Jumat, Maret 29, 2024

Pandemi, Konflik Agraria, dan Krisis Pangan

Aprillia Wahyuningsih
Aprillia Wahyuningsih
Aktif di Forum Kajian dan Kepenulisan Hukum FH UII

Pandemi yang melanda sebagian besar negara di dunia hingga saat ini masih terus terjadi. Tantangan setiap negara dalam menghadapi penyebaran Covid-19 ini tentu bermacam-macam. Pemerintah melakukan berbagai cara melalui kebijakannya agar dapat menanggulangi segala kemungkinan-kemungkinan buruk dari pandemi ini.

Keadaan seperti ini masih diperkirakan akan berlangsung selama beberapa bulan ke depan. Dampak dari adanya pandemi ini sangat terasa diberbagai aspek kehidupan, terutama ekonomi.

Beberapa perusahaan dan kantor-kantor memutuskan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau beberapa menggunakan istilah ‘dirumahkan’. Tindakan tersebut tentu memacu adanya penurunan dalam pertumbuhan ekonomi. Bahkan Menteri Keuangan yakni Sri Mulyani telah mengatakan bahwa pada tahun 2020 pertumbuhan ekonomi akan turun ke 2,3 persen, bahkan dalam skenarionya yang lebih buruk, bisa mencapai negatif 0,4 persen.

Pertumbuhan ekonomi yang saat ini menurun dan di sisi lain kebutuhan pangan semakin meningkat, terutama beras. Pada lima tahun terakhir rata-rata Indonesia mengimpor beras sejumlah 1,174 juta ton per tahun, namun di tahun 2020 ini pengamat pertanian Bustanul Arifin memprediksi akan ada impor beras hingga 2 juta ton. Beras yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat akan mengalami defisit di berbagai daerah. Adapun hal ini menjadi sebuah pemicu pemerintah harus mengimpor bahan pangan dari negara lain.

Terancam Krisis Pangan

Organisasi Pangan Dunia (Food Agriculture Organization/FAO) memprediksikan virus Corona (COVID-19) bisa berdampak pada krisis pangan dunia, salah satunya di Indonesia. Bahkan, hal ini juga telah dikatakan oleh Presiden Joko Widodo yang menyatakan bahwa beberapa daerah telah mengalami defisit pasokan bahan pangan. Apabila keadaan defisit pangan yang mengakibatkannya kekurangan jumlah ketersediaan pangan di Indonesia ini tidak segera ditangani, maka akan terjadi krisis pangan.

Indonesia selama ini masih menjadi salah satu negara importir beras atau bahan pokok lainnya. Namun, dengan adanya pandemi ini proses impor tentu saja terganggu karena kebijakan pembatasan kegiatan yang hampir dilakukan seluruh negara di dunia guna mencegah penyebaran virus.

Indonesia yang merupakan negara agraris seharusnya dapat mengatasi kekurangan ketersediaan beras dan bahan pangan lainnya. Namun, ternyata hingga saat ini masih harus mengimpor dari negara tetangga yakni Thailand dan Vietnam. Hal tersebut terjadi karena Indonesia mengalami penurunan dalam produksi beras.

Produksi beras pada 2016 hingga 2019 selalu mengalami penurunan, pada 2019 sendiri produksi beras menurun sebanyak 2,6 juta ton dibandingkan pada tahun 2018. Meskipun kebutuhan masyarakat tidak terbatas dengan beras saja, namun yang menjadi sorotan adalah bahwa beras merupakan kebutuhan yang pokok bagi masyarakat Indonesia.

Penurunan produksi beras ini berbanding lurus dengan berkurangnya lahan pertanian. Pada setiap tahunnya 200 hektar lahan pertanian produktif di Indonesia dialihfungsikan. Apabila tanah pertanian dari waktu ke waktu selalu mengalami penurunan dan terus bergantungnya kehidupan masyarakat dengan beras tentu hal ini akan mengancam mengenai ketahanan pangan di Indonesia dan kemungkinan terjadi krisis pangan.

Konflik Agraria Terus Terjadi 

Menurunnya lahan pertanian merupakan akibat dari adanya pengalihan fungsi lahan yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan alasan guna kepentingan umum dan kebutuhan sarana prasarana yang mengakibatkan beberapa lahan pertanian harus digusur dan digunakan untuk pembangunan infrastruktur atau bahkan lahan pertambangan.

