Tiap butir biji kopi menyimpan berbagai relasi sosial, politik, budaya, yang jika dipikirkan terkadang membuat pelik. Namun inilah yang menjadikan kopi berbeda dibanding minuman lainnya. Kini konsumen kopi telah mengalami pergeseran nilai, dari nilai fungsi menjadi nilai simbolik.
Sekarang menengguk kopi hanya sebatas pengekspresian diri. Secangkir americano dan espresso kerap dikaitkan dengan pribadi pekerja keras, alasannya adalah ekstrak kopi yang pahitnya ngga karuan mampu membuat stamina tubuh terjaga konsisten selama melakukan aktivitas. Latte melambangkan kepribadian tenang dan senang pada zona nyaman.
Lain halnya dengan cappucino, kopi yang dikombinasikan dengan susu digambarkan sebagai orang yang gemar bersosialisasi dan berwatak lemah lembut. Hal ini selaras dengan busa yang cukup tebal di permukaan kopi sehingga ketika disruput meninggalkan sisa diatas bibir.
Fenomena demikian sangat berbeda dengan zaman dahulu hingga memasuki era babyboomers sampai generasi Y. Kala itu penikmat kopi lebih mengedepankan nilai fungsinya seperti : ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Sambil memejamkan mata membayangkan saat ini kita berada di abad ke-17.
Terlukis dalam angan hiruk-pikuk orang Eropa yang sedang melakukan ekspansi perkebunan kopi. Di awali dari penemuan kopi di salah satu daerah Afrika yakni Abyssinia, kemudian diperdagangkan oleh orang Arab. Singkat cerita sampailah biji kopi pada pelabuhan Mocha, Yaman, kemudian diteruskan kembali hingga ke Eropa. Sialnya, iklim daerah Eropa sangat tak mendukung dalam budidaya kopi. Sebagai alternatifnya, bangsa Eropa mencoba membudidayakan kopi pada tanah jajahannya.
Pahitnya Kopi, Tak Sepahit Priangan 1720
Berawal dari kebijakan Belanda yang memaksa warga lokal untuk menyukseskan preanger stelsel hingga berujung revolusi ekonomi secara masif dan terjadilah ketimpangan sosial yang mencekik. Tahun 1720, lewat VOC, para petani dipaksa untuk menanam kopi melalui elite daerah utusan Belanda. Kondisi iklim Parahyangan yang relatif dingin serta tanahnya yang subur akibat aktivitas Tangkuban Perahu, menjadikan daerah ini sukses untuk dilakukan budidaya kopi.
Awalnya Joan van Hoorn, Gubernur Jenderal VOC, mencoba menanam kopi di daerah Pondok Kopi, sepanjang Batavia, dan Cirebon. Sayangnya percobaan ini tak membuahkan hasil signifikan. Biji kopi banyak yang gagal panen bahkan merugi. Alhasil Van Hoorn mendistribusikan biji kopi ke dataran tinggi, yakni daerah Karawang dan Priangan.
Pada tahun 1711 kurang lebih seratus pon kopi masuk dalam gudang VOC. Patokan harga kopi saat itu 50 gulden per pikul (dengan catatan satu pikul sama dengan 125 pon). Tentu saja hasil kopi di Priangan sangat menjanjikan, sehingga Van Hoorn mulai melakukan ekspansi dan memobilisasi rakyat Priangan untuk bekerja keras. Kebijakan ini tentu saja bercorak kapitalistik, VOC memaksa rakyat untuk bekerja keras namun dibayar sangat murah.
Enam tahun kemudian VOC menguasai ¾ perdagangan kopi dunia. Keuntungan demi keuntungan mengalir deras di kantong para petinggi VOC dan bangsawan lokal. Bagaimana tidak, harga kopi mentah yang semula dibandrol 50 gulden kini diturunkan menjadi 12 gulden saja per pikulnya.
Tak pelak, Belanda pun melakukan berbagai kecurangan terhadap petani. Belanda menetapkan dua jenis pikulan kopi, yakni pikul gunung dan pikul batavia. Pikul yang diserahkan petani kepada VOC dinamakan pikul gunung. Sedangkan pikul batavia merupakan satuan berat untuk menghargai kopi di daerah Batavia.
