasib yang belum mereka ketahui dengan pasti. Agama jangan hanya dijadikan tempat untuk berdoa, berdzikir, rukyah dan membangun harapan serta bermalas malasan, tetapi penganutnya di tuntut untuk merealisasikan dalam bentuk kerja-kerja konkrit