Secara garis besar, persoalan mengenai AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), sebenarnya, tidak hanya terbatas pada analisis yang bersifat geofisika-kimiawi. Kita menyaksikan, analisis seputar geofisika-kimiawi seringkali hanya menfokuskan pada sudut eksternal-lahirian atau fisik material semata, yang dikaji dalam spektrum rumus dasar fisika-kimia.
Adapun aspek AMDAL yang terkait pada wilayah internal-batiniah, baik menyangkut pola hidup, standar hidup, sikap hidup, dan tata nilai, agaknya belum cukup tercover oleh analisis yang hanya menekankan pada aspek eksternal-lahirian. Boleh dikata, analisis yang menyangkut aspek internal-batiniah adalah terkait dengan wilayah sosial-budaya yang sekaligus identik dengan konsepsi keberagamaan masyarakat.
Hal ihwal yang berkaitan dengan aspek keagamaan sudah sepatutnya dipertanyakan lebih lanjut, misalnya, apakah ajaran agama yang dianut banyak orang – yang umumnya mereka semua adalah konsumen terbesar barang-barang industri modern – mempunyai dasar-dasar etik moral yang cukup meyakinkan untuk dapat mengatur, menjaga, dan mengendalikan gejolak ritme fluktuasi kebutuhan dasar dan standar hidup masyarakat industrialis?
Sejauh ini, ajaran agama dan pesan-pesan keagamaan terlalu condong pada pesan sulisa, dan kurang pada pesan-pesan eksternal-lahiriah, lalu bagaimana cara mentransformasi dan mereinterpretasi pemikiran keagamaan, di mana masyarakat beragama saat ini sudah banyak tercemar oleh polusi industri. Sebab, pengalaman ini sangat jauh berbeda dari tantangan kehidupan beragama orang-orang dahulu, dan kita masyarakat beragama yang hidup di abad ke-21 ini, mengalami era industri yang begitu pesat, teknologi yang begitu canggih, dan karenanya kita banyak tercemar oleh berbagai polusi, baik di darat, laut maupun udara.
Pada titik inilah, analisis dampak lingkungan sangat membutuhkan dan berkepentingan dengan hasil-hasil kajian sosial-budaya dan hasil-hasil penelitian keagamaan tentang sikap hidup masyarakat beragama dalam era perubahan sosial yang bergitu cepat, yang diakibatkan oleh industrialisasi.
Saya sendiri tidak bisa memastikan apakah ajaran agama tertentu mampu untuk menyelesaikan problem dalam perubahan sosial yang ada, khususnya pada aspek kesadaran akan dampak lingkungan dan proyeksi agama untuk mengatasinya. Sebab, masih harus dicermati lebih lanjut pada aspek ajaran-ajaran agama yang mana sekiranya bisa diminta peran sertanya untuk membantu mengatasi dampak lingkungan.
Kekhawatiran akan segera muncul, mana kala ada dugaan bahwa jangan-jangan aspek keagamaan yang dianggap fundamental untuk dapat membantu mencegah dan menangkal luasnya dampak lingkungan, justru dalam praktiknya, malah tidak begitu diperhatikan oleh masyarakat yang beragama itu sendiri.
Oleh karenanya, sebuah analisis sosial-budaya dan keagamaan sangat perlu disatu-padukan dalam satu kerangka utuh dan integral untuk menganalisis masalah AMDAL ini. Dengan harapan, keduanya dapat saling mengisi, menopang, dan saling melengkapi.
Jika hal ini tidak dilakukan, maka akan ada kecurigaan baru, misalnya, persoalan menganai AMDAL ini jangan-jangan – lantaran hanya terfokus pada analisis aspek geofisika-kimiawi – justru malah kurang menyentuh persoalan yang sebenarnya hendak dipecahkan oleh masyarakat, karena kurang atau tidak menyentuh “kesadaran” masyarakat sebagai subjek utama dalam mengubah pola hidup dan lingkungan sekitar.
