Jumat, Maret 29, 2024

Agama Antara Eksploitasi dan Eksplorasi

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

Agama merupakan realitas sosial sarat nilai dengan potensi motorik sangat kuat, yang karenanya selalu menarik minat banyak pihak memanfaatkannya untuk kepentingan-kepentingan di luar kerangka keagamaan.

Tak sedikit aktor politik memanfaatkan potensi motorik agama dalam rangka meraih kekuasaan. Begitu pula pelaku ekonomi—terutama bisnis yang terkait dengan ritual-ritual keagamaan tertentu—tak jarang memanfaatkan potensi motorik agama dalam upaya menarik konsumen. Di lingkungan kebudayaan, sisi-sisi religius kadang juga dimainkan.

Sebagai realitas sosial, agama selalu seksi dan sensitif. Keseksiannya kerap jadi rebutan, dan tak jarang membuat seseorang atau sekelompok orang ‘rela bertaruh nyawa’ karenanya. Tingkat sensivitasnya tinggi sehingga ketika suatu agama dikritik apalagi dilecehkan dan dinistakan, maka akan hadir barisan para penganut fanatiknya untuk membela.

Potensi motorik agama rentan politisasi. Tak sedikit peristiwa politik melibatkan agama baik dalam konteks persaingan meraih kekuasaan maupun dalam kerangka kebijakan. Pola-pola politisasi dengan memanfaatkan potensi motorik agama tidak hanya terjadi ketika suatu unsur keagamaan berhadapan dengan kekuatan di luar keagamaan, melainkan juga terjadi antarkekuatan beda agama maupun antarkekuatan dalam satu agama.

Donald Eugene Smith menyebutkan bahwa politisasi terjadi ketika sejumlah besar individu mulai memikirkan diri sendiri sebagai anggota kelompok-kelompok politik yang dikuasai oleh identitas keagamaan (Religion and Political Development, 1970). Dengan demikian, mengasosiasikan aktor-aktor politik ke dalam kelompok dengan identitas keagamaan tertentu untuk meraih simpati dan dukungan atau untuk menjatuhkan mereka merupakan praktik politisasi.

Dalam konteks Indonesia, Islam menjadi identitas agama mayoritas, namun secara identitas politik bisa dikatakan minoritas. Islam dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini, tetapi partai politik beridentitas Islam selalu beroleh suara minoritas. Boleh jadi karena itulah Islam dan umat muslim di sini sangat rentan terhadap politisasi baik dalam kerangka kekuasaan maupun kebijakan.

Di sini wacana-wacana tentang Islam sebagai lokomotif sosial berlangsung tidak dalam satu gerbong. Ada sedikitnya tiga gerbong utama dari kelompok sosial muslim yang secara ideologis membentuk semacam perjuangan segi tiga, yaitu Islam tradisionalis, Islam modernis, dan Islam sekularis. Tiga kekuatan ini kerap saling berhadapan satu sama lain sehingga tercipta konflik-konflik internal yang memecah kekuatan politik umat. Sementara itu di sisi lain, kekuatan-kekuatan politik di luar Islam semakin terkonsolidasi baik. Akibatnya, umat terseok-seok ketika harus berhadapan dengan kekuatan politik lawan.

Islam hadir dalam kancah sosial dengan dua narasi saling tarik-menarik, yaitu narasi eksploitasi dan narasi eksplorasi. Narasi eksploitasi menampilkan Islam dan umat muslim sebagai amunisi kepentingan politik, ekonomi, dan budaya yang hanya menguntungkan sebagian kelompok tertentu dalam durasi pendek. Sedangkan narasi eksplorasi mengidealkan Islam sebagai kekuatan agama sarat potensi yang mesti digali untuk kemaslahatan dan kesejahteraan holistis umat.

Jargon “Islam Yes Partai Islam No” yang pernah dipopulerkan oleh Nurcholish Madjid (Caknur) di era 1970-an merefleksikan kegamangan antara Islam agama dan Islam politik. Disadari dan diakui atau tidak, napas dari jargon ini hingga kini terus berdenyut. Kegamangan bisa jadi akan terus menghantui publik muslim, mengingat potensi sosial serta idealitas Islam kerap menjadi ajang eksploitasi.

