Rabu, Oktober 22, 2025

Affordability Vs Safety, Security & Sustainability Penerbangan Murah

Dr. Afen Sena, M.Si. IAP, FRAeS
Dr. Afen Sena, M.Si. IAP, FRAeS
Profesional dan akademis dengan sejarah kerja, pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan dan bisnis kedirgantaraan. Alumni PLP/ STPI/ PPI Curug, Doktor Manajemen Pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, International Airport Professional (IAP) dari ICAO-ACI AMPAP dan Fellow Royal Aeronautical Society (FRAeS).
- Advertisement -

Tulisan ini menyoroti paradoks dalam dunia penerbangan Indonesia: ketika harga tiket pesawat yang makin murah membuka akses bagi semua orang, namun di sisi lain menantang kita menjaga keselamatan, keamanan, dan keberlanjutan industri penerbangan. Di negeri kepulauan yang hidupnya bergantung pada sayap pesawat, penerbangan murah bukan sekadar bisnis—ia adalah denyut pemerataan dan simbol kemajuan.

Namun, di balik efisiensi dan tarif promosi, tersimpan pertanyaan yang lebih mendasar: sejauh mana keselamatan dan kualitas bisa dipertahankan? Berdasarkan Studi Indonesia’s Low-Cost Carrier Competitive Landscape: An Analysis of 7Ps dari Institut Teknologi Bandung menegaskan bahwa keberhasilan penerbangan murah atau low-cost carriers tidak hanya ditentukan oleh harga tiket, tetapi juga oleh integrasi teknologi, kualitas layanan, dan konsistensi operasional (Abdurrahman & Aprianingsih, 2025), ini mengajak kita melihat peta kompetisi low-cost carriers di Indonesia, tulisan ini mengajak pembaca melihat bahwa keterjangkauan tiket tidak boleh menyingkirkan disiplin operasi, integritas kebijakan, dan tanggung jawab terhadap lingkungan.

Pada akhirnya, keterjangkauan adalah hak, keselamatan adalah keharusan, dan keberlanjutan adalah masa depan. Tiga hal inilah yang menentukan kedewasaan kita sebagai bangsa penerbangan.

Di ruang udara yang sama, antara suara mesin jet dan gema kebijakan publik, harga tiket pesawat kini menjadi cermin dari dilema yang lebih dalam: apakah keterjangkauan bisa seiring dengan keselamatan, keamanan, dan keberlanjutan?

Di Indonesia, pertanyaan ini tidak sederhana. Negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau bergantung pada transportasi udara bukan sekadar untuk mobilitas, tetapi untuk konektivitas ekonomi dan eksistensi negara. Di sinilah muncul paradoks yang menggelisahkan: semakin murah tiketnya, semakin mahal biaya menjaga kualitasnya.

Anatomi Ekosistem Penerbangan Murah

Low-Cost Carrier (LCC) bukan lagi sekadar fenomena bisnis, melainkan arsitektur baru bagi mobilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi nasional. Maskapai seperti Lion Air, Citilink Indonesia, Indonesia AirAsia, dan Super Air Jet telah membentuk lanskap baru penerbangan domestik. Dengan orientasi harga murah dan frekuensi tinggi, mereka berhasil menembus lapisan masyarakat yang sebelumnya tidak tersentuh oleh moda udara.

Namun, logika efisiensi yang menopang industri ini memiliki dua wajah. Di satu sisi, LCC memperluas akses publik dan memperkuat pergerakan barang serta manusia di wilayah-wilayah 3T. Di sisi lain, tekanan terhadap biaya operasi menciptakan ruang sempit bagi standar pelayanan, keselamatan, keamanan dan bahkan kesejahteraan SDM penerbangan.

Dalam riset Vidi Abdurrahman dan Atik Aprianingsih (2025), terlihat bahwa kompetisi LCC di Indonesia kini bergeser dari pendekatan harga ke strategi pelayanan digital, ketepatan operasi, dan kekuatan merek. Citilink dan Indonesia AirAsia menonjol dalam keseimbangan harga dan kualitas, sementara Lion Air unggul dalam jaringan rute, meski kerap dikritik soal konsistensi pelayanan. Super Air Jet muncul sebagai pemain baru dengan narasi budaya dan gaya hidup digital.

Temuan ini menggambarkan bahwa strategi bisnis dan persepsi publik kini tidak lagi bergantung pada tarif semata. Kualitas operasi, keandalan jadwal, dan inovasi digital menjadi faktor kunci dalam menentukan daya saing dan kepercayaan publik terhadap maskapai murah.