Hemat saya, analisis mengenai dampak lingkungan pada wilayah sosial-budaya dan aspek keagamaan sangat perlu mendapat tempat dan skala prioritas untuk mendampingi dan menyempurnakan analisis-analisis lain terkait dampak lingkungan yang sudah ada. Sehingga aspek AMDAL dalam sosial-budaya dan agama tidak terkesan hanya sebatas analisis yang sifatnya sampingan semata.
Memang, dampak lingkungan terkait dengan rumus baku geofisika dan kimiawi sangat membantu manusia untuk membangkitkan rasa keingintahuan manusia tentang apa sesungguhnya yang terjadi di bumi ini. Tetapi rasa keingintahuan yang umumnya hanya berhenti pada aspek kognisi saja dan tanpa memiliki implikasi yang nyata pada tataran praktis, agaknya perlu ditinjau ulang manfaatnya.
Menurut Amin Abdullah (2009), pengetahuan kognitif di atas belum dapat menggerakkan seseorang untuk berbuat sesuatu secara lebih, baik untuk dirinya sendiri atau untuk lingkungannya. Sedangkan dimensi praktis dari pengetahuan manusia mengenai aspek negatif dari industri sangat erat kaitannya dengan persoalan konflik kekuasaan, kepentingan, dan nilai hidup.
Karenanya, kajian yang mendalam tentang ketiga-tiganya adalah masuk pada wilayah kajian sosial-budaya yang selama ini agak diabaikan. Sejauh pengamatan saya sendiri, kajian tentang AMDAL masih jarang menyentuh langsung pada aspek sosial-budaya. Padahal, pada wilayah inilah seharusnya permasalahan AMDAL perlu diperhatikan secara lebih.
Selama ini, AMDAL masih lebih banyak terfokus pada aspek fisik-material dari lingkungan hidup, seperti air, hutan, permukiman penduduk, ladang, pencemaran lingkungan, limbah pabrik dan lain sebagainya. Dengan kata lain, analisis mengenai dampak lingkungan masih sangat sedikit menyentuh pada apa yang selama ini disebut sebagai sikap hidup, mentalitas, gaya hidup, cara berpikir, perilaku, yang semuanya terekspresikan dalam adat kebiasaan masyarakat.
Boleh dikata, persoalan sosial-budaya yang berkaitan erat dengan teknologi industri sebenarnya adalah tentang pergeseran pola hidup, konsumsi, dan standar hidup masyarakat secara luas. Sebagai contoh, corak hidup berdasarkan materialisme dan konsumerisme bisa disebut sebagai suatu pola hidup yang merupakan dampak langsung dari industrialisasi dan globalisasi pasar ekonomi. Pada titik ini, kajian yang mendalam sebenarnya terletak pada sosial-budaya.
Alih-alih melakukan kajian yang mendalam, analisis yang bernas tentang pergeseran sudut pandang, sikap hidup, mentalitas, dan pola hidup, justru terkesan tidak dikaji secara seksama lantaran ilmu-ilmu sosial dan budaya masih terkurung oleh hukum pasar dan hukum ekonomi itu sendiri, yang mentalis industrinya ditandai dengan eksploitasi, keserakahan, kepentingan pribadi, kemewahan, monopoli, kekerasan, ketidakadilan, alienasi dan sebagainya.
Sehingga budaya materialis dan konsumeris yang tidak sehat itu menguasai dan mengubah tatanan sosial, hubungan antarkeluarga, antarpribadi, dan begitu seterusnya, lebih-lebih lagi pada pola hubungan langsung antara manusia dengan alam sekitar.
Karenanya, nilai-nilai etika agama yang sangat fundamental bagi tatanan kehidupan masyarakat, harus dapat menjembatani berbagai problem kehidupan ini, khususnya terkait dengan pembentukan sikap hidup dan cara berpikir umat beragama. Bukan malah menutupi dan menselimuti agama dengan berbagai lapis “bahasa” kepentingan, kelembagaan, keulamaan, formulasi doktrin yang terlalu teoritis dan lain sebagainya.
Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma dalam arti transformasi dan reinterpretasi pola pikir keagamaan masyarakat, yang kiranya dapat membentuk kesadaran baru yang lebih kompatibel dan mensejarah. Sehingga ajaran agama menjadi integratif dan dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan dunia praktis-ekologis.