Jumat, April 19, 2024

Agama dan Budaya dalam Pusaran Globalisasi

Bisyrul Hafi
Bisyrul Hafi
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Ciputat, penulis lepas yang tertarik mengkaji sosial budaya, serta eksplorasi relevansi Islam terhadap perkembangan zaman, sesekali menulis tentang isu-isu politik.

Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan secara kasat mata mampu memotong jarak perbedaan budaya, kehidupan sosial dan pesatnya arus informasi. Hal tersebut tentu membawa pengaruh besar dalam pergeseran sudut pandang manusia tehadap agama dan budaya.

Dalam pesatnya perkembangan zaman, agama tidak hanya bisa dilihat dengan pendekatan teologis belaka, akan tetapi erat kaitannya dengan  sosio kultular yang ada dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini semakin menunjukan bahwa hakikat beragama tidak sebatas hubungan antara manusia dengan Tuhannya akan tetapi juga memeberikan kesadaran dalam berkelompok, dan relasi antar individu.

Dari sinilah mulai muncul pelbagai problematika yang melibatkan agama baik secara langsung maupun tidak langung, dimulai dari masalah kekerasan, hubungan antar manusia, produk budaya modern, yang dimana agama dituntut selalu menujukan eksistensinya untuk membersamai manusia, agar agama tetap relevan digunakan dalam taraf nilai pegangan hidup.

Ditambah dengan cepatnya perubahan zaman di era globalisasi dimana budaya berubah begitu cepat sehingga segala persoalan dituntut agar bisa dijawab dengan jawaban yang konkret, karena hakikatnya memang agama diposisikan sebagai pijakan utama untuk menujukam relevansinya dalam menjawab segala persoalan dan tantangan zaman.

Dengan segala perkembangan yang begitu cepat, perlu kiranya kita untuk membelokan cermin ke belakang , sekedar melihat apa yang telah diramu oleh para pendahulu kita, dengan melihat seksama para tokoh perdaban islam masa lalu, seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, al-Farabi, Ibnu Sina, yang secara masif menjawab segala problematika pada zamanya, dengan buah pikiran yang cemerlang.

Sehingga pada saat itu Islam dapat menyeimbangkan segala fenomena perubahan budaya dan keagaman yang begitu cepat, sehingga umat Islam pada saat itu bisa mapan dalam majunya peradaban sekaligus dapat mewariskan pemikiran untuk generasi penerus sampai sekarang.

Dengan formula diatas sebenarnya bangsa kita sendiri juga mempunyai jejak manis dalam merespon perkembangan zaman. Terkhusus dalam “mendamaikan” nilai-nilai budaya dan agama sebagai jawaban atas kondisi masyarakat pada zamannya yang terkungkung dengan ajaran agama pendahulu yang dibebani dengan perbedaan kasta. Maka pemahaman ini menjelama menjadi daya Tarik sendiri pada abad ke-15 yaitu dalam masa penyebaran Agama Islam yang dilakukan oleh Wali Sanga.

Misalkan Sunan Bonang yang mengubah penggunaan gamelan  yang identik dengan estetika Hindu menjadi hal yang bernuansa dzikir, sedangkan Sunan Kalijaga berdakwah melalui media kesenian lokal yang berupa wayang, dan tembang-tembang Jawa. Maka relasi antara agama dan budaya modern tidak seharusnya dipertentangkan, tetapi segala produk budaya modern bisa dijadikan sebagai media dakwah Islamiyyah dan menebar persaudaraan dan kebaikan.

Dakwah Walisongo di Nusantara ini menunjukkan tidak adanya nalar Arabisasi, akan tetapi yang ada adalah nalar sufistik Walisongo yang sangat toleran terhadap budaya lokal dan berusaha memasukkan nilai-nilai Islam sekaligus memilh ciri khas keindonesiaan, bukan kearaban.

