Rabu, April 17, 2024

Agama dan Sains Dalam Pandangan Al-Ghazali (2)

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Penikmat kajian keislaman dan filsafat.

Termasuk juga yang di tolak al-Ghazali adalah pendapat para filosof yang mengatakan Tuhan itu tidak mengetahui detail-detail informasi dalam alam raya ini. Tuhan itu seperti bos besar yang duduk di kursi hanya ngurus kebijakan besar, tapi tak mengurusi yang kecil, karena yang kecil-kecil itu urusannya para Manajer. Jelasnya, Tuhan hanya mengetahui kulliyat, tidak juz’iyat.

Hal ini tidak sesuai dengan aqidah Islam, karena dalam akidah Islam dikatakan Tuhan itu Maha Tahu (al-Ilm) dan mengetahui seluruhnya. Sebetulnya, kalau kita baca komentar al-Ghazali mengenai isu-isu yang demikian, mengingatkan kita kepada Tuhan dalam konsepsi Spinoza.

Di dalam konsepsi Spinoza (disebut penganut panteisme-monistik), Tuhan digambarkan seperti tukang jam. Watak tukang jam adalah, ketika dia sudah selesai membikin Jam, dia tak lagi ngurusi jamnya, karena jam sudah berjalan sendiri mengikuti hukum internal dalam dirinya. Dalam ha ini, Tuhan sudah istirahat. Artinya, setelah menciptakan jam, Tuhan istirahat dan tidak lagi mengurus ciptaannya.

Ini memang pandangan Tuhan yang khas menurut para filosof. Tuhan itu tidak terlalu disibukkan dengan perkara terkecil. Akan tetapi kata al-Ghazali, hal ini tak sesuai dengan aqidah Islam. Karena dalam aqidah Islam, Tuhan digambarkan sebagai Tuhan yang dekat dengan manusia, mendengarkan doa manusia setiap saat, bukan Tuhan filosof yang jauh sekali.

Pertanyaannya adalah, apa yang bisa kita petik dari respon al-Ghazali ini? Bahwa, al-Ghazali sebetulnya tidak menolak seluruh filsafat Yunani yang terkait dengan masalah Thabi’iyat (fisika). Justru, al-Ghazali hanya menolak beberapa bagian yang secara kontras dengan aqidah Islam. Kalau kita terjemahkan dengan konteks sekarang, kita tidak boleh menolak sains modern, karena sains modern bagian dari cara manusia memahami alam.

Sekali lagi, yang ditolak adalah pandangan atau asumsi filosofis yang berada dibalik sains. Misalnya, sains sebagai sains yang bisa dibuktikan secara ilmiah seperti, teori gravitasi newton atau teorinya Einstein mengenai relativitas khusus dan relativitas umum, atau teori fisika kuantum. Mengapa demikian? Karena semua teori yang sekarang sudah dibuktikan melalui eksperimentasi (ilmu yang sudah didukung oleh Burhan). Dan tak boleh menolaknya.

Meskipun, sebagian para saintis modern mempromosikan satu asumsi filosofis atau pandangan dunia yang mengatakan bahwa alam ini, realitas hanya fisik. Tidak ada realitas dibalik yang fisik ini. Karena itu, Tuhan menjadi sangat tidak relevan. Seorang Fisikawan teoritis dari Australia yaitu Stranger yang mengatakan Tuhan adalah file hipotesis (hipotesis yang gagal), karena tidak bisa menjelaskan fenomena alam ini.

Atau, dalam bukunya Stephen Hawking “The Grand Design” dia mengatakan, bahwa alam itu bekerja menurut hukum-hukum tertentu, dan tidak membutuhkan Tuhan untuk menjelaskannya. Tuhan tidak relevan sama sekali. Dan yang lebih ekstrimnya, menurutnya alam- alam ini hanya fisik saja (di luar yang fisik ini tidak ada).

Demikian itu, karena memang sains hanya bekerja dengan data-data empiris. Karena Tuhan tidak empiris, maka Tuhan tidak ada. Pandangan-pandangan seperti yang kita tidak bisa terima. Akan tetapi, kalau sains yang sebagai sains, yang dibuktikan secara ilmiah, kita terima semuanya. Baik dalam bidang fisika, astronom, biologi, kimia dan lain sebagainya.

Memang, al-Ghazali ketika mengkritik filsafat begitu “fair”. Ia membedakan bagian mana dalam filsafat yang bisa kita pakai, yang harus ditunda dulu, yang ditolak sama sekali karena itu bukan bagian dari sains, tapi merupakan pandangannya para saintis. Dengan demikian, hamat penulis, pandangan al-Ghazali seperti ini masih relevan kita pakai untuk zaman sekarang.

Yang lebih menarik dari ini adalah tentang teori evolusi. Kita tahu, teori evolusi adalah pengungkap misteri-misteri bagaimana munculnya kehidupan makhluk organis yang beragam. Misalnya, kenapa ada tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia? Penulis mengira, awalnya semua makhluk itu di ciptakan secara independent.

Akan tetapi nyatanya, awalnya semua makhluk (dulu) asalnya adalah makhluk sederhana yang ber “sel tunggal”. Jadi makhluk yang sederhana berkembang menjadi makhluk yang kompleks disebut dengan teori evolusi (inilah variasi yang kemudian belakangan menjadi teori tentang mutasi gen yang menimbulkan banyak spesies).

