Sabtu, April 20, 2024

Wiranto Adalah Korban Orde Baru

Ahmad Tamami
Ahmad Tamami
Koordinator Umum: Komite Masyarakat Sipil Pengawal Demokrasi

Pada saat itu saya sedang menikmati suasana malam yang harmoni bersama segelas kopi adukan sendiri. Walaupun kopi buatan saya tidak nomero uno, tapi kopi buatan sendiri terkesan lebih praktis bahkan ekonomis.

Bukan karena pelit, atau ingin merencanakan agar keuangan tidak defisit seperti yang dialami negara kita diakhir juli 2019 lalu, yang tercatat mengalami defisit Rp. 183,7 triliun karena tak sesuai rencana, menurut penjelasan Menteri Keungan Sri Mulyani. Bagi saya pilihan tersebut menjadi alternatif saat kita hanya memilki 2 hari tanggal muda dan selebihnya merupakan tanggal tua.

Tapi entah apa yang merasuki fikiran saya pada malam itu, hingga melupakan kopi yang saya buat hanya karena sebuah berita. Berita yang sungguh membuat terkejut dan terheran-heran, karena saya belum pernah membaca berita seperti itu.

Dengan tidak grasak grusuk -anjuran Wiranto kepada Jokowi–agar tidak ikutan ditunggangi kelompok radikal perlahan-lahan saya pun mencermati isi berita tersebut. Ternyata Wakil Komisi III DPR RI Erma Suryani minta Presiden untuk mencopot Wiranto dari jabatan Menko Polhukam-nya. Seperti yang bisa dibaca di tirto.id.

Saya pun menjadi penasaran, ini ada apa ya? Berangkat dari rasa penasaran itu, saya pun melanjutkan dengan mengetik kata Wiranto di pencarian google Hp saya. Akan tetapi hasilnya malah membuat semakin bingung, karena makassar.tribunnews.com memberitakan kalau GAM juga meminta Jokowi mencopot Wiranto sebelum pelantikan. Tapi GAM yang dimaksudkan disini bukan Gerakan Aceh Merdeka, melainkan Gerakan Aktivis Makasar.

Daripada penasaran, saya memutuskan untuk bertanya kepada teman saya yang selalu up to date tentang berita nasional. Tapi anehnya, teman saya malah emosi gak ketulungan sewaktu menjawab persoalan yang saya ajukan. Persis kayak Jokowi ngomong “saya akan lawan” saat kampanye pilpres kemarin.

Teman saya itupun langsung menunjukkan laman berita dari suara.com yang judulnya “Bebankan Pemerintah, Wiranto Minta Pengungsi Gempa Ambon Kembali Kerumah”. Tak sampai dua menit dia menunjukkan berita yang lain dari KOMPAS.com, “Wiranto Sebut Kerusuhan Wamena Dimotori OPM dan Benny Wenda”. Yang terakhir teman saya kasi liat berita dari detikNews, “Wiranto soal Mahasiswa Tewas: Jangan Terpancing, Polisi Tak Ada Maksud Membunuh.

Setelah selesai membaca berita-berita yang diperlihatkan tadi, saya lantas bertanya, kenapa rupanya lae ku?, sontak teman saya ini dengan secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya menjelaskan kegelisan yang ternyata sudah sedari dulu dipendamnya. Menurut beliau “selaku pejabat publik harus benar-benar mengerti tentang etika yang mengikatnya.

Karena komunikasi itu bukan hanya komunikatornya, bukan hanya message-nya dan medianya. Akan tetapi harus dipertimbangkan efek apa yang ditimbulkan dari pernyataan itu. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, dalam komunikasi itu ada faktor noise (gangguan), sehingga pada akhirnya itu berpotensi menjadi bola liar yang lazimnya disebut opini public.

Yang pada gilirannya bisa menjadi sesat dan menyesatkan”. Ujar si Lae. Selain itu, beliau juga menganggap bahwa pernyataan- pernyatan Wiranto diatas seperti Politik “buang badan”, seolah mengelabui publik agar tidak membebankan permasalahan-permasalahan yang terjadi kepada pemerintah selaku penyelenggara negara”.

Tak cukup sampai disitu, untuk mengurangi kegelisahan nya, teman saya pun memberikan pernyataan penutup terkait pembicaraan kami tentang Wiranto ini. “Katanya kabinet kerja, koalisi Indonesia Hebat, negara luar muja muji kepemimpinan mereka. Tapi, kenapa negara hebat bisa kecolongan OPM, Benny Wenda, kelompok radikal, dan intoleran?aneh kan?” Tutup teman saya.