Memilih ciri khas keindonesiaan bukan anti dengan arab, akan tetapi hal ini semata untuk menunjukan bahwa subtansi agama dan budaya dapat ‘dikawinkan’ untuk mewujudkan formula dakwah yang tepat agar hati mereka merasa terwakili oleh agama yang masih baru mereka kenal.

Berkaca dengan diktat yang ditulis Jaques Berque diawal tahun 1990-an berjudul Relie le Coran at le Bible, yang intinya perlu “membaca ulang” Al-Quran dan Bibel untuk mewujudkan kehidupan yang damai dan abadi diantara pemeluk kedua kitab suci tersebut.

Dalam bukunya Islam Fungsional Prof Dr. Nazaruddin Umar menjabarkan bahwa ada beberapa hal filosofis dan filologis yang perlu dicermati dalam “membaca ulang” kitab suci. Diantaranya, dari mana datangnya teks kitab suci, bagaimana teks itu diperoleh, apakah teks itu disabdakan, diceritakan, dan atau dilakonkan oleh seseorang, bagaimana autentitas teks itu sendiri yakni bagaimana pertalian sanad yang meriwayatkannya.

Sehingga yang terjadi adalah kritalisasi pemikiran yang melebur dengan realitas zaman menjawab sekiranya yang benar sekaligus bijak untuk dijadikan pijakan umat. Dari batas ini kita benar-benar merasakan bahwa Islam benar-benar bagian dari keterwakilan kita, agama yang uptodate mengikuti perkembangan zama (Sholihun Likulli Zaman Wa Makaan)

Maka dari itu, gagasan budaya harus bisa diaktualisasikan seperti yang telah dilakukan dan muncul dari para Wali dan Ulama terdahulu yang mencoba menerjemahkan Islam agar ide yang terkandung didalmnya dapat dikontribusikan secara langsung dalam memecah permasalahan yang terjadi diantara umat.

Hal ini menjadi  bekal penting yang bisa dipakai generasi selanjutnya, terbukti di tahun 90-an, muncul gerakan-gerakan  ilmu sosial muslim, yang mencoba mengaktualisasikan Islam sesuai zamannya, maka muncullah ide seperti Islam Transformatf (Moeslim Abdurrahman), pribumisasi atau kulturisasi islam (Cak  Nur dan Gus Dur), Tauhid sosial (Amien Rais), dan Islam Keindonesiaan (Syafii Ma’arif).

Terbaru adalah gerakan yang di nahkodai oleh dua ormas di Indonesia NU (Nahdlatul Ulama) Muhammadiyah, dengan mengusung ide Islam Nusantara dan Islam Kemajuan yang sama-sama mencoba mengaktualisasikan dan merumuskan gaya Islam yang secara khusus terpola di Indonesia.

Oleh karena itu dalam era globalisasi agama tidak hanya dipandang sebagai gerakan ritual vertical yang terjadi antara hubungan pribadi hamba dengan Tuhannya, akan tetapi juga mengajak dan membantu dalam mengentaskan masalah sosial secara langsung bersama mewujudkan baldatun thayyaibatun wa rabbun ghofur. 

Sekaligus wacana tersebut merupakan gerakana akuturisasi antara kultur budaya di nusantara dengan nilai-nilai subtantif Islam, sehingga tidak ada nilai-nilai yang tumpang tindih yang saling menjatuhakan sehingga nilai-nilai pendahulu menjadi terhapuskan.

Maka dari itu berangkat dari falsafah diatas, bangsa Indonesia dapat menunjukan identitas khas “Kenusantaraan” yang diramu dari “kompromi” antara nilai-nilai budaya sebagai produk yang sekaligus menjadi benteng dalam memfilter gusuran era globalisasi yang negatif dan dapat memberikan dampak yang positif dalam kehidupan nasional sehingga bangsa kita mempunyai ciri khas tersendiri dalam watak dan tingkah lakunya.

Bisyrul Hafi
Bisyrul Hafi
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Ciputat, penulis lepas yang tertarik mengkaji sosial budaya, serta eksplorasi relevansi Islam terhadap perkembangan zaman, sesekali menulis tentang isu-isu politik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.