Minggu, November 24, 2024

Tragedi 11/9 dan Refleksi Wajah Islam Abad 21

MK Ridwan
MK Ridwan
Alumnus Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif, Awardee MAARIF Fellowship (MAF) MAARIF Institute for Culture and Humanity, Alumnus Qur'anic Studies IAIN Salatiga
- Advertisement -

Islam mengawali babak baru abad ke-21 dengan sejarah kelam, pada tanggal 11 September 2001 terjadi tragedi berdarah dengan runtuhnya menara kembar WTC (World Trade Centre) gedung sentral ekonomi Amerika Serikat, yang kemudian disebut-sebut didalangi oleh kelompok Islam ekstremis, Al-Qaeda dengan Usama bin Laden sebagai pemimpinnya.

Aksi tragis ini juga dibarengi dengan penyerangan markas pertahanan Pentagon di Washington DC dengan menggunakan pesawat komersial, peledakan bom mobil di dekat Kantor Departemen Luar Negeri AS, dan aksi pembajakan Boeing 757 United Airlines yang jatuh di Shanksville Penssylvania. Kejadian yang sangat rapi ini terjadi hampir secara bersamaan dalam satu hari dan akhirnya dikenal dengan istilah Black Tuesday.

Terlepas dari agenda setting dan kontroversikejadian yang dahsyat ini mengagetkan jagat manusia di seluruh belahan dunia dan mengutuknya sebagai perbuatan keji yang tidak berperikemanusiaan. Merenggut ribuan nyawa orang-orang yang tidak berdosa tanpa mengetahui ujung pangkal persoalannya.

Tidak hanya kehancuran material dan luka fisik, tetapi juga telah menciptakan efek persepsi, psikologis dan simbolik yang hebat dalam skala global. Walau telah berlalu selama 18 tahun, namun duka, luka, trauma dan cerita lara masih sangat membekas dalam ingatan. Peristiwa ini kemudian menjadi tragedi multidimensi dari sisi kemanusiaan, sosial, politik, ekonomi dan keagamaan.

Peristiwa besar ini juga menandakan babak baru wajah Islam di mata Internasional. Pasalnya, pasca tragedi ini Islam selalu diidentikkan sebagai agama teroris, dan al-Qur’an adalah buku yang mengajarkan seseorang untuk berperang dan membunuh. Tidak sedikit seorang Muslim kemudian mendapatkan perlakuan diskriminatif dan kebencian yang mendalam dari komunitas non-Muslim di Amerika dan dunia Barat pada umumnya. Inilah titik terbesar faktor meluasnya islamophobia.

Penyematan label terorisme pada tubuh Islam menambah pilu dan membuat suram wajah Islam abad 21. Sebelumnya, wacana terorisme hanyalah wacana lokal, khususnya di daerah-daerah yang terlibat konflik. Akan tetapi pasca tragedi 11/9 dan deklarasi “War on Teror” yang dikumandangkan oleh Presiden George W. Bush, wacana terorisme seketika berubah menjadi isu global.

Perang melawan terorisme yang dikomando oleh Amerika mulai menyebar di seluruh penjuru dunia. Wacana War on Teror pada akhirnya mengkonstruksi dunia, membentuk identitas, norma dan kepentingan konspirasi internasional. Konstruksi inilah yang kemudian semakin menyudutkan Islam dan Muslim sebagai komunitas dan entitas yang paling dicurigai dan harus diawasi dalam setiap gerak-geriknya.

Kondisi ini memberikan gambaran nyata bahwa Islam abad 21 dihadapkan setidaknya pada dua ancaman serius, selain dihadapkan pada serangan atau invasi, suatu ancaman yang bersifat praktis, yakni dampak negatif dari aksi radikalisme-terorisme, yang memunculkan islamofobia di negara-negara Barat bahkan telah merambah ke dunia Timur.

