Politik perebutan kekuasaan kini tambah diminati. Ada sebagian dari mereka, yang telah mengalir darah politik dari orang tua hingga leluhurnya. Ada pula sebagian dari lainnya, yang terbentuk secara natural oleh alam demokrasi Indonesia. Apapun itu, kursi kekuasaan begitu menawan. Tentu dengan segala rupa kepentingan dan tujuan dari para pemburu kekuasaan.
Ada akademisi yang kemudian menjadi seorang politisi, seperti Anies Baswedan. Ada pula pengusaha yang terjun bebas ke gelanggang politik, seperti Sandiaga Uno. Ada juga seorang Walikota, kemudian menjadi Gubernur, dan dalam waktu relatif singkat menjadi Presiden. Begitulah narasi para penguasa di negeri ini. Yang lama digantikan dengan yang baru. Begitupun yang tua digantikan oleh yang muda.
Kegaduhan selalu membersamai setiap suksesi kepemimpinan politik. Saling menjatuhkan, dan jegal menjegal kemudian hal yang semakin dianggap lumrah. Padahal itu tidak baik jika ditonton para pemuda, penerus estafet kemajuan bangsa. Harga diri dikorbankan, air ludah yang terlanjur diucapkan tanpa malu dijilat kembali, segitu berhargakah kekuasaan di negeri ini?
Politic is truth, politik adalah kebenaran. Sampai kapanpun, pertarungan itu akan terjadi. Selama tidak ada narasi tunggal yang bisa diterima oleh semua rakyat, maka jangan heran jika setiap kontestan mengajukan kebeneran masing-masing. Ada sebagian berlindung di balik narasi Bhineka Tunggal Ika. Ada pula yang menggunakan dalil agama untuk memaksakan kepentingannya. Segitu mahalkah harga politik di negeri ini?
Lalu dimana letak estetikanya jika jabatan politik itu suatu seni yang mahal harganya? Jika ditarik dalam koridor politik sebagai pengabdian, tentu mahal sekali rasanya untuk mengabdi di negeri sendiri. Mahal disini tidak saja persoalan mengenai uang. Lebih jauh meliputi perkara mengenai nurani, akal sehat, hingga harga diri. Betapa sering, semua marwah dari seorang diri manusia itu digadaikan hanya untuk kursi jabatan yang sifatnya sementara.
Politic for money, money for more politic, more politics to more money. Barangkali jika masih ada sebagian dari tembok Borobudur masih kosong, bolehlah kalau digambar sebuah relief dengan simbol satu kursi sama dengan dua keping uang, dua keping uang lalu menjadi dua kursi, dan dua kursi sama dengan empat keping uang., dst.
Kondisi tersebut tentu tidak akan berakhir sampai seluruh sumber daya alam Indonesia sudah terkuras habis. Atau penguasaan terhadap segala hal yang mencakup hajat hidup orang banyak telah dikuasai oleh segelintir manusia. Tentu kalau sudah begitu Pemerintah tidak bisa apa-apa. Mungkin masih bisa melakukan, namun perannya sungguh terbatas. Maka ketika itu, jabatan publik, sekaliber kursi Presiden sekalipun hanya pajangan saja.
Tentu hal ini menimbulkan dilema. Pada satu sisi, kita menginginkan kursi politik itu murah, sehingga tidak menimbulkan konsekuensi transaksional dibalik setiap jabatan yang diraih. Di sisi lain, apalah arti kekuasaan itu, jika otoritasnya begitu terbatas. Tentu logika dibatasi disini muncul ketika terjadi perubahan tatanan sosial, hingga gencarnya privatisasi dalam beberapa sektor strategis. Indikasi seperti ini dengan mudah ditemukan. Ketika pemerintah tak berdaya dihadapan logika kapital.
Pada tahun 2045, Indonesia akan mengalami puncak kemegahan. Pembangunan, hingga kesejahteraan mengalami capaian yang luar biasa. Meski pada saat yang bersamaan, cadangan kekayaan alam Indonesia tinggal sedikit. Di atas tanah subur telah berdiri dengan kokoh beton-beton industri, kompleks perumahan mewah dan jalan tol. Orang kaya semakin banyak, namun sumber daya semakin terbatas. Orang miskin lari ke belantara, barangkali menjadi pengembara. Sedangkan orang kaya akan berebut sumber daya dengan bengis, sebagaimana saat ini orang berebut kursi kekuasaan. Pada saat itu, terjadi logika terbalik. Kekuasaan dalam konteks jabatan politik tidak lagi ada harganya. Sedangkan perebutan yang mahal harganya adalah dalam konteks sumber daya, seperti ruang kota, pangan, air dan lain sebagainya.
Mau jadi politisi? Tunggu kursinya murah saja.