Saya tidak menjawab sepatah katapun atas kesimpulan tersebut. Saya hanya bergumam didalam hati “kenapa dia bisa grasak grusuk mengambil kesimpulan tentang Wiranto?, bahkan anggota DPR RI tadi kok tega ya main copot-copot aja, apa lagi bang Fadhly Zon, berulang kali dimuat media yang berbeda, mengatakan kalau Wiranto itu ngawur bahkan dikatain mabok. Entah apa yang merasuki mereka bertiga, padahal Wiranto itu adalah orang yang pertama kali membangun Hati Nurani Rakyat di negara ini.

Demi Wiranto, saya menghabiskan malam saya untuk menuliskan penjelasan tentang apa yang sebenarnya dialami oleh beliau, yang saya tujukan kepada siapa saja yang berfikiran sama dengan mereka yang telah saya sebutkan diatas.

Perlu untuk kita ketahui bahwa Wiranto yang dulu adalah ajudan Presiden dimasa Orde Baru adalah korban dari Orde Baru itu sendiri.

Begini, kita sekarang berbicara tentang jenis kepribadian manusia.

Seorang ahli mengatakan jenis kepribadian ini adalah Homo Sovieticus, ada juga yang menyebutnya dengan kata yang tidak enak, Sosiolist Mentality dan Sosialis Spirit. Ketiganya adalah istilah yang memiliki makna yang identik. Saya pakai istilah Homo Sovieticus saja.

Homo Sovieticus

Kita pasti tahulah bahwa istilah Soviet itu dikenal orang-orang dari negara Uni Soviet yang pernah ada pada tahun 1922-1991 di Eurasia. Tapi Uni soviet kini telah hancur dan berubah menjadi negara-negara baru. Dan negara Soviet juga dikenal dengan sistem pemerintahannya yang tiran atau otoritarianisme.

Jadi, Homo Sovieticus itu adalah hasil dari penelitian Milous pada tahun 1991 yang meneliti pada negara-negara dunia ketiga. Homo Sovieticus ini merupakan kepribadian masyarakat yang mengalami pikiran mereka dikontrol oleh penguasa (regimen) dalam waktu yang lama. Dengan kata lain, pemimpin yang otoriter itu konon pula memimpin dalam jangka waktu yang lama akan membentuk kepribadian Homo Sovieticus.

Dengan menggunakan teori Homo Sovieticus sebagai rujukan, maka kita akan bisa membuat kesimpulan bahwa manusia Indonesia juga telah dibentuk oleh pemerintahan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. Jadi, menurut Jalaluddin Rakhmat(2000:142) jika istilah Homo Sovieticus itu kita nusantarakan maka akan menjadi Homo Orbaicus. Sekarang kita gunakan yang asli nusantara saja.

Istilah Homo Orbaicus sebenarnya merupakan buah pena dari Jalaluddin Rakhmat yang akrab disapa kang jalal. Homo Orbaicus ini menurut kang jalal dihubungkan dengan istilah psikologi schizophrenia yang berarti otak terbelah.

Ada beberapa gejala yang dapat dilihat, apabila terjangkit virus Homo Orbaicus ini. Saya hanya menyajikan dua saja, yaitu Structure of Organized Lying, dan Prolonged Infatilism.

Structure of Organized Lying

Structure of Organized Lying atau struktur kebohongan yang terorganisir. Sebagai contoh, yang dimaksudkan dengan Structure of Organized Lying adalah mereka yang mempunyai dua bahasa, yaitu bahasa didepan umum dan bahasa dikalangan terbatas. Bahasa yang dipergunakan sebenarnya sama saja, tetapi strukturnya, kata-katanya, fasiologinya, dan kosakatanya bisa berbeda.

Ada seorang peneliti menyebutkan terkait penggunaan dua bahasa itu. Peneliti itu menyebutkan dua bahasa yang berbeda itu sebagai bahasa pejabat dan bahasa interpersonal. Cobalah kita analisis kata-kata pejabat dalam Koran-koran atau media online dengan bahasa yang kita gunakan sehari-hari.

Para pejabat itu punya berbagai kata-kata yang artinya berbeda dengan artinya yang biasa kita kenali. Misalkan dalam percakapan sehari-hari biasa kita sebut “kejahatan” tetapi dikalangan pejabat, itu disebut dengan “kesalahan prosedur”. Makanya sewaktu mahasiswa berdemonstrasi beberapa hari yang lalu juga keliru, ketika mereka dihalangi untuk masuk ke gedung Dewan Perwakilan “Rakyat”, mereka marah sambil mempertanyakan, kenapa mereka yang notabene nya adalah rakyat biasa tidak boleh memasuki gedungnya sendiri.

