Penayangan Liga Primer Inggris diduga jadi penyebab dilengserkannya Helmy Yahya sebagai Direktur Utama TVRI oleh Dewan Pengawas TVRI. Salah satu alasan diberontaknya tayangan bola itu gara-gara tidak adanya keselarasan antara substansi acara dengan jatidiri bangsa.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Ketua Dewan Pengawas (Dewas) TVRI, Arief Hidayat Thamrin, ketika menghadiri rapat dengar pendapat dengan Komisi I di kompleks MPR/DPR di Senayan Jakarta.
Meskipun mantan dirut menyatakan bahwa hal itu tidak ada hubungannya–apalagi jika dikait-kaitkan dengan riuhnya Jiwasraya–namun sebagian publik sudah terlanjur mengamini alasan pelengseran tersebut. Entah dengan alasan apa, publik pun kemudian berpihak pada Dewas TVRI yang mengupayakan dibukanya alasan penanyangan Liga Primer Inggris tersebut.
Publik juga berusaha berpihak pada Dewas TVRI yang berupaya menyelamatkan anggaran trilyunan untuk ‘sekadar’ tayangan rebutan bola tadi. Nilai kebangsaan seharusnya diutamakan oleh roh televisi negeri itu dalam menghadirkan acara yang bisa menambah kekuatan nilai dan rasa cinta tanah air.
Mungkin saja asumsinya begini: yang ditayangkan sepak bola luar negeri, bagaimana caranya supaya sepak bola negeri ini ikut maju? Bagi dewan pengawas, seolah hal itu tidak ada hubungannya. Dan dengan ditayangkannya olah raga negeri lain, maka nilai dan rasa cinta tanah air tadi tidak akan bertambah. Malah kita juga harus membayar hak siar, yang seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan lain yang lebih krusial.
Tupoksi TVRI sebagai media publik, juga menjadi alasan. Konsep tayangan yang seharusnya dihadirkan adalah materi acara yang punya nilai edukasi, jati diri, dan sebagai media pemersatu bangsa.
Tidak ada yang salah dalam rangkaian gagasan Dewas TVRI ini. Namun, jika kita punya rasa prihatin terhadap kemajuan prestasi tim sepak bola kita, maka hal ini pun patut dipertimbangkan.
Memang, tayangan Liga Primer Inggris bukanlah satu-satunya cara dalam menyentuhkan nilai edukasi persebakbolaan modern. Namun paling tidak, seni mengolah bola dan mencetak gol, bisa dipelajari dari tanah Inggris sebagai kiblat sepak bola saat ini. Andai saja pemilik hak siar membolehkan TVRI membeli sebagian kecil saja dari seluruh tayangan yang ada, mungkin tidak akan ada polemik semacam ini.
Ada juga tayangan Discovery Channel yang menurut Dewas TVRI – seraya membandingkan dengan kekayaan binatang buas semacam buaya – ada juga di Indonesia. Tidak harus menampilkan buaya Afrika sebab di Indonesia juga banyak buaya. Pendapat ini pun tidak sepenuhnya keliru. Namun perlu diingat bahwa nilai edukasi para peneliti perilaku buaya di Afrika agaknya bisa ditiru oleh ilmuwan Indonesia.
Jadi, tayangan Liga Primer Inggris dan Discovery Channel, yang sedang dijadikan alasan untuk konflik internal TVRI tidak sepenuhnya keliru. Akan tetapi, mungkin saja ada yang terlewat dari proses komitmen tersebut, yaitu tidak disepakatinya jumlah film, durasi, atau rating kesebelasan yang tidak semuanya harus ditayangkan langsung oleh TVRI. Cukup yang ada di urutan enam besar klasemen terataslah yang dibeli, jika boleh.
Atau untuk tayangan Discovery Channel, khusus tentang binatang yang sudah jarang ditemui di Indonesia, bahkan memang tidak ada, yang dibeli oleh TVRI. Agaknya hal inilah yang sebetulnya jadi ganjalan Dewas TVRI, agar ke depannya tetap bisa jadi media publik yang memintarkan masyarakat pemirsanya.
Dan TVRI juga sepertinya perlu mempertimbangkan pernyataan Helmy Yahya yang berujar bahwa tayangan sepak bola di negeri sendiri, ternyata lima kali lebih lebih mahal daripada yang diimpor dari Inggris. Hah? Benarkah demikian?