Kemerdekaan seharusnya benar-benar dirasakan oleh setiap warga negara. Namun di hari ulang tahun (HUT) ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia, bangsa ini belum mampu mewujudkan cita-citanya merdeka dari kemiskinan. BPS mencatat masih ada 25,22 juta jiwa penduduk Indonesia yang belum mampu keluar dari jurang kemiskinan pada Maret 2024, hanya turun 0,68 juta orang terhadap Maret 2023. Melihat persentase penduduk miskin sebesar 9,03% pada Maret 2024, nampaknya target penurunan kemiskinan menjadi 6,5%-7,5% pada akhir masa jabatan Presiden Jokowi, sulit tercapai.
Pemerintah juga menargetkan untuk menurunkan angka kemiskinan ekstrem di angka 0% pada tahun 2024. Ini juga target yang berat untuk terealisasi, mengingat persentase penduduk miskin ekstrem Indonesia pada Maret 2024 masih sebesar 0,83%. Sedangkan waktu yang tersisa tinggal 4 bulan lagi, pemerintah harus bekerja ekstra dan melakukan langkah terobosan untuk menunaikan kedua target tersebut.
Upaya pemerintah dalam penanganan kemiskinan adalah amanah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat 1, yang berbunyi fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Berbagai program bantuan sosial telah dilaksanakan, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Program Sembako, bantuan permakanan dan ATENSI untuk lansia dan penyandang disabilitas. Masalah ketahanan pangan keluarga juga tak luput dari perhatian, pemerintah memberikan Bantuan Pangan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) Beras.
Tidak berhenti pada program bantuan sosial, pemerintah juga telah membuat program yang menyasar masyarakat kelompok menengah. Diantaranya skema jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan. Untuk jaring pengaman sosial, pemerintah juga memberikan subsidi listrik untuk rumah tangga dengan 450VA dan 900VA maupun LPG 3kg serta subsidi BBM yang saat ini dapat diakses oleh berbagai lapisan masyarakat.
Kemudian pada sektor perumahan, pemerintah telah memberikan insentif untuk PPN pembelian rumah harga dibawah Rp5M, bantuan rumah bagi masyarakat dengan kategori penghasilan rendah, hingga bantuan untuk rumah sejahtera bagi masyarakat miskin dengan nilai Rp20 juta.
Melansir dari situs resmi Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI, alokasi APBN untuk pengentasan kemiskinan selalu mengalami kenaikan. Alokasi anggaran perlindungan sosial (perlinsos) Tahun Anggaran (TA) 2024 sebesar Rp496,8 triliun, meningkat dibandingkan TA 2023 yang sebesar Rp476 triliun. Alokasi ini ditambah dari dana Transfer Ke Daerah (TKD), khususnya untuk Dana Alokasi Khusus (DAK) Nonfisik sebesar Rp133,76 triliun, Dana Desa sebesar Rp71 triliun, serta Insentif Fiskal sekitar Rp8 triliun yang meliputi alokasi untuk penurunan prevalensi stunting, penurunan kemiskinan ekstrem, dan BLT. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah menaruh perhatian yang tinggi dalam pengentasan kemiskinan.
Total anggaran perlinsos tahun ini yang senilai Rp 496,8 triliun itu mayoritas untuk pemberian subsidi, seperti subsidi energi untuk bahan bakar minyak (BBM), LPG, dan listrik, subsidi non energi seperti untuk subsidi pupuk, kewajiban pelayanan publik atau PSO, bunga KUR, bunga kredit perumahan, serta antisipasi penanggulangan bencana dengan total Rp 330 triliun. Sisanya baru dalam bentuk sembako, program keluarga harapan, dan asistensi rehabilitas sosial melalui Kementerian Sosial senilai Rp 75,6 triliun, untuk program Indonesia pintar dan program kartu Indonesia pintar melalui Kemendikbud dan Kemenag Rp 30 triliun, serta bantuan iuran BPJS Kesehatan Rp 49 triliun, dan BLT Desan Rp 10,7 triliun melalui pemerintah daerah.
