Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2018 telah selesai dilaksanakan. Pilkada yang menelan anggaran negara sebesar 15,6 Trilun tersebut dapat dikatakan berjalan dengan baik dan sukses.
Perhelatan politik dalam rangka mencari pemimpin tahun 2018 dikuti oleh 520 calon kepala daerah di 171 daerah. Pilkada 2018 pada awalnya digadang-gadang oleh banyak analis politik akan berjalan dengan sengit bahkan bisa meruncing.
Analisis tersebut muncul dengan mengkaitkan bahwa hasil Pikada 2018 ini akan berkaitan dengan Pilpres 2019 dengan pertarungan tiga kubu politik nasional (Demokrat, PDIP dan Gerindra). Maka dari itu setiap Partai Politik (Parpol) yang bertarung di Pikada 2018 ini akan “mati-matian” berusaha memenangkan jagoanya.
Hal di atas bukan tanpa alasan, diantara 171 daerah yang ikut dalam Pilkada 2018, 17 diantaranya diikuti oleh daerah tingkat Provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten. Diantara 17 Provinsi yang melaksanakan Pilkada diantaranya adalah lumbung suara nasional, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatra Utara dan Sulawesi Selatan.
Berdasarkan sebaran jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) dari 171 daerah peserta Pilkada 2018 adalah berjumlah 152.058.452 DPT atau 80 persen dari suara nasional. Artinya jika ada partai politik yang bisa memenangkan jagoanya di 5 daerah tersebut maka bisa dikatakan mendapat golden ticket sukses di Pileg dan Pilpers 2019.
Lalu, dari analisis dan perhitungan diatas apakah bisa ditarik suatu hipotesis bahwa jika suskses di Pilkada 2018 ini maka akan memberikan gambaran sukses di Pileg dan Pilpres tahun 2019. Untuk menjawab hipotesa tersebut, mari kita baca fakta dan realita dari hasil Pilkada 2018.
Tidak ada partai dominan di 5 daerah lumbung suara nasional
Dari hasil quick count yang dikeluarkan mayoritas lembaga survey yang kredibel menunjutkkan bahwa dari lima daerah lumbung suara nasional dimenangkan oleh beberapa partai pendukung yang berbeda.
Artinya tidak ada partai yang dominan yang mempuyai suara mayoritas di lima daerah tersebut. di pulau Jawa, minilal tiga partai pengusung yang berbeda (Demokrat, PDIP dan Gerindra) memenangkan calonya di masing-masing daerah.
Di Jawa Timur Pasangan Calon (Paslon) yang diusung oleh koalisi Partai Demokrat, Golkar dan Nasdem unggul dari Paslon yang diusung Koalisi PDIP, Grindra, PKB dan PKS . di Jawa Tengah Paslon yang diusung oleh PIDP, Demokrat, PPP dan Nasdem keluar sebagai pemeneng dari Paslon yang diusung Geridra, PAN, PKB dan PKS. di Jawa Barat pasangan yang di dukung oleh koalisi PDIP, koalisi Demokrat, dan koalsi Gerindra kalah melawan koalisi dari PKB, PPP, Nasdem dan Hanura.
Lalu di Sumatera utara paslon yang didukung oleh Koalisi Gerindra keluar sebagai pemenang mengungguli Paslon yang diusung koalisi PDIP bersama Demokrat. terakhir di Sulawesi selatan paslon yang didukang oleh koalisi PDIP, PAN dan PKS keluar sebagai pemenang mengungguli Paslon yang diusung Koalisi Gerindra, koalisi Demokrat dan koalisi Golkar..
Jika kita mengambil menarik contoh dengan mengambil tiga Parpol yang digadang- gadang akan menjadi kiblat politik nasional di tahun 2019 yakni PDIP, Demokrat dan Gerindra. Fakta diatas menggambarkan tidak ada satu partai politik memenangkan paslonya lebih dari dua daerah tanpa berkoalisi dengan partai lainnya.
Koalisi masih terlihat cair
Dari 17 daerah Provinsi dan 133 Kabupaten dan Kota. Tidak adak koalisi yang bersifat tetap. Sebagai contoh di pulau jawa. di Jawa Timur PDIP berkolaisi dengan Gerindra bersaing dengan Koalisi Partai Demokrat.
Di Jawa Tengah Partai Demokrat berkoalisi dengan PDIP dan berhadapan dengan paslon yang diusung Gerindra. Terkahir di Jawa Barat, Sumatra Utara dan Sulawesi Selatan Demokrat, PDIP dan Gerindra membentuk koalsi sendri.
Hal yang menarik dari koalisi diatas, diatara Partai Demokrat, PDIP dan Gerindra hanya bisa menang pada satu daerah provinsi dari 5 daerah lumbung suara nasional. Diantaranya Demokrat di Demokrat di Jawa Timur, PDIP di Jawa Tengah dan Gerindra di Sumatra Utara.
Faktor figur
Apapun analisis yang dibuat oleh analis dan pakar politik, tidak bisa mengenarelisir bahwa menang di Pikada 2018 berarti meneng di Pileg dan Pilpres 2019. Masyrakat kini sudah mulai cerdas dengan memilih berdasarkan firgur. Jika Parpol tertentu menang pada Pikada 2018, bukan berarti masyarakat tersebut memilih Parpol atau koalisi parpol tersebut, melainkan Paslon yang di usung Parpol tersebut dianggap masyarakat baik dan mampu memimpin dareahnya.
Bagaimana hungung-kait dengan Pileng dan Pilpres 2019? Tergantung pada masing-masing parpol dalam mengjhadirkan calon legislatif dan calon presiden yang benar-benar dapat meyakinkan masyrakat bahwa meraka yang memmpunyai kapabilitas dan layak untuk dipilih untuk menjadi wakil rakyat dan pemimpin untuk 5 tahun mendadang.
Pada akhir tulisan ini penulis ingin sedikit memberikan alternatif sudut pandang politik bagi pembaca. Bahwa ditahun politik akan banyak strategi penggiringan persepsi dalam rangka mempengaruhi ruang sadar masyarakat untuk selalu mengarahkan pada partai politik tertentu. Dengan hasil yang telah kita lihat pada Pilkada 2018 ini tidak ada satu partai yang dominan. Ada satu partai menang di satu daerah lalu bisa kalah di darah lainya.
Selanjutnya partai pemenang tersebut juga melakukan koalsisi bersama partai lainya. Sebagai penutup kita mendapat kesimpulan hasil dari Pilkada 2018 tidak bisa menjadi gambaran hasil di Pileg dan Pilpres 2019.