Sabtu, April 20, 2024

Afghanistan, Negara “Yatim Piatu”?

Saiful Maarif
Saiful Maarif
Asesor SDM Aparatur dan pegiat Birokrat Menulis. Bersenang dengan Sepak Bola dan Bola Voli. Tulisan adalah pandangan pribadi

Pelan tapi pasti Amerika dan sekutunya meninggalkan Afghanistan. Sangat momento, kepulangan mereka dijadualkan tuntas pada 11 September tahun ini, tanggal yang memiliki kaitan dramatis dalam lanskap politik Amerika terkini.

Publik Afghanistan tentu tidak menginginkan keberadaan tentara asing selamanya di negara mereka, tapi setidaknya sampai pada proses konsolidasi berbagai faksi kekuatan politik dan militer menemukan titik temu. Hal demikian bisa jadi dilematis bagi Amerika dan sekutunya, mengingat proses konsolidasi dan rekonsiliasi berbagai kekuatan politik, militer, dan etnisitas Afghanistan kerap menemui jalan buntu.

Bagi Amerika, keberhasilan membunuh Osama Bin Laden adalah capaian terpenting mereka dalam kampanye antiterror di Afghanistan dan Pakistan. Namun, keputusan Amerika dan sekutunya untuk meninggalkan Afghanistan dalam situasi dan perkembangan konsolidatif saat ini seperti memantik ingatan tentang nasib kesendirian bangsa ini.

Suatu ketika, (mantan) Sekretaris Jenderal PBB Boutros-Boutros Ghali pernah mengatakan bahwa Afghanistan adalah “Negara Yatim Piatu”, untuk menilai Afghanistan sebagai negara yang sendirian di tengah segala sengkarut konflik yang dihadapinya. Uni Soviet pernah hadir dengan arogansi militer dan jualan ideologi komunismenya, kelak Amerika menyusul dengan kekuatan militer dan kampanye antiterornya.

Setelah berakhirnya Era Perang Dingin, berbagai lembaga bantuan internasional dan organisasi hak asasi manusia beroperasi di Afghanistan. Di samping karena keunikan dan tantangan keberagaman Afghanistan, berbagai pihak yang memberi bantuan tersebut gagal dalam memberi fondasi stabilitas dan konsolidasi kebangsaan dan kenegaraan Afghanistan. Afghanistan bisa jadi adalah sebuah remote kepentingan negara dan kekuatan besar dunia karena kapasitas letaknya yang kerap disebut sebagai bagian dari Asia Tengah, Asia Barat, bahkan bagian dari Timur Tengah.

Di tengah bencana Covid-19, kesediaan untuk menggelar beragam proses dan konsolidasi yang dilakukan antara pemerintah Afghanistan dan Taliban di Doha dan lokasi lainnya menumbuhkan harapan baru untuk nilai-nilai perdamaian yang bisa disepakati bersama.

Di titik ini, patut diakui Amerika berhasil menjadi penengah dan peredam konflik pemerintah Afghanistan dan Taliban.  Meskipun diawali dengan penumbangan kekuasaan Taliban secara militer, Amerika pada akhirnya harus duduk berunding dengan mereka. Namun kini, negara yatim piatu tersebut menghadapi kenyataan ditinggal Amerika dan sekutunya di tengah tumbuhnya konsolidasi internal yang belum memiliki arah yang jelas.

Bukan perhatian utama

Ketidakjelasan arah tersebut bisa jadi memang bukan menjadi perhatian Amerika dan sekutunya selama di Afghanistan, untuk tidak mengatakannya disengaja. Kampanye war on terror pascatragedi 9/11 ditiup dan digelorakan lebih kencang sedemikian rupa sehingga konsolidasi tersebut tidak lebih penting darinya.

Laporan berbagai media menggambarkan dengan baik hal demikian. Aljazeera, misalnya, dengan detil memotret kegelisahan warga lokal menghadapi kemungkinan kembalinya rezim Taliban yang dinilai keras dan tanpa kompromi. Sebagian warga lainnya mulai bisa menerima Taliban yang dinilai cukup membuka diri terhadap batasan-batasan kaku yang sebelumnya mereka lakukan.

Kecanggungan seperti ini dapat memicu kembalinya kekuasaan represif Taliban dan mengundang kekuatan ekstremis sebagai “tamu” mereka.   Dari awal, strategi Amerika memasuki panggung kedaulatan Afghanistan menunjukkan banyak kontradiksi. Jika dimaksudkan memberantas Al Qaeda, pada kenyataannya Osama Bin Laden dan kekuatannya telah pindah ke Pakistan hingga akhir hayatnya, dan sikap menyamakan Taliban dengan Al Qaeda dapat menimbulkan persepsi yang berbeda.

