Angin segar berhembus dari Doha, Qatar terkait pembicaraan damai antara Amerika dengan Taliban, Senin 5 Agustus 2019. Kedua perwakilan itu sepakat, pertemuan mereka pada putaran ke-8 ini mencapai kemajuan yang signifikan.
Angin segar ini tak hanya dirasakan di Doha tapi juga di Jakarta. Hal ini ditandai kedatangan delegasi Taliban yang dipimpin oleh Kepala Biro Politik Taliban Mulla Abdul Ghani Baradar yang juga pemimpin Taliban di Afghanistan ke Jakarta, akhir bulan lalu.
Delegasi Taliban ini berkunjung ke kediaman Wakil Presiden Jusuf Kalla. Selanjutnya bertemu dengan Ormas Islam Nahdlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kunjungan ini adalah pertemuan lanjutan setelah sebelumnya mereka bertemu Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di Qatar.
Keterlibatan Indonesia untuk perdamaian Afghanistan ini kabarnya diminta langsung oleh Presiden Afghanistan Asyraf Ghani pada pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo saat melayat ke Afghanistan dua tahun lalu.
Taliban sendiri muncul dari situasi kacau Afghanistan saat terjadi perang sipil sejak Uni Soviet pergi pada 1989. Suku-suku yang awalnya bersatu melawan Soviet kini balik saling bunuh. Taliban yang akar katanya adalah Talib atau santri madrasah diperbatasan Afghanistan – Paskistan ikut bangkit. Dengan bantuan Pakistan anak-anak korban perang yang sebagian besar dari suku Pashtun ini kemudian menguasai Afghanistan pada 1996. Selanjutnya mendeklarasikan negara Islamic Emirat of Afghanistan.
Negara Islamic Emirat of Afghanistan tak diakui Perserikatan Bangsa Bangsa. Hanya Arab Saudi, Pakistan dan Uni Emirat Arab yang mengakui negara bentukan Taliban ini. Islamic Emirat of Afghanistan menerapkan syariat Islam ala Wahabi Arab Saudi. Mereka mewajibkan para pria memanjangkan jenggot, melarang musik, bioskop dan perempuan untuk sekolah. Para perempuan diwajibkan mengenakan burka.
Peristiwa 911, memaksa Amerika menginvansi Afghanistan yang dituduh menyembunyikan pimpinan Al Qaedah, Osama bin Laden. Akibatnya pada 2001 Taliban kehilangan kekuasaannya.
Kini saat Taliban berunding, di lapangan situasi berbeda 180 derajat. Di Kabul Taliban melepaskan serangan teror. Sedikitnya 14 orang tewas dan 145 lainnya luka-luka akibat serangan bom pada Rabu 8 Agustus 2019.
Taliban sendiri ternyata tak satu jenis. Diektur SeRVE (Society against Radicalism and Violent Extremism) Indonesia Dete Aliah menyebut Taliban ada 4 Jenis. Dete mendapat informasi itu dari International Security Assistance Force (ISAF). Yaitu tentara gabungan negara-negara NATO di Afghanistan.
Saat itu Dete bertugas sebagai pemantau Pemilihan Umum pada 2010, meminta keterangan ISAF terkait peta pertikaian di Afghanistan. Dari keterangan ISAF Taliban terbagi atas empat golongan yaitu:
1. Taliban Murni. Mereka tak senang negaranya dijajah. Mereka tak menggunakan pola bom bunuh diri. Murni pertempuran dengan cara bergerilya.
2. Taliban Internasional. Sebab anggotanya terdiri dari orang asing termasuk orang Indonesia. Mereka bersama Taliban, entah Taliban yang mana tapi menggunakan nama Taliban. Artinya ada yang mendanai dan mengordinir ini. Taliban jenis ini membolehkan aksi bom bunuh diri.
3. Orang Afghan yang menggunakan nama Taliban untuk mendapat uang. Orang-orang yang mau dibayar untuk melakukan sesuatu yang nanti dilabelkan ke Taliban. Taliban jenis ini membolehkan bom bunuh diri.
4. Taliban yang terdiri dari anak-anak atau masyarakat yang menjadi korban perang. Mereka menyaksikan keluarganya meninggal dibunuh tentara asing. Ini sifatnya balas dendam. Mereka tak menggunakan metode bom bunuh diri.
