Beberapa waktu lalu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menegur belasan tayangan di televisi Indonesia. Salah satunya kepada program televisi yang memutar film The SpongeBob Squarepants Movie. Film ini dianggap memuat tayangan yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, yaitu spektakel kekerasan.
Adegan kekerasan dalam film itu yang dipermasalah oleh KPI yaitu, tokoh kelinci memukul wajah kelinci lain dengan papan, menjatuhkan bola bowling ke kepala, menghantam palu ke wajah, memukul menggunakan kayu, dll.
Belakangan, tayangan SpongeBob Squarepants banyak memicu pendapat yang kontradiktif. Dari kreatornya sendiri, film ini ditujukan kepada penonton berumur 6 sampai 11 tahun. Tetapi, banyak penonton yang menganggap bahwa film ini tidak cocok untuk anak-anak, ada juga warganet mengaku film itu baik-baik saja untuk anak, dan juga ada yang menganggap film ini lebih cerdas bila dikonsumsi oleh orang dewasa.
Seperti pernyataan Stuart Heritage dalam artikelnya “Smart Enough for Adults, Weird Enough for Kids: SpongeBob is TV Perfection” di Theguardian.com, bahwa film ini cukup menarik bagi anak-anak secara visual (gambar dengan warna-warna cerah, gerakan hiperaktif), tetapi lebih cocok untuk dewasa karena membutuhkan cukup intelektual untuk mengolah humornya.
Dalam konteks tertentu—seperti yang diharapkan oleh Muhammad Haekal di Tirto.id, bahwa KPI perlu menjelaskan landasan konkrit atas teguran tersebut—tayangan untuk anak-anak yang cenderung edukatif dan menghibur, apalagi menghadirkan tokoh binatang, adalah untuk menanamkan nilai simpati kepada anak-anak terhadap binatang.
Hal itu bisa dilihat dalam buku Amy Ratelle Animality and Children’s Literature and Film (2015), halaman 4-7. Ratelle membangun kerangkanya dari anggapan bahwa anak-anak mesti dilindungi dari sifat-sifat buruk, dan harus ditanamkan nilai-nilai yang positif, kemudian, dari sekian banyak sifat buruk itu, salah satu hal perlu diperhatikan adalah kecenderungan anak-anak untuk bersikap kasar kepada binatang lemah.
Atas kesadaran itu, sejak abad 18, banyak penulis literatur untuk anak memakai karakter binatang sebagai medium pembelajaran sekaligus menanamkan hubungan yang harmonis antara anak-anak dan binatang. Tidak heran kemudian banyak film-film untuk anak meneruskan tradisi ini, dengan menghadirkan tokoh binatang protagonis atau sebagai kawan dari tokoh utama manusia.
Dalam paradigma didaktis itu, maka suatu film yang ditujukan kepada anak-anak dengan memakai karakter binatang sebagai mediumnya, yang mengandung adegan kekerasan kepada binatang lain, seperti halnya ditekankan oleh KPI terhadap film SpongeBob, tentu tidak pas sebagai usaha memicu rasa simpati anak-anak kepada binatang.
Meskipun begitu, apakah memang tidak pantas sama sekali spektakel kekerasan untuk anak-anak pada film untuk anak?
Pada tahun 2016, saya menonton film Night and Fog (1955) sutradara Alain Resnain. Film ini melihatkan aktivitas dan bekasnya di kamp kosentrasi Nazi. Setelah menonton film ini saya selalu merenunginya dalam beberapa hari. Hal yang saya simpulkan ialah bagaimana supaya tidak ada lagi kejahatan seperti itu. Meskipun kemungkinan untuk level makro tipis, minimal saya menuntut diri sendiri untuk tidak akan pernah melakukan kejahatan.
Bahkan kemudian, saya menyadari film ini memberi efek lain pada saya, yaitu saya tidak sanggup melihat foto-foto yang mengerikan, seperti foto kecelakaan, foto bunuh diri, dll. Visual seperti itu membuat tubuh saya gemetar, sengsara. Apakah itu efek negatif atau positif akibat menonton film Resnain itu, saya belum bisa memutuskan. Tetapi yang jelas, sikap saya terhadap kejahatan menjadi tegas karena film itu.
Oleh visual dan narasi film Night and Fog yang memperlihatkan aksi dan akibat dari kekerasan dalam kamp kosentrasi itu membuat saya sangat benci sekali terhadap kekerasan atau kejahatan. Itu menjadi salah satu efek dari tayangan “kekerasan” dalam film, yaitu efek jera. Penonton menjadi jera terhadap suatu kekerasan, sehingga ada kemungkinan ia akan berada pada posisi anti atau membenahi kekerasan tersebut.
Tetapi, Night and Fog bukanlah film untuk anak-anak, dan cerita tersebut bukan pengalaman anak-anak.
Efek serupa namun membahas tentang anak-anak dapat ditemukan dalam televisi seri Black Mirror Season 4, berjudul ArkAngel (2017). Sekali lagi, film ini bukan untuk anak-anak, tetapi dapat dilihat permasalah yang persis dengan problem tayangan kekerasan yang ditujukan kepada anak-anak.
ArkAngel memperlihatkan sebuah teknologi canggih yang ditanamkan dalam otak anak. Oleh perangkat itu, orang tuanya dapat memantau apa yang dilihat mata anaknya. Dibantu oleh sebuah gawai yang terhubung dengan cip dalam otak anak itu, orang tua dapat memburamkan bagian-bagian tertentu yang dianggap tidak cocok bagi anaknya, baik itu tayangan kekerasan atau hal-hal yang membuat anaknya takut (memburamkan gambar anjing di sebelah rumahnya ketika anaknya lewat dekat anjing itu), bahkan bisa diatur secara otomatis.
Setelah hal itu berlangsung beberapa waktu, anak itu biasa menggambar adegan-adegan kekerasan, di sekolahnya. Ketika diperiksa oleh psikolog, sikap anak itu dikatakan tidak wajar, dan itu merupakan pengaruh oleh aksi orang tuanya yang menyensor “kekerasan” dalam penglihatan anaknya.
Dari paparan itu dapat ditarik bahwa, ArkAngel ingin memperlihatkan sikap orang tua yang posesif dengan menyensor bagian kekerasan dalam hidup anaknya dapat menghasilkan hal yang kontra, yaitu anaknya menjadi tidak tahu apa itu kekerasan dan menganggap “kekerasan” biasa saja.
Pada pengalaman saya atas film Night and Fog dan salah satu poin pada film ArkAngel dapat disimpulkan bahwa, untuk memahami betapa tidak baiknya kekerasan maka kekerasan itu mesti dilihat. Dengan kata lain, untuk mendefinisikan suatu kebaikan mesti dengan memperlihatkan oposisinya. Meskipun itu ditujukan untuk anak-anak barangkali perlu suatu porsi atau “bimbingan” dari orang dekatnya.