Agaknya membahas isu aborsi adalah hal yang masih tabu di masyarakat mengingat sebagian besar masyarakat kita masih berada dalam pola pikir yang konservatif. Bahkan mungkin beberapa kelompok akan dengan lantang menentang pembahasan mengenai aborsi kalau-kalau pemerintah secara optimal menjalankan tugasnya sebagai pelindung segenap bangsa Indonesia.
Perdebatan panjang tak berujung tak akan membawa solusi apapun tatkala setiap menitnya ada saja kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) yang bermunculan di berbagai bagian negeri ini. Ya, sudah saatnya kita membuka mata bahwa arus globalisasi kian pasti ikut menggeser budaya dan moral masyarakat, salah satunya yakni maraknya hubungan pra nikah yang berujung pada kehamilan tidak diinginkan.
Namun negara tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan seksualitas yang demikian, melainkan harusnya menjadi pihak yang menyediakan fasilitas dan regulasi yang berpihak terhadap perempuan untuk memiliki pilihan ketika ditempatkan pada situasi rumit diatas.
Selain hubungan pra nikah, kehamilan tidak diinginkan disebabkan juga oleh perilaku tidak sehat dan kondisi sebelum maupun saat kehamilan seperti perkosaan, kurangnya pengetahuan mengenai kontrasepsi, terlalu banyak anak, alasan kesehatan, janin cacat, usia muda, belum siap untuk memiliki anak, serta pasangan tidak bertanggungjawab.
Selain itu, kehamilan tidak diinginkan berkaitan dengan berbagai aspek seperti kondisi sosio-demografi keluarga, budaya, serta kepercayaan yang ada di masyarakat. Program kesehatan reproduksi yang diupayakan oleh pemerintah seperti program keluarga berencana maupun kesehatan reproduksi remaja yang tidak berhasil turut menjadi pemicu terjadinya kehamilan tidak diinginkan (Jurnal Determinan Kehamilan Tidak Diinginkan di Indonesia, 2016).
Dalam jurnal Sexual and Reproductive Health: a matter of life and death, dilampirkan data bahwa World Health Organization (WHO) memperkirakan dari 200 juta kehamilan pertahun, sekitar 38 persen atau kurang lebih 75 juta kasus meliputi kehamilan tidak diinginkan. Hal ini sesuai dengan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2012 yang mencatat kasus kehamilan tidak diinginkan sebanyak 14 persen. Angka ini tentu meningkat setiap tahunnya melihat pola pergaulan remaja masa kini.
Upaya preventif terhadap kehamilan yang tidak diinginkan memang sedang digalakkan, pil-pil KB diproduksi dan dipromosikan tanpa henti, sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi bagi remaja pun mulai menyentuh daerah lewat instansi penyelenggara yang memiliki wewenang dibantu oleh LSM.
Kemudian pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana peran pemerintah dalam mengakomodir kasus-kasus kehamilan tidak diinginkan yang telah menjadi fakta semu di masyarakat? Harus berapa nyawa perempuan yang kehilangan hidupnya diambang putus asa di tangan praktik dukun kandungan abal-abal yang menawarkan jasa kuret?
Aborsi dan agama di Indonesia bagaikan dua kutub magnet yang saling menolak sehingga pola pikir yang berkembang di masyarakat adalah praktik aborsi merupakan tindakan dosa dan melanggar hukum.
Bahkan negara kita memiliki sanksi hukum yang tegas dan dapat mengkriminalkan siapa saja yang terlibat dalam praktik aborsi. Namun apakah larangan aborsi ini efektif menekan tingkat aborsi di Indonesia? Tidak juga, sebaliknya malah semakin menggiring perempuan pada praktik aborsi dibalik layar, yang tidak aman dan sangat beresiko.
Menurut saya, sudah sepantasnya kita sebagai manusia yang hidup pada era ini mulai merawat pikiran dengan berkaca pada realitas yang ada. Perbincangan aborsi nampaknya harus ditempatkan pada penggunaan perspektif perempuan, entah itu pada tinjauan kembali mengenai aborsi di mata agama maupun pada ranah kebijakan publik.
Islam sebagai agama yang dianggap vokal dalam menentang praktik aborsi sesungguhnya merupakan agama yang cukup terbuka akan bahasan mengenai isu ini, dari semua mazhab yang melarang praktik aborsi, dapat ditarik kesimpulan bahwa aborsi boleh dilakukan apabila belum ditiupkannya ruh pada janin atau masih berupa segumpal darah yang mana jika lebih dari itu adalah haram hukumnya; serta aborsi diizinkan setelah janin telah ditiupkan ruh apabila dalam situasi darurat dengan alasan medis seperti untuk menyelamatkan jiwa ibu dan alasan lain yang diperbolehkan dalam syariat islam.
Pemerintah sebagai regulator mengeluarkan PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang didalamnya membahas mengenai pengecualian praktik aborsi dimana aborsi dapat dilakukan berdasarkan adanya indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.
Tindakan aborsi tersebut pun hanya dapat dilakukan pada usia kehamilan paling lama 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Berikutnya dijabarkan bahwa penyelenggaraan aborsi harus dilakukan secara aman, bermutu, dan bertanggung jawab. Aborsi aman hanya boleh dilakukan oleh dokter yang memiliki standar, dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat Kementerian Kesehatan, atas permintaan dan persetujuan perempuan yang bersangkutan, atas izin suami (kecuali pada korban pemerkosaan persetujuan oleh keluarga korban), dan tidak diskriminatif.
Aborsi aman harus disikapi sebagai sebuah kesempatan untuk memperbaiki kehidupan perempuan, bukan sebagai jalan pintas yang dipilih ketika tiba-tiba alat tes kehamilan menjadi positif. Pemerintah sudah sepantasnya mengoptimalkan pelayanan kesehatan reproduksi dengan cara meyakinkan masyarakat bahwa perempuan masih punya pilihan, misalnya menyediakan hotline konseling untuk perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan.
Meskipun jika akhirnya harus memilih melakukan aborsi aman, maka kualitas dan kuantitas tenaga medis untuk menangani aborsi aman harus ditingkatkan. Pusat-pusat layanan kesehatan reproduksi masyarakat yang disediakan sudah saatnya untuk berbenah tidak hanya dalam bidang pelayanan namun juga mindset setiap individu didalamnya harus terbuka terhadap isu ini. Bukan lagi masanya memelihara pola pikir judgemental dan diskriminatif.
Masih menjadi pekerjaan rumah bersama antara pemerintah dan masyarakat untuk memberikan responsivitas yang baik dalam menangani penyelesaian kasus kehamilan tidak diinginkan. Dimana kebijakan dan regulasi yang dibentuk sebisa mungkin pro terhadap hak-hak perempuan, hak untuk melanjutkan kehidupan dan terjauhkan dari ketidakadilan. Masyarakat yang menjadi entitas terdekat terhadap fenomena seperti ini pun layak menerima sosialisasi mengenai hal-hal yang dianggap tabu seperti ini supaya budaya menyudutkan sesama dapat diminimalisir.