“Nah Taliban yang saat ini berkunjung ke Indonesia ini Taliban yang mana?” tanyanya retorik kepada Penulis, Jumat 2 Agustus 2019 di Kalibata, Jakarta Selatan.
Bagaimana cara mengetahui Taliban dan bukan? Dete menanyakan ini kepada penerjemahnya Salim selama di Afghanistan. Menurut Salim kata Dete kita tak bisa membedakan. Sebab semua orang di Afghanistan bisa jadi Taliban. Mereka bisa melakukan apa yang dilakukan oleh Taliban asli.
“Tiap sudut Afghanistan itu ada Taliban,” kata Dete.
Analis Konflik dan Penggagas perdamaian yang malang melintang di negara konflik lebih dari 10 tahun Umelto Labetubun atau biasa disapa Alto Lunger mengamini apa yang disampaikan Dete. Alto bercerita jika warga Afghanistan bisa saja siang bekerja untuk Amerika, tapi malam hari mereka bekerja untuk Taliban.
“Sebab begitu mereka keluar dari kantor dia adalah warga Afghanistan. Orang Afghanistan otomatis yang berlaku adalah aturan dari suku-sukunya. Termasuk bisa menjadi Taliban,” katanya saat bertemu penulis di Jakarta, Senin 4 Agustus 2019.
Alto melajutkan kondisi Afghanistan sangat kompleks. Alasannya, pertama, mereka sangat tribalistic atau ego kesukuannya sangat tinggi. Di Afghanistan banyak sekali suku-suku yang tak mau diperintah oleh orang lain. Yang kedua, mereka semua bersenjata. Apalagi, lanjut Alto aliansi mereka sangat pragmatis.
“Kalau yang satu tidak mempercayai yang lain bagaimana mau percaya orang dari luar?” tanya Alto.
Lalu bagaimana kans Indonesia sebagai juru damai?
Bagi Dete kedatangan delegasi Taliban ke Indonesia mampu belajar Pancasila, alasanya kata Dete, karena Taliban tak punya filosofi itu. Seperti kabar yang beredar kedatangan mereka salah satunya untuk belajar Pancasila ke Indonesia.
Seperti Dete, Alto juga tidak yakin jika Indonesia mampu jadi juru damai di Afghanistan. Alasannya kata Alto, Ia tak yakin jika negara seperti Afghanistan bisa diwakili oleh satu dua orang. Jika memang Indonesia ingin menjadi juru damai, maka menurut Alto, Indonesia harus berbicara kepada semua suku di Afghanistan.
“Pertanyaannya, apakah mereka (delegasi yang datang) punya power terhadap kelompok-kelompok lain di Taliban?” tanya Alto retorik.
Pertanyaan Alto sebenarnya sudah terjawab dengan serangkaian serangan dan bahkan Taliban mengancam keamanan Pemilu yang akan digelar Afghanistan bulan depan. Padahal delegasi mereka di Jakarta sudah menebar kata-kata manis soal perdamaian.
Alto melanjutkan jika Taliban dan Alqaeda memiliki metode yang sama. Keduanya juga ingin membentuk sebuah negara. Jika Alqaeda ingin mengembangkan keksuasaannya, Taliban hanya ingin berkuasa di Afghanistan. Seperti ketika membentuk negara Islamic Emirat of Afghanistan pada 1996 – 2001.
“Kalau menganggap Taliban mewakili rakyat Afghanistan itu omong kosong doang,” kata Alto
Jika Taliban benar-benar ingin berdamai, Alto mempertanyakan damai definisi seperti apa dulu? Bila damai dalam konteks balance of fears, saling takut menakuti yang satu akan serang yang lain itu mungkin bisa, jawab Alto. Tapi damai dalam konteks negara kesatuan, apapun bentuknya, atau negara Islam, bagi Alto itu tetap sulit terwujud. Sebab di Afghanistan masih ada suku yang merasa lebih dominan daripada yang lain.
“Pertarungannya bukan pertarungan agama, ini soal ego kesukuan. Bahkan klan. Sebab di dalam suku masih ada klan yang merasa lebih kuat dari keluarga lain,” kata Alto.
Maka benarkah delegasi Taliban ke Indonesia ingin menjadikan Indonesia sebagai juru damai? Atau Taliban hanya ingin memanfaatkan Indonesia untuk memuluskan sahwat berkuasanya kembali? Memunculkan kembali negara Islamic Emirat of Afghanistan.