Sehingga Islam dicerminkan sebagai unsur yang mengandung kebencian, kekerasan, pembunuhan, peperangan, dan bahkan pembantaian atas komunitas lain (the others), di sisi yang lainnya Islam dihadapkan pada problem keagamaan yang menteror hati nurani manusia atas realitas ketertindasan di mana konflik Palestina yang telah menahun, mencerminkan kekalahan umat Islam terhadap sistem tatanan sosio-politik global, di samping karena ketertinggalaan dalam berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Di sinilah kompleksitas wajah Islam yang ambigu di abad 21, menampilkan dua sisi mata uang yang saling bertolak belakang dan tak terpisahkan. Islam yang menghasilkan nilai-nilai humanitas dan memiliki spirit pembebasan, namun terjebak pada paradoks arogansi dan otoritarianisme yang membelenggu dan membebani penganutnya. Islam yang disibukkan dengan konflik dan terorisme, tetapi menderita keterbelakangan, ketertindasan, kemiskinan dan imperialisme budaya.

- Advertisement -

Hal yang tidak kalah penting untuk memperlihatkan wajah Islam abad 21 adalah lahirnya bentuk ancaman kemanusiaan yang lebih besar dari sektor ekonomi-politik, yaitu menguatnya sistem ekonomi politik neo-liberalisme di era yang disebut sebagai ‘globalisasi modal’. Ancaman globalisasi kapital adalah bentuk menguatnya paham ekonomi dan politik yang berwatak “persaingan bebas”, merupakan kembalinya paham kolonialisme dan imperialisme wajah baru.

Rakyat kecil dan umat Islam akan semakin tertindas dan mengalami pemiskinan total. Batas-batas kemanusiaan mulai meluntur dengan adanya tuntutan globalisasi yang membawa Islam secara sistematik menjadi pecundang karena differensiasi fungsional dan fragmentasi kultural yang telah menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan.

Menghadapi tantangan sedemikian kompleks, jangan sampai wajah Islam dihadirkan dalam bentuknya yang paliatif. Islam yang eskatologis dan melangit, Islam yang tampil sebagai “komoditi seni” yang menjadi tontonan menghibur. Islam yang hanya diperlukan dalam peringatan-peringatan tertentu yang sifatnya euforia dan seremonial, seperti bulan-bulan suci, pernikahan, dan ritual saat orang meninggal.

Dan Islam yang mengarahkan pemeluknya untuk “memberhalakan agama” dan menjadikannya candu sosial. Karena wajah Islam seperti ini hanya akan menghantarkan pemeluknya berpotensi untuk “dimabuk tuhan”. Bila “mabuk Tuhan” telah terjadi, tak jarang akan melahirkan tindakan yang tanpa ampun melenyapkan umat manusia demi kepentingan agama dan Tuhannya.

Abad 21 tengah berjalan, sejarah kelam cukup dijadikan catatan dan pelajaran. Islam sudah harus bangkit menjadi kekuatan yang membebaskan umat manusia dari ketertindasan ekonomi, politik dan kemanusiaan. Karena Islam dihadirkan bukan untuk menjadi sebuah “berhala baru”, tempat ratapan atas kesengsaraan manusia yang dipuja-puja, tetapi sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, Islam difungsikan sebagai pembina sekaligus penyempurna moral manusia dan alat perjuangan transformasi sosial.

Menghadapi kompleksitas tantangan sebagaimana di atas, apakah Islam dan kaum Muslim mampu menempatkan diri sebagai pembela kaum papa, tertindas dan marjinal dari peminggiran dan pemiskinan sistematis dan struktural globalisasi; atau justru mereka menjadi tameng dan pemberi stempel bagi pusat-pusat kekuasaan kapital yang menciptakan ketidakadilan global?

Apakah para ustadz, kiayi dan ulama beserta para penganutnya malah terjerumus ke dalam kapitalisasi agama, cenderung merealisasikan fungsi agama privat yang jauh dari realitas kehidupan, atau tampil di depan melakukan advokasi publik bagi kaum miskin dan tertindas?

MK Ridwan
MK Ridwan
Alumnus Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif, Awardee MAARIF Fellowship (MAF) MAARIF Institute for Culture and Humanity, Alumnus Qur'anic Studies IAIN Salatiga
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.