- Advertisement -

Ketika Efisiensi Bertemu Keselamatan

Namun, realitas di balik efisiensi tidak selalu ramah terhadap prinsip keselamatan (safety) dan keamanan (security). Di bawah payung ICAO’s Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP) dan Universal Security Audit Programme (USAP), Indonesia telah menunjukkan kemajuan dalam kepatuhan terhadap standar internasional. Penerapan State Safety Programme (SSP) dan Risk-Based Security (RBS) menjadi kerangka kerja penting yang mengubah cara pengawasan dilakukan—dari pendekatan administratif menuju berbasis risiko dan data.

Akan tetapi, sistem pengawasan ini hanya seefektif komitmen operator dalam menerapkannya. Maskapai berbiaya rendah sering kali menghadapi dilema klasik: bagaimana mempertahankan keselamatan ketika margin keuntungan menipis, sementara biaya bahan bakar, suku cadang, dan sewa pesawat mengikuti kurs dolar yang tak menentu.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tekanan komersial dapat berujung pada praktik penghematan ekstrem: keterlambatan jadwal pemeliharaan, perampingan pelatihan kru, atau pembatasan suku cadang cadangan. Semua ini mungkin tidak langsung tampak di permukaan, tetapi dalam ekosistem aviasi, setiap keputusan kecil bisa berimbas besar pada keselamatan sistem.

Sebagaimana dicatat ICAO, keselamatan bukanlah hasil dari regulasi semata, melainkan budaya. Dan budaya keselamatan hanya tumbuh jika seluruh elemen—dari regulator hingga operator—memiliki kesadaran bahwa efisiensi ekonomi tanpa disiplin keselamatan hanyalah ilusi stabilitas.

Regulasi, Data, dan Integritas Institusi

Indonesia telah menempatkan pondasi kebijakan transportasi udara nasional sebagaimana tersebut dalam PM 11/2023, yang menekankan keterpaduan rute, efisiensi operasi, dan dukungan terhadap kawasan terpencil. Namun, implementasinya masih menghadapi tantangan klasik: fragmentasi institusi dan keterbatasan data terintegrasi.

Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DGCA), AirNav Indonesia, dan Angkasa Pura Indonesia masing-masing memiliki basis data yang masih dapat dioptimasi sehingga lebih interoperable. Padahal, dalam konteks audit USOAP dan USAP, keterpaduan data menjadi indikator penting dalam mengukur efektivitas pengawasan keselamatan dan keamanan.

Tanpa national aviation data hub yang dapat mengintegrasikan informasi rute, kinerja operasional, dan laporan insiden secara real time, kebijakan penerbangan akan terus bersifat reaktif. Ketika data menjadi terpisah, pengambilan keputusan pun menjadi lambat—dan dalam dunia penerbangan, kelambatan bukan hanya masalah administratif, tetapi potensi risiko.

Selain itu, sistem subsidi Public Service Obligation (PSO) yang dirancang untuk mendukung konektivitas wilayah belum sepenuhnya berbasis data kinerja aktual. Selama pendekatan subsidi masih ditentukan bukan sepenuhnya oleh analisis biaya per rute, maka prinsip keadilan ekonomi dalam kebijakan transportasi udara belum benar-benar terwujud. Tentu ini tantangan tersendiri.

Keterjangkauan dan Keadilan bagi Publik

Isu harga tiket murah sebenarnya menyentuh esensi dari keadilan sosial penerbangan nasional kita. Di tengah ketimpangan ekonomi dan geografis, LCC berperan sebagai jembatan pemerataan. Namun publik perlu menyadari bahwa harga murah bukanlah jaminan tanpa konsekuensi.

Ketika masyarakat menuntut tarif rendah tanpa memahami struktur biaya maskapai, tekanan publik justru bisa menjadi paradoks: menuntut pelayanan premium dengan harga ekonomi. Dalam kondisi pasar dengan rasio demand jauh melampaui supply, publik dihadapkan pada keterbatasan pilihan. Maskapai besar mendominasi rute utama, sementara rute perintis bergantung pada subsidi.

Dalam konteks ini, peran regulator menjadi sangat krusial: menegakkan keseimbangan antara hak konsumen, keberlanjutan bisnis, dan kepatuhan terhadap standar keselamatan. Kebijakan tarif batas atas dan bawah harus dipertahankan secara dinamis, berbasis data operasional yang transparan, bukan semata pada pertimbangan politis jangka pendek.

Keberlanjutan dan Emisi Karbon

Aspek lain yang tak kalah penting adalah lingkungan. Di bawah inisiatif Airport Carbon Emission Accreditation (ACAA), Carbon Offsetting Reduction Scheme fo International Aviation (CORSIA), dan target global Net Zero Carbon 2050, sektor penerbangan Indonesia dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana menjaga keterjangkauan tiket sambil menekan emisi?