Ketika Jepang menduduki Indonesia (1942-1945), Islam dan umat muslim nyaris menjadi objek eksploitasi untuk kepentingan politik Negeri Matahari Terbit ini terkait Perang Asia Timur Raya. Ahmad Mansur Suryanegara mencatat—dalam Api Sejarah 2: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia—bahwa Jepang membentuk Tentara Pembela Tanah Air (PETA) kala itu dengan tujuan: (1) Nipponisasi, (2) memanfaatkan loyalitas ulama, (3) meningkatkan rasa kebencian ulama terhadap Sekutu, (4) menanamkan keyakinan Perang Asia Timur Raya sebagai perang suci, dan (5) menumbuhkan kepercayaan bahwa Jepang benar-benar sebagai saudara tua.

Untungnya, para ulama maupun tokoh-tokoh pergerakan mengendus niat dan kehendak busuk Jepang ketika itu. Bahkan mereka mampu mengonsolidasikan pergerakan, dan dengan memanfaatkan situasi politik internasional, Indonesia berhasil lepas dari penjajahan. Di masa-masa itu pula kekuatan politik Islam menggeliat, di antaranya dengan berdirinya organisasi Islam Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pada 1943, yang kemudian dengan cepat menjadi partai politik pada 1945, yakni tak lama setelah kemerdekaan Indonesia berhasil diproklamasikan.

Masyumi bisa disebut sebagai partai politik Islam terbesar yang pernah eksis di bumi Indonesia, khususnya di awal-awal masa pembentukan bangsa ini sebagai negara merdeka. Eksplorasi Islam sebagai kekuatan politik berupaya dilakukan oleh tokoh-tokoh partai ini. Namun sebelum sempat sampai ke puncak, ketika terjadi dinamika politik tarik-menarik antara ideologi Islam dan Nasionalisme di negeri ini, partai ini dibubarkan oleh Sukarno pada tahun 1960, karena dituduh mendukung pemberontakan berbau ideologis Islam.

Era Orde Lama (Orla) identik dengan Demokrasi Terpimpin ala Sukarno. Setelah membubarkan Partai Masyumi, Sukarno ‘menghidupkan kembali’ ide-idenya tentang Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang sudah terlihat melalui tulisan-tulisannya pada tahun 1926. Kali ini ia rumuskan dalam sebuah doktrin yang dikenal dengan sebutan Nasakom; akronim dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Doktrin ini mengarah pada Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai basis kekuatan nasionalis; Nahdlatul Ulama (NU) sebagai basis kekuatan agama; dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai basis kekuatan komunis-sosialis.

‘Ijtihad politik’ Sukarno melalui doktrin Nasakom ini menuai kontroversi, dan menciptakan polarisasi politik, khususnya di kalangan umat Islam. Meskipun bisa dipahami bahwa ide-ide Sukarno ini merupakan bagian dari upayanya untuk mengeksplorasi potensi-potensi kekuatan nasional, kekuatan agama (Islam), dan kekuatan komunis yang sedang berebut pengaruh ketika itu. Namun dari doktrin ini perlahan kekuasaannya tergerogogoti, di antaranya karena kekuatan Islam dan militer tak sejalan dengan PKI. Akhirnya, ia pun jatuh.

Di era Orde Baru (Orba), Suharto memainkan perannya sebagai tokoh militer yang berhasil melanggengkan kekuasaan hingga tiga dekade lebih. Dengan kecerdikannya, ia mampu meredam “perang ideologis” dalam tubuh negara-bangsa, yang banyak mewarnai kehidupan sosial politik di era sebelumnya. Ia terbilang sukses ‘menjinakkan’ kekuatan politik Islam ideologis, bahkan melalui tangan dinginnya, kekuatan Islam itu berhasil dimanfaatkan untuk menghabisi kekuatan politik kiri (sosialisme-komunisme). Di era ini, Islam dan umat muslim masuk dalam jebakan soft exploitation atau eksploitasi lunak.

Kini, setelah Era Reformasi, Islam dan umat muslim tak henti berada di antara eksploitasi dan eksplorasi. Harapan kita, Islam dan umat muslim bisa dieksplorasi, bukan dieksploitasi.

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.