Senin, Oktober 14, 2024

62 Tahun Ketimpangan Penguasaan Tanah

Ahmad Pazli
Ahmad Pazli
in here the next level of me

Kini Undang-Undang Pokok Agraria atau UUPA genap berusia 62 tahun, sejak disahkannya pada 24 september 1960.

Perjalanan panjang selama enam puluh dua tahun berdiri memayungi agraria Indonesia , UUPA sering disinggung kontribusinya dengan tujuannya dibentuk dahulu yaitu dasar bagi pembentukan hukum agraria nasional.

UUPA menjadi penting karena menyangkut kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dengan menggeret kekayaan nasional beserta hubungan-hubungan antara orang-orang dengan bumi, air, dan angkasa maupun perbuatan perbuatan yang mengiringinnya. UUPA diharapkan dapat menjembatani antara pemerintah dan rakyat demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan terkait pengelolaan sumber daya agraria di Indonesia.

UUPA tumbuh dengan perjalanan hidup yang cukup berat, mulai dari di anak tirikan hingga keberadaannya yang dianggap mati suri. Keberadaan UUPA tidak selalu mendapat tempat di hati setiap rezim pemerintahan Indonesia. Banyak sekali praktek kecurangan yang dibungkus secara apik dengan kebijakan yang bertolak belakang dengan tujuan pembentukan undang – undang tersebut. Inilah yang menjadi boomerang terhadap masalah yang akan kita hadapi kedepannya jika pemerintah tidak segera menghidupkan kembali ruh UUPA.

Perebutan hak kuasa atas tanah antara para penguasa dengan masyarakat adat yang marak terjadi saat ini adalah coretan hitam bagi UUPA. Tak bisa dipungkiri, ini adalah refleksi dan tamparan dalam sejarah panjang enam puluh dua tahun UUPA. Ketidakjelasan mengenai kepemilikan tanah, manajemen pertanahan, dan kurangnya pendekatan secara sosial kepada masyarakat adalah awal dari konflik agraria dengan masyarakat adat bermula.

Diperlukan pemyelesaian konflik dengan pendekatan yang tepat, evaluasi pelaksanaan UUPA, dan juga perbaikan manajemen pertanahan. Kepentingan negara memang harus diutamakan tetapi juga harus memperhatikan norma dan etika dalam melaksanakannya. Konflik masyarakat adat tidak hanya menyebabkan keresahan pada masyarakat adat saja tetapi juga rakyat Indonesia secara menyeluruh.

Pelik konflik agraria masyarakat adat

Konflik tentang masyarakat adat seringkali terjadi, yang dimana konflik konflik agraria pada masyarakat adat disebabkan oleh pertama, kurangnya sosialisasi dan pendekatan kepada masyarakat.

Kedua, struktur atau adanya perbedaan kepentingan. Konflik masyarakat adat berkaitan dengan perbedaan kepentingan antara masyarakat adat yang ingin mempertahankan lahan leluhurnya turun temurun dengan kepentingan pemerintah atau suatu perusahaan untuk memanfaatkan lahan tersebut secara ekonomis. Ketiga, pribadi yaitu ketidaksesuaian nilai pribadi dengan perilaku. Hal ini tercermin pada sikap aparat negara yang melakukan kekerasan kepada masyarakat adat sehingga memicu amarah dari masyarakat dan menyebabkan konflik semakin berlarut-larut.

Telah disebutkan dalam UUPA bahwa hukum agraria adalah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan negara. Jika memang benar bahwa lahan tersebut adalah kepemilikan negara yang artinya kepentingan negara dan hukum adat harus dikesampingkan, tetapi bukankah hendaknya juga mempertimbangkan rasa kemanusiaan? Antisipasi dalam mencegah kerusuhan yang terjadi pada konflik ini dapat dilakukan dengan melakukan sosialisasi yang dikomunikasikan dengan komunitas peduli masyarakat adat.

Selain itu, penyelesaian masalah hukum terkait bukti-bukti kepemilikan lahan juga perlu diselesaikan terlebih dahulu sebelum meminta masyarakat adat meninggalkan rumah dan lahan pertaniannya.