Duduk permasalahannya adalah VOC membayar pikul gunung sesuai standard pikul batavia yang mana jika dikonversikan kedalam satuan kilogram, beban pikul gunung dua kali lipat lebih berat daripada pikul batavia.Lambat laun kebijakan biadab ini mulai membawa dampak serius bagi rakyat Priangan. Satu per satu petani mulai memberanikan diri untuk kabur menuju daerah lain. Upaya ini sangatlah sulit, mengingat VOC memperluas daerah wajib penanaman dan mem-plotkan beberapa markas pasukan patroli.
“Barangsiapa yang menentang kebijakan preanger stelsel, para pasukan patroli tak segan akan menjebloskan ke markas penahanan.”, kurang lebih begitulah propaganda yang digemborkan. Perekonomian subsisten lokal menjadi macet, hal ini merupakan imbas dari pengalih fungsian lahan warga menjadi lahan kopi yang dikuasai Belanda. Preanger stelsel baru berakhir pada tahun 1729 ketika VOC mulai bangkrut. Akan tetapi penderitaan warga Priangan belum berakhir, Belanda terus melakukan eksploitasi dengan memberlakukan cultuurstelsel yakni tanam paksa dengan penambahan komoditas ekspor seperti tebu, teh, dan tarum.
Kopi Mengandung Vitamin Revolusi
Jika ditanya tempat apa yang membuat seseorang menjadi egaliter, tentu tempat ibadah jawabannya. Namun apabila ditanya tempat apa yang membuat seseorang menjadi egaliter tanpa membawa sisi kerohanian, kedai kopi lah jawabannya. Menukil dari salah satu teori seorang sosiolog Jerman, Jurgen Habermas, bahwasannya ruang publik akan terjadi ketika antar individu saling berinteraksi tanpa ada intervensi atau sekat yang membatasi. Yap, kedai kopi salah satu ruang publik yang mampu membawa iklim diskusi dan menghasilkan diskursus tanpa ada rasa menggurui.
Tak heran jika Revolusi Perancis berawal dari akumulasi ide di kedai kopi. Bermula dari seorang warga Italia, Francesco Procopio Dei Cotelli, mendirikan sebuah kedai di Paris tahun 1686. Kala itu, kedai kopi milik Procopio (yang kemudian diberi nama Le Procope) hanya sekadar digunakan sebagai tempat minum dan berdiskusi santai. Lambat laun tempat ini terkenal sebagai wadah pencerahan setelah berbagai seniman dan intelektual sering berdiskusi disana.
Beberapa pelanggan setianya antara lain JJ Rousseau, Voltaire, Pirot, dan Diderot. Berbagai isu politik Perancis sering menjadi pokok pembahasan, apalagi ketika memasuki abad ke-18 perihal isu pemisahan kekuasaan dalam negara. Kekuasaan raja dinilai absolut, sehingga berpotensi terjadinya kesewenang-wenangan. Di kedai Le Procope, Voltaire membuat gagasan yang selanjutnya berengaruh terhadap terjadinya Revolusi Perancis, yakni menggerakkan tuntutan perubahan para kelas menengah dan membuka cakrawala baru bahwa sejarah kebudayaan lebih penting daripada sejarah politik itu sendiri.
Di negara Indonesia, Bung Karno merupakan salah satu tokoh revolusioner yang gandrung terhadap kopi. Sebelum berpidato, Soekarno menyempatkan diri untuk menengguk kopi tubruk yang panas nan pekat. Dalam sebuah jurnal studi psikologi oleh (Maghfiroh, 2019) kafein dalam kopi memberikan stimulus pada otak, meningkatkan suasana senang hati, dan memberikan dorongan energi sehingga mengurangi risiko kelelahan.
Tak heran jika berkesempatan berpidato, Bung Karno bak singa diatas podium. Kopi tubruk juga menjadi rahasisa kesuksesan Bung Karno dalam proses lobbying politik. Pada tahun 1950-an, Soekarno diundang oleh Josip Broz Tito, Presiden Yugoslavia, untuk menghadiri ramah tamah di sebuah nightclub. Bung Karno ditawari sebotol wine, namun beliau menolak dan lebih memilih kopi atau air jeruk hangat.