Mahasiswa itu tidak sadar bahwa kata “rakyat” itu diartikan oleh pihak keamanan sebagai pejabat, sedangkan mahasiswa yang rakyat biasa itu tidak memiliki kewenangan untuk masuk kesana. Untuk itu, saat-saat menjelang pemilu kemarin pernyataan Wiranto yang dikutip oleh investor.id yang berjudul “Wiranto:

Pemberantasan Hoaks demi Pemilu Aman” ternyata berbeda dengan pemahaman kita. Padahal yang mau diberantas teroris kok. Buktinya pada tanggal 20 maret pak Wiranto yang jelasin sendiri seperti yang diberitakan CNN.Indonesia,“Saya kira (hoaks) ini teror, menteror psikologi masyarakat. Oleh karena itu, ya kita hadapi sebagai ancaman teror. Segera kita atasi dengan cara-cara tegas, tapi bertumpu kepada hukum”. Ujar Wiranto.

Prolonged Infatilism

Prolonged Infatilism, artinya kebiasaan kanak-kanak berlanjut hingga tua. Didalam psikoanalisis menyebutkan bahwa ada sebagian orang mengalami fiksasi. Proses dia menjadi manusia terhenti pada masa kanak-kanak tertentu.

Tetapi Prolonged Infatilism yang dimaksud kang Jalal disini adalah anak-anak yang tidak suka memikul tanggung jawab dan cendrung membebankan segala sesuatu kepada orang lain (unaccountability). Mereka bisa minta maaf tapi tidak bertanggung jawab. Prolonged Infatilism ini benar-benar menjadi penyakit pasca Orde Baru.

Prolonged infantilism ini merupakan penyakit kronis yang menggerogoti mental manusia, sehingga akan menyebabkan suatu masalah akan berlarut lama akibat tidak adanya rasa tanggung jawab dalam kehidupan sosial nya.

Makanya, kerusuhan yang terjadi di Papua yang disoroti adalah orang-orang yang diduga sebagai dalangnya. Tanpa memperhatikan kesiapan negara dalam menjalankan tupoksinya untuk menjamin rasa aman bagi rakyatnya. Ya, akar masalahnya adalah karena kejahatan, bukan berupaya mencari tahu kenapa kejahatan itu bisa terjadi. Apa lagi sampai mengakui adanya kekurangan dari pihak penyelenggara negara dalam mengantipasi kejahatan itu sendiri.

Sebenarnya bukan hanya Wiranto, tapi Kepala Staf Kepresidenan juga sudah terjangkit, kemarin kan sempat mentweet tentang siapa yang bertanggung tanggung jawab atas karhutla yang melanda wilayah Indonesia yang beliau nisbahkan kepada Allah SWT., padahal dalam ilmu logikanya disebut reification atau menganggap real sesuatu yang sebenarnya hanya ada dalam fikiran kita.

Oleh sebab itu, pernyataan “ini semua takdir Allah” adalah pemikiran yang kita sebut dengan Intellectual cul de sac dalam kategori Fallacy of Misplaced Concretness atau kesalahan berfikir yang muncul karena mengkongkretkan sesuatu yang abstrak.

Bukan hanya tataran elit saja, dikalangan masyarakat umum juga bisa terjangkit virus Homo Sovieticus atau Homo Orbaicus ini. Kan tadi penelitian Milous bukan perorangan saja, tapi masyarakat yang hidup dinegara ketiga. Ya bisa saja saya, teman saya, maupun bang Fadhly Zon serta sebagian besar rakyat Indonesia juga sudah terjangkit virusnya. Yang saya maksudkan “rakyat” sesuai dengan pemahaman umum. Bukan seperti contoh yang diatas tadi.

Jadi, saya meminta berdasarkan hati nurani, jangan terus-terusan hujat Wiranto karena beliau juga korban. Hati nurani Wiranto itu baik kok, buktinya saat menjadi capres pada tahun 2004 yang lalu visi beliau dirangkum dalam 5 agenda penyelamat bangsa, yaitu penegakan hukum, perlindungan HAM, keamanan nasional, pemerintahan yang baik, dan pembangunan ekonomi yang terarah serta perbaikan sistem pendidikan nasional. Seandainya Orde Baru tidak ada, pastilah keinginan hati nurani rakyat sudah lama terpenuhi.

Ahmad Tamami
Ahmad Tamami
Koordinator Umum: Komite Masyarakat Sipil Pengawal Demokrasi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.