Pemerintah juga perlu memberikan solusi apabila ternyata terbukti memang benar lahan tersebut milik pemerintah. Keluarga, harta, dan mata pencaharian masyarakat adat tergantung pada lahan dan tempat tinggal mereka tersebut. Tidak mungkin masyarakat adat ditelantarkan begitu saja. Jika memang, penggunaan lahan tersebut untuk kepentingan negara, kepentingan negara yang manakah yang diutamakan? Bukankah rakyat adalah kepentingan negara? Atau sebenarnya hanya kepentingan oligarki semata? Pemerintah perlu membersihkan coretan hitam ini dari wajah UU Agraria. Lalu bagaimana solusi dan cara dalam menyelesaikan masalah ini? Yaitu Kolaborasi antara komunitas peduli masyarakat adat, tokoh adat, dan pemerintah harus dilakukan dan direalisasikan sehingga dalam upaya untuk menyelesaikan masalahnya bisa teratasi.

Tanah kami telah dirampas para investor modal

Kondisi saat ini bisa di bilang seperti tak bertuan di negeri sendiri . Tanah yang dijadikan sebagai tempat perlindungan dan mata pencaharian sekarang diambil alih oleh penanam modal Yang terhormat Tuan atau Puan Investor modal. Dari rezim Orde Baru hingga saat ini, penguasa lebih longgar dalam memulai kebijakan pertanian. Sebuah kebijakan yang memberikan keleluasaan investor dengan kedok membantu membangun negara sementara rakyat sendiri harus mengencangkan ikat pinggang untuk bertahan hidup.

Selama satu dekade terakhir, isu perampasan tanah antara warga dan perusahaan investasi masih mendominasi sengketa pertanian. Sayangnya, kendali atas kemenangan prosedural masih berada di tangan pemodal. Kebijakan yang sah menurut hukum dan cenderung menguntungkan pemilik modal membuat masyarakat kurang mampu mempertahankan kedaulatannya.

Munculnya kasus-kasus pendudukan tanah yang melibatkan kekerasan fisik yang melibatkan aparat keamanan negara merupakan bukti lemahnya penegakan HAM di negara ini. Tentu saja, mereka yang kehilangan tanah untuk hidup telah menyatakan penolakannya terhadap pendudukan dan tetap mempertahankan kedaulatannya.

Tanah – tanah HGU berskala besar sudah mendominasi wilayah perhutanan dan pertambangan. Begitu menggiurkannya bisnis spekulan tanah ini, dan tanpa ada pengawasan ketat maupun sanksi berat, telah mengakibatkan puluhan ribu hektar tanah di perkotaan maupun di pedesaan kini berada di tangan yang terhormat mereka Tuan dan Puan Pemilik Modal.

Tak hanya itu kedaulatan kedaulatan UUPA juga dipertanyakan. Kondisi kelaparan lahan bagi petani dan masyarakat yang menggantungkan hidup dari alam semakin memperjelas lemahnya konsep kedaulatan tanah bagi masyarakat kelas bawah. Para petani kecil, buruh bagi hasil panen, serta masyarakat yang menggantungkan hidup dari alam adalah subyek yang dirugikan dalam kasus kapitalisasi modal. Mereka harus merelakan lahan garapannya hilang, dan kemudian mau tidak mau harus menerima nasib untuk menjadi buruh dalam perusahan tersebut.

Konflik agraria adalah situasi yang harus dihadapi Indonesia saat ini. Kondisi masyarakat yang heterogen dengan berbagai latar belakang adalah anugerah. Tetapi, apabila tidak diatur dengan sebaik-baiknya maka akan menjadi sebuah bencana.

Kolaborasi dan sikap persatuan antar lapisan masyarakat perlu dijunjung tinggi dalam penyelesaian konflik agraria dengan tetap memegang teguh pada UUD 1945 dan Pancasila disamping juga UUPA. ‘

Kredibilitas pemerintah sebagai lembaga yang menaungi masyarakat sangat dinanti kehadirannya dalam manajemen penyelesaian konflik agraria. Kolaborasi tokoh adat, komunitas peduli masyarakat adat, dan pemerintah perlu dilakukan sebaikbaiknya untuk penyelesaian masalah ini. Peran aktif pemerintah adalah kunci solusi permasalahan ketimpangan pemilikan dan penguasaan lahan.

Ahmad Pazli
Ahmad Pazli
in here the next level of me
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.