Capaian penurunan angka kemiskinan sejak Presiden Joko Widodo dilantik sebenarnya patut diapresiasi. Kondisi pada Maret 2014, jumlah masyarakat miskin di Indonesia sebanyak 28,28 juta orang dengan tingkat kemiskinan sebesar 11,25%. Angka itu terus menurun hingga kemudian menjadi satu digit pada Maret 2018, untuk pertama kalinya persentase penduduk miskin menjadi 9,82% atau sebanyak 25,95 juta orang. Jumlah penduduk miskin berkurang sekitar 3,06 juta orang atau turun sekitar 2,22 poin persentase dalam 10 tahun terakhir dan secara rata-rata jumlah penduduk miskin berkurang sekitar 300 ribu orang per tahun.
Tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh pemerintah memang sangat kompleks. Masih segar diingatan kita ketika Covid-19 melanda pada tahun 2020, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 2,07%. Menko PMK Muhadjir Effendy mengatakan angka kemiskinan yang masih di atas target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 juga disebabkan faktor kekeringan, El Nino. Kondisi global yang sulit, kelangkaan bahan pangan, energi, dan kesulitan impor bahan pangan juga menjadi alasan mengapa program pengentasan kemiskinan belum membuahkan hasil yang optimal.
Pemerintah sebaiknya tidak hanya berfokus pada masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan, melainkan perlu diperhatikan pula masyarakat yang berada sedikit di atas garis kemiskinan. Kelompok ini justru rawan untuk jatuh ke jurang kemiskinan dan akhirnya menambah parah angka kemiskinan.
Oleh sebab itu, bantuan sosial yang selama ini dikucurkan juga hendaknya dievaluasi kembali apakah sudah benar-benar efektif. Atau jangan-jangan malah menjadikan masyarakat miskin merasa “dimanja” dan sangat bergantung pada bansos.
Pepatah “lebih baik memberi pancing daripada memberi ikannya” rasanya cukup relevan untuk mengatasi masalah kemiskinan yang sudah turun-temurun. Kemiskinan hanya akan musnah jika masyarakat memiliki daya dan kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya dari sisi pendapatan. Program penciptaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat miskin sangat diperlukan, tentu dengan kualifikasi yang sesuai, karena pada umumnya masyarakat miskin berpendidikan rendah.
Dari kualitas pendidikan juga perlu diperbaiki. Minimal dalam satu rumah tangga miskin mampu menyekolahkan anaknya hingga jenjang pendidikan tinggi. Sehingga anak tersebut memiliki peluang yang lebih luas dalam memperoleh pekerjaan layak.
Sebuah kisah inspiratif bagaimana program bantuan pendidikan sangat berdampak pada masyarakat miskin. Melly Puspita, mahasiswi Program Studi Teknik Metalurgi Institut Teknologi Bandung (ITB) yang berhasil lulus dengan predikat Cum laude. Beliau hanyalah anak seorang tukang bubur yang tidak tamat sekolah dasar. Ibunya yang sudah meninggal juga hanyalah lulusan SD. Benar-benar berasal dari keluarga yang serba kekurangan.
Namun melalui program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah), Melly akhirnya menjadi satu-satunya yang berkuliah di keluarganya. Peluang Melly untuk mendapatkan pekerjaan layak serta mengangkat ekonomi keluarga tentu terbuka lebar. Bayangkan jika program ini dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat miskin, dengan sendirinya masing-masing rumah tangga miskin akan memiliki kemampuan untuk merdeka dari kemiskinan.
Presiden terpilih nanti perlu untuk mengkaji ulang, manakah program pengentasan kemiskinan yang layak untuk dilanjutkan dan mana yang justru kontraproduktif. Kita ingin menuju Indonesia yang tangguh, mandiri, dan inklusif di 2045. Jangan biarkan kemiskinan terus bertahan di bumi pertiwi.