Seperti halnya yang terjadi saat pembangunan bandara di Kulonprogo pada tahun 2017 dan bahkan kini 23 persen dari 18 juta hektare lahan layak tanam terancam konsesi batu bara. Dalam pembangunan infrastruktur dan pembukaan lahan tambang tersebut sering kali menimbulkan konflik agraria baik konflik horizontal maupun konflik vertikal, hingga saat ini Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2019 terjadi 279 kasus konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia.

Adapun hal lain yakni aktivitas pertambangan juga seringkali menjadi permasalahan bagi lahan pertanian. Hal tersebut terjadi karena tambang mengancam kualitas air yang mana digunakan untuk pengaliharan lahan pertanian hingga mempengaruhi hasil panen yang menurun.

Sehingga tidak heran apabila para petani melakukan berbagai cara untuk terus mempertahankan tanahnya. Cara tersebut dilakukan dengan aksi demonstrasi hingga mengajukan gugatan ke ranah peradilan. Salah satunya yakni yang dilakukan oleh sekitar 1.500 warga Kecamatan Puncu, Kediri demo menuntut kejelasan lahan Garapan di Perhutani Kediri, pada Januari 2020.

Pemerintah dan masyarakat luas seharusnya mulai menyadari begitu pentingnya ketersediaan lahan pertanian. Petani menanam padi maupun berbagai macam tanaman bukan hanya semata-mata untuk kepentingan petani sendiri, namun juga untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat luas.

Oleh karena itu, di tengah pandemi dan keadaan serba sulit petani merupakan unsur yang diutamakan untuk mengamankan ketahanan pangan. Namun, konflik agraria di lahan pertanian hingga kini masih terus terjadi . Hal ini juga tentu kontradiktif dengan rencana pemerintah yang akan mencetak sawah seluas 900.000 hektar di Kalimantan Tengah, sedangkan masih banyak petani yang juga berkonflik dengan negara untuk mempertahankan lahan pertaniannya di berbagai daerah di Indonesia.

Pemerintah dengan segala kebijakannya dalam membangun infrastruktur yang mana dianggap sebagai penunjang kebutuhan masyarakat baik ekonomi maupun sosial.  Di sisi lain ada hal yang cenderung dilewatkan yakni di mana pemerintah juga menggunakan atau melibatkan tanah pertanian yang produktif.

Infrastruktur merupakan suatu kebutuhan, namun melindungi lahan pertanian yang produktif adalah wujud perlindungan terhadap kehidupan seluruh rakyat. Hal tersebut juga merupakan wujud realisasi cita-cita Negara Indonesia guna melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Selain itu, sebagai pihak dalam  Perjanjian Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya sudah seharusnya Indonesia memiliki kewajiban hukum untuk mewujudkan hak atas pangan bagi seluruh rakyatnya.

Hingga saat ini lahan pertanian yang tentu dibutuhkan secara jangka panjang masih saja terkena penggusuran saat akan melakukan pembangunan infrastruktur atau pembukaan lahan yang lain. Oleh karena itu, pemangku kebijakan dalam membuat suatu regulasi dituntut lebih jeli lagi dalam analisis jangka panjang.

Dalam konsep Reforma Agraria mengenal dengan konsep policy and regulation reform, yang mana berkenaan dengan pengaturan kebijakan dan hukum yang berpihak pada rakyat banyak. Sehingga nantinya produk hukum yang dibuat dapat membatasi penggunaan lahan pertanian produktif guna pembangunan infrastruktur, yang mana tidak ada lagi alih fungsi lahan dengan sia-sia tanpa adanya perhatian terhadap sektor lain.

Peran masyarakat juga dibutuhkan dalam menjaga ketahanan pangan ini, yakni dengan tidak bergantung pada kebutuhan beras dan mengganti makanan pokok bersumber pada bahan lain seperti halnya Umbi-umbian, Jagung dan Sagu.

Aprillia Wahyuningsih
Aprillia Wahyuningsih
Aktif di Forum Kajian dan Kepenulisan Hukum FH UII
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.