LCC secara teoritis lebih efisien secara karbon karena tingkat keterisian tinggi (load factor) dan armada pesawat baru. Namun, peningkatan frekuensi penerbangan dan ekspansi rute justru menambah jejak karbon total.

Transisi menuju Sustainable Aviation Fuel (SAF) dan Performance-Based Navigation (PBN) adalah keniscayaan. Namun harga SAF yang masih 2–3 kali lipat bahan bakar konvensional menimbulkan dilema: siapa yang menanggung biaya transisi menuju langit hijau? Pemerintah perlu menyediakan mekanisme insentif fiskal dan teknologi agar LCC tidak terjebak antara tuntutan lingkungan dan kelangsungan finansial.

Mengapa Ini Penting bagi Indonesia

Isu keterjangkauan tiket pesawat bukan sekadar persoalan ekonomi mikro, tetapi strategi makro bangsa kepulauan. Setiap rute udara adalah urat nadi logistik nasional; setiap bandara regional adalah simpul pemerataan pembangunan. Ketika sistem penerbangan terganggu oleh ketidakseimbangan antara harga, keselamatan, dan keberlanjutan, maka yang terancam bukan sekadar kenyamanan terbang, melainkan kedaulatan mobilitas nasional.

Indonesia tengah bergerak menuju audit lanjutan ICAO USOAP dan USAP. Keberhasilan dalam audit ini tidak hanya diukur dari kepatuhan teknis, tetapi dari bukti bahwa sistem keselamatan dan keamanan telah menjadi budaya operasional. Bila LCC terus tumbuh tanpa kerangka tata kelola berbasis risiko dan data, maka pertumbuhan itu bisa menjadi pedang bermata dua: memperluas akses sambil memperbesar eksposur risiko.

Apa yang Patut Jadi Kepedulian Publik

Masyarakat perlu memahami bahwa keselamatan dan keamanan penerbangan bukan semata urusan regulator atau maskapai—tetapi hak publik sekaligus tanggung jawab bersama. Publik berhak mendapatkan layanan yang aman dan transparan, tetapi juga berkewajiban untuk bersikap rasional dalam menilai harga tiket dan jadwal penerbangan.

Pertama, masyarakat sebaiknya mendukung transparansi data penerbangan, termasuk laporan kinerja tepat waktu, pemeliharaan pesawat, dan insiden keselamatan. Kedua, perlu mendorong media dan lembaga advokasi untuk tidak hanya memberitakan harga tiket, tetapi juga kualitas operasi. Ketiga, publik dapat menjadi bagian dari pengawasan sosial dengan melaporkan pelanggaran standar pelayanan kepada otoritas yang berwenang.

Sikap kritis publik, bila diarahkan dengan pengetahuan, dapat menjadi pengimbang alami terhadap tekanan komersial industri. Penerbangan murah tidak boleh menjadi sinonim dengan risiko tinggi.

Arah ke Depan

Kebijakan penerbangan nasional perlu berevolusi menuju integrasi penuh antara perencanaan rute, operasi, pembiayaan, dan pengawasan berbasis data. Dalam era digital, pengambilan keputusan berbasis bukti (evidence-based aviation governance) bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.

Pendidikan dan pelatihan SDM penerbangan harus diperkuat. Lembaga seperti PPI Curug, Poltekbang, dan Akademi Penerbangan perlu membangun ekosistem pendidikan yang menyatukan keahlian teknis, pemahaman ekonomi, dan kesadaran regulatif. Hanya dengan SDM yang paham operasi sekaligus kebijakan, ekosistem LCC dapat berkembang tanpa kehilangan arah.

Pada akhirnya, penerbangan murah hanyalah salah satu instrumen dari kebijakan mobilitas nasional. Keterjangkauan adalah hak publik, tetapi keselamatan dan keberlanjutan adalah nilai bangsa.

Maka, menjaga keseimbangan antara empat pilar itu—affordability, safety, security dan sustainability—adalah ujian kedewasaan Indonesia sebagai negara penerbangan. Di langit yang padat dan penuh tekanan pasar, disiplin data, integritas kebijakan, dan kesadaran publik adalah sayap sejati yang akan menentukan arah terbang negeri ini.

Dr. Afen Sena, M.Si. IAP, FRAeS
Dr. Afen Sena, M.Si. IAP, FRAeS
Profesional dan akademis dengan sejarah kerja, pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan dan bisnis kedirgantaraan. Alumni PLP/ STPI/ PPI Curug, Doktor Manajemen Pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, International Airport Professional (IAP) dari ICAO-ACI AMPAP dan Fellow Royal Aeronautical Society (FRAeS).
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.