Nasib memang nasib, akan selalu berkata berbeda pada kenyataannya. Suatu pagi, mertua penulis dikejutkan dengan kehadiran murid-muridnya di rumah sebagai penghormatan karena dia telah menjadi wali kelas bagi murid-muridnya itu. Berbeda dengan guru honorer yang mungkin masih terbilang “susah” mencari nafkah. Ngomong-ngomong, kita sempat dihebohkan dengan pernikahan anak bapak presiden kita, Kahiyang Ayu. Namun, bagaimanakah nasib guru saat ini?
Sebenarnya, ini juga ada kaitannya dengan kesadaran teknologi yang kita miliki. Kerap kali kita menemukan bahwa teknologi membelokkan tujuan kita. Seharusnya teknologi dijadikan sebagai sarana dan bukan tujuan. Sekarang teknologi menjadi sarana plus tujuan. Soalnya handphone yang kita miliki zaman now bukan hanya bisa menelepon tapi kebanyakan isinya foto-foto selfie kita loh.
Akan tetapi bukan salah teknologi, yang jelas kita woles saja. Kali ini memang tak bisa dipungkiri kehadiran atau momen-momen pernikahan tak bisa dilupakan bahkan siaran televisi mana pun pasti akan membahasnya. Bagi yang jomblo, mungkin itu sesuatu yang menyakitkan. Namun, semua itu pasti ada masa-masanya. Yakinlah bahwa suatu hari nanti kita bisa mendapatkan jodoh kita masing-masing (kecuali penulis yang sudah menemukannya).
Terjebak popularitas
Ini hal yang patut kita sadari, dan jangan terlalu mengingat sesuatu yang biasa kita lihat apa lagi dari media. Misalnya saja yang mungkin masih membekas di hati kita, pernikahan Hamish dan Raisa, membawa luka bersama sesama penggemar Raisa. Di dalam hati kita mungkin ada secuil harapan dan bertanya-tanya kapan Raisa jomblo lagi (walaupun pertanyaan itu absurd).
Terjebak popularitas kadang kala membuat kita lupa bahwa ada sesuatu yang bermakna dibandingkan apa yang selalu ditayang-tayangkan oleh media. Sebagaimana juga telah dijelaskan di atas bahwa teknologi cenderung menjebak orang pada dirinya sendiri.
Sedangkan adu domba hak asasi manusia justru terasa di sekolah-sekolah umum. Yang tertangkap oleh video malah adegan kekerasan terhadap gurunya, tapi sangat jarang memperlihatkan bagaimana seorang guru honorer mengajar. Nasibnya makin lama makin mengecil.
Makanan enak dan gratis
Siapa yang tidak suka dengan makanan enak? Pernah kerap kali penulis dapat dirinya mengalami kelaparan darurat, tapi dengan bermodalkan pakaian rapi dan sepatu hitam yang sering disemir bersih bisa datang ke kondangan. Makanannya pun kadang berganti-ganti sesuai dengan tempat acara pernikahan tersebut. Kualitas makanan hotel dijamin enaknya.
Namun, sayangnya guru hanya sebatas memberikan penjelasan manusiawi kepada muridnya. Dan sulit untuk menemukan sekarang yang manusiawi karena muridnya susah diajar. Kebanyakan yang gampang diajar itu malah terdapat di sekolah-sekolah swasta maupun tempat-tempat kursus. Akibatnya manusiawi cuma dimiliki bagi mereka yang punya duit.
Mungkin konsep acara pernikahan bagus diaplikasikan di sekolah-sekolah umum. Membagikan kebahagiaan kepada orang lain yang tak punya uang tapi memiliki hubungan kekeluargaan yang tinggi itu penting, yaitu kekeluargaan bangsa Indonesia.
Malam pertama dan hari pertama mengajar
Mungkin dilihat dari kedua kata tersebut, jelas-jelas pasti berbeda. Perbedaannya malam pertama pastilah dirasakan kedua pengantin, yang biasanya bisa saja mengukur pengalaman dalam berhubungan intim. Tapi yang lebih jelasnya ialah kemesraan yang dihasilkan oleh malam itu.
Hari pertama mengajar mungkin merupakan sebuah simbol di mana kita sudah siap mengajar. Namun, menariknya kadang kala kita menemukan guru-guru yang kesulitan mengajar. Apalagi itu terjadi pada sekolah dasar. Sekolah dasar adalah rimbanya pendidikan.
Perbedaannya terlihat lebih jelas. Malam pertama menandakan kemesraan kita sedangkan hari pertama mengajar itu bisa disamakan dengan memasuki hutan belantara. Ya, jadi guru memang banyak susahnya. Sekolah umum kadang lebih terasa rimbanya dibandingkan sekolah swasta. Mungkin duit berbicara, tapi beda dengan malam pertama dong. Yang berbicara itu cinta. Bukan kita sedang memasuki hutan.
Sakit hati berlebihan dan jiwa kemanusiaan yang tinggi
Fenomena yang biasa juga muncul kalau kita yang sedang menikah sang mantan tiba-tiba datang walaupun tak diundang. Biasanya sang mantan itu datang atas nama undangan komunitas atau organisasi yang kita ikuti. Yah, mungkin kita sebagai mantan sakit hati karena ditinggal nikah oleh sang mantan dicintai.
Berbeda yang dihadapi guru. Guru selalu saja berdialektika (berdialog dan berkonflik batin) dalam hak asasi kemanusiaan kepada siswa yang dicintainya. Namun, saran buat guru-guru, ada baiknya mengajar juga di sekolah swasta dan tempat kursus. Sebagai penulis, penulis yakin nasib gaji pasti berubah. Guru honorer gajinya dikit, kalau mengajar di tempat kursus atau sekolah swasta, biasanya kita didapati memakai dasi seperti seorang bisnis man. Sakit hati berlebihan kagak baik kok, mending move on dan mengajar secara gratis.
Sebagai kesimpulan, tulisan woles ini mempunyai empat hikmah. Hikmah pertama itu berkaitan dengan popularitas ajang pernikahan, tapi itu semua tergantung siapa yang nikah. Sayangnya guru jarang disoroti. Yang disoroti hanya berbau kekerasan tapi sangat jarang menyiarkan usaha keras para guru. Kedua, makanan enak gratis yang sangat jarang ditemukan di sekolah-sekolah umum. Amalan memang penting tapi yang terutama itu ikhlas.
Ketiga, malam pertama kadang lebih sakral dibandingkan mengajar di hari pertama. Hari pertama mengajar mengandung ketakutan. Apalagi di sekolah-sekolah umum. Terakhir, sakit hati berlebihan dan jiwa kemanusiaan tinggi. Bagi yang bertahan di sekolah umum mungkin memiliki sakit hati berlebihan karena mantannya sudah menikah.