Teori memang sangat keren dan memukau khalayak. Hanya saja, bagi penulis, ada bagian dalam revolusi yang problematis, yang mungkin kalau pakai istilah al-Ghazali bertentangan dengan aqidah Islam. Apa itu? Bagian dari teori evolusi yang problematis adalah ketika Darwin sebagai pencetus teori evolusi mengatakan, bahwa evolusi makhluk yang dari makhluk sederhana menjadi makhluk yang kompleks.

Ia mengatakan, kita ini sebetulnya asal-usulnya sama dengan monyet. Karena kita berasal dari nenek-nenek moyang yang sama yaitu, berupa nenek moyang yang secara genetik kemudian berkembang menjadi kita-kita ini (bukan berarti kita berasal dari kera). Lalu masalahnya apa? Adalah, saat Darwin mengatakan evolusi ini adalah and directed. Jadi, dia berkembang secara alamiah, tidak ada tujuan rendem sifatnya, dan bahkan tidak ada Tuhan yang mengarahkan. Ringkasnya, Tuhan tidak terlalu penting di dalam proses evolusi ini.

Ketika kita mengatakan, bahwa evolusi itu berjalan secara alamiah, sangat betul jika penjelasannya murni penjelasan genetik, biologis. Semua hal itu berevolusi secara alamiah seolah-olah rendem tidak ada tujuan akhir. Dan, tidak diarahkan oleh semacam aktor yang menjadi penggerak utamanya. Iya betul. Namun, dalam pandangan agama, bahwa evolusi ini adalah murni kehendak Allah swt.

Dengan demikian, hemat penulis, orang Islam perlu belajar dari orang-orang Katolik. orang Katolik dulu menolak teori evolusi (termsasuk yang menolak juga adalah Harun Yahya. Ia termasuk orang yang mempopulerkan bahwa teori evolusi tidak bisa diterima dalam kerangka aqidah Islam secara total).

Namun, dalam hal ini, jika mengikuti teladan al-Ghazali, tentu harus pilah-pilah mana bagian dari evolusi yang benar dan tidak. Hemat penulis, yang harus ditolak adalah bagian dari revolusi yang mengatakan bahwa evolusi ini tidak ada direktornya. Seolah ia bergerak secara alamiah.

Yang jelas, makhluk itu kalau dibiarkan berkembang secara alamiah, akan muncul menjadi beragam. Dan memang, dikalangan para biolog modern sendiri, teori evolusi ini juga dipersoalkan. Misalnya, bagaimana menginterpretasi data-data fosil yang berasal dari makhluk-makhluk zaman dulu?

Para biolog mulai berdebat. Mereka mempertanyakan apakah teori Darwin tentang evolusi itu bisa menerangkan asal-usul kehidupan di muka bumi ini, dan apakah bisa menerangkan mengenai kehidupan secara umum.

Masih tentang persoalan antara agama dan sains, bahwa hakikatnya tidak ada pertentangan antara agama dengan sains. Agama itu harus menggunakan sains, demikian sains juga perlu agama. Keduanya harus saling mendukung dan tidak boleh memakai salah satu. Karena Islam sejak awal menganjurkan kepada para pemeluknya untuk mempelajari alam raya ini. Lebih dari itu, sains mengajarkan kita tentang bagaimana alam raya ini bekerja.

Penting juga di catat adalah soal perdebatan antara al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd tentang masalah keabadian alam. Rupa-rupanya, secara tidak langsung, pendapat al-Ghazali didukung oleh sains modern. Ini di buktikan bahwa, pada tahun 1927 ada temuan penting dari seorang astronom Amerika yaitu Edwin Habel.

Bahwa, ternyata alam raya ini melalui teleskopnya Edwin Habel berkembang. Ia melihat bahwa posisi bintang itu tidak sama. Itu artinya dia berkembang terus. Hingga akhirnya dia berkesimpulan, alam raya ini itu tidak statis (letak bintang tidak berdiam diri sepanjang zaman). Ternyata dinamis.

Berangkat dari hal ini, Edwin Habel mengenalkan satu teori mengenai “expanding universe” bahwa alam raya itu berkembang. Jika alam raya itu berkembang (sesuatu yang berkembang pasti mempunyai awalan) mungkin persis balon. Balon yang semula kecil ketika ditiup akan mengembang, dan mengembang hingga seterusnya.

Dengan demikian, jika alam mengembang itulah yang disebut dengan kemunculan teori Big Bang. Teori ini muncul perkiraan 1952 di buktikan kebenarannya. Teori Big Bang mengatakan bahwa alam raya itu ada awalnya. Dan, sekarang, sudah ditemukan umur persisnya berdasarkan bukti sains (seperti bukti gelombang microwave) yang berasal dari awal dulu ketika terciptanya alam itu.

Di katakan bahwa, alam raya kita ini umurnya 13,77 miliar tahun, sejak diciptakan pertama kalinya sampai sekarang. Dalam hal ini, senada dengan argumen al-Ghazali bahwa alam tidak akan abadi dan pasti akan mengalami kehancuran dahsyat (kiamat). Wallahu a’lam bisshawab.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Penikmat kajian keislaman dan filsafat.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.