Amerika dan sekutunya berada dalam situasi dilematis dalam menilai keterkaitan Taliban dan Al Qaeda, dengan kecenderungan lebih pada tuduhan persekongkolan di antara mereka. Namun, dalam kesaksian jurnalis Yvonne Ridley di Middle East Monitor awal tahun ini, tokoh penting Taliban Wakil Ahmad Mutawakkil mengatakan bahwa Taliban bahkan ingin menyerahkan Osama Bin Laden ke Amerika jauh sebelum peristiwa 9/11 terjadi.

Mutawakkil menjamin, Taliban tidak pernah ingin bertempur dengan Amerika tapi juga tidak menginginkan lagi pelibatan kekuatan militer asing di negeri mereka. Memori kolektif bangsa Afghanistan masih terlalu kuat dengan perang melawan Tentara Merah Soviet yang menjadi momen embriotik munculnya gerakan Taliban.

Nalar kekerasan kolektif

Saat konsolidasi dimulai dan menumbuhkan harapan baru, kebingungan dan kekhawatiran publik Afghanistan munguar seiring keputusan Amerika dan sekutunya meninggalkan mereka.      Namun demikian, semua kebingungan tersebut terasa tepat berada dalam simpulan Hamid Dabashi. Dalam esainya mengenai tragedi pembantaian Tulsa di Middle East Eye belum lama ini, Dabashi dengan tajam menilai kecenderungan pemerintah Amerika dan warganya yang mudah menutup mata atas tragedi berdarah di tanah air mereka sendiri.

Tragedi Tulsa terjadi pada tahun 1921, saat sekelompok perampok kulit putih melakukan pembantaian ratusan warga kulit hitam dan membakar rumah mereka di distrik Tulsa, Oklahoma. Hingga kini tragedi tersebut tertutup rapi dalam sejarah Amerika, dengan hipokrisi para sejarawannya, dilengkapi acuh dan dinginnya tokoh atau pesohor Amerika kini, dan dibungkus semangat “multikulturalisme”.

Tak ayal, hipokrisi dominasi rasis kulit putih tersebut mewujud dalam tindak kekerasan yang terus berlangsung secara laten dan nyata, turut mewarnai sistem pendidikan Amerika, dan mewarnai struktur politik luar negeri mereka kini. Perang besar dengan investasi megatrilyun Amerika di Afghanistan diawali ambisi George Bush dengan nalar perang dan darah dinginnya pada Islam. Di sisi lain, ambisi tersebut didukung oleh nalar kolektif pembiaran terhadap fakta pembantaian di negara tersebut.

Meninggalkan Afghanistan sendirian dengan ancaman disintegrasi dan kekerasan di depan mata bisa jadi dilakukan karena beberapa kondisi kecukupan. Pertama, Amerika merasa cukup dengan kampanye war on terror di kawasan Afghanistan, tapi tidak dengan keberadaan Al Qaeda. Amerika sadar, kini Al Qaeda telah bergerak ke Yaman, Afrika Utara, dan belahan negara lain dengan berbagai aktifitas terornya. Karenanya, bertahan lebih lama di Afghanistan tidak lagi relevan dalam hitungan politik dan militer, bukan dalam hitungan nilai kemanusiaan.

Kedua, kecukupan akan makna subversif damai. Tidak terlalu jauh berjarak dari Afghanistan, Amerka telah mampu mendorong “perdamaian” yang dibangun dari superioritas Israel atas negara Timur Tengah melalui Abraham Accord. Keyakinan damai ini menumbuhkan harapan lebih menggiurkan dan prospektif ketimbang bergelut dengan kondisi keras yang berkelanjutan di Afghanistan.

Pada akhirnya, kevakuman kekuasaan yang stabil dan keamanan yang kuat akan menjadi tantangan berat pemerintahan Afghanistan. Di titik ini, Afghanistan seperti “diyatimpiatukan” setelah hajat Amerika dan sekutunya tercapai dalam bentuk terbunuhnya Osama Bin Laden dan kampanye antiteror.

Saiful Maarif
Saiful Maarif
Asesor SDM Aparatur dan pegiat Birokrat Menulis. Bersenang dengan Sepak Bola dan Bola Voli. Tulisan adalah pandangan pribadi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.