Sabtu, April 20, 2024

Siapa Sosok Guru Ranggawarsita?

Frengki Nur Fariya Pratama
Frengki Nur Fariya Pratama
Mahasiswa Ilmu Susastra Undip Semarang, Komunitas Sraddha Institute, Komunitas Sastra Langit Malam, anggota Pramuka.

Mendengar nama Ranggawarsita, kilas ingatan pasti membayang gelar agung yang disandang “Sang Pujangga besar Kraton Surakarta”. Begitu pula dengan nama Masjid Tegalsari, barang pasti lekat dengan nama besarnya. Konon, di Masjid inilah sang Pujangga Besar ditempa akhlaqnya oleh sosok seorang Kyai bernama Kyai Ageng Besari. Namun, benarkah Kyai Ageng Besari itu gurunya?

Tulisan ini berusaha menelisik siapa sosok guru yang menjadi penerang batin Ranggawarsita. Lewat satu manuskrip yang menjadi peringatan kisah hidup sang Pujangga agung berjudul Serat Ranggawarsita.

Telah umum didengar, diawal nyantri Ranggawarsita pernah mengalami pergolakan bantin yang begitu dahsyat. Makan tak diladeni, minum tak diantar dan tidur pun beralaskan tikar panda. Strata sosial harus terlucuti, bergumul dengan rakyat biasa yang sejatinya tak biasa dilakukan dalam hidunya.

Bagus Burham (nama kecilnya) atas dawuh kakeknya yang bernama Raden Tumenggung Sastranagara atau Raden Ngabehi Ranggawarsita I atau Raden Ngabehi Yasadipura II. Mengharuskan Bagus Burham menempuh pendidikan berbasis pondok diusia 10 tahun. Bagus Burham yang masih bermanja ria pada ibu itu, pasti sendika dawuh dengan kalimat yang diperintahkan.

Namun, Ibu yang tak kuasa berpisah dengan anaknya pun berusaha menggalkan keputusan bulat Kakek dan Suaminya (Raden Sudiradimeja atau Ranggawarsita II). Sang ibu menakut-nakuti Bagus Burham dengan mengatakan, bahwa di Panaraga sering terjadi parase. Di kala wuku Dukut, Harimau jadi-jadian sering muncul dan berkumpul untuk memangsa bocah yang belum dewasa.

Kepolosan Bagus Burham itu membuatnya ragu mondok ke Tegalsari. Hingga, ayahnya harus membujuk si calon Pujangga ini. Begitu pula dengan istrinya yang sedang kalut. Raden Sudiradimeja harus menenangkan istrinya yang tak kuasa berpisah dengan sang anak. Itulah sepenggal kisah dramatis keberangkat Bagus Burham mondok ke Tegalsari.

Kisah dramatis keberangkatan Ranggawarsita yang tercatat dalam manuskrip Serat Ranggawarsita bernomor Or. 6467 yang berada di Universitas Leiden. Manuskrip itu kini telah disalin oleh Purwasuwigya atas permintaan D. van Hinlooper Labberton pada tanggal 30 Mei 1909. Dan menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia bernomor KBG 614.

Tak Disebut

Nama besar Kyai Ageng Besari yang selama ini didaku sebagai guru Ranggawarsita tak sekalipun disebut dalam manuskrip ini. Haji Imam Dahap-lah, sosok Guru penerima dan pengajar ngaji tiga anak yang bernama Sahbandar, Munada dan Bagus Burham. Haji Imam Dahap sendiri adalah Paman Munada, Putra Haji Mustahal teman kakek Bagus Burham yang berasal dari tembayat.

Prihal sosok ulama bernama Kyai Ageng Besari, yang pernah didatangi Pakubuwana II tentu berbeda dengan nama “Kyai Ageng Besari” di zaman Ranggawarsita.

Dalam manuskrip inidijelaskan bahwa Ranggawarsita hidup dijaman Pakubuwana VI yakni kisaran tahun 1730 Jawa. Jauh setalah Pakubuwana II mangkat.

Sedangkan rujukan terkait, bisa dilihat dari kolofon Serat Centhini. Mengacu pada Kamajaya, dikatakan Serat Centhini dalam proses pembuatannya dibantu oleh beberapa ulama. Salah satunya adalah ulama yang berasal dari Panaraga yakni Kyai Kasan Besari. Siapa Kyai Kasan Besari itu?

Melalui manuskrip yang diprakarsai oleh Pakubuwana V, putra mahkota dari Pakubuwana IV ini timbul praduga lain. Bahwa, Kyai Ageng Besari dan Kyai Kasan Besari adalah sosok yang berbeda.

Memang, siapa sosok guru Ranggawarsita perlu penelusuran lebih mendalam. Supaya, tak timbul kesalahkaprahan historis dalam penceritaannya. Tulisan ini pun tak akan cukup menjawab siapa sosok misterius yang dianggap guru Ranggawarsita bernama Kyai (Ageng atau Kasan atau Hasan) Besari itu.

Bagus Burham di Panaraga

Saat berada di Panaraga, Ranggawarsita tak hanya menetap dan berguru pada Haji Imam Dahap. Ketika Imam masjid di Tegalsari itu menegur Bagus Burham yang malas berlajar, sering main-main dan setiap sore selalu makan-makan. Dengan teguran yang begitu manis. Imam Dahap menganjurkan Bagus Burham belajar ngaji dengan laku pariman. Malah, membuatnya semakin gelap hati. Cucu Pujangga Kraton ini pun memutuskan pergi meninggalkan Pondok.

Ditemani Sahbandar anak dari Ki Camuka abdi dalem kesayangan Yasadipura II, mereka pergi berkelana mencari ketenangan jiwa. Hingga, sampailah di sebuah dusun bernama Poncol. Di dusun itu, mereka bertemu dengan tetua dusun yang bernama Ki Mukisat, yang juga pandai mengajar ngaji. Disinilah, akhirnya Bagus Burham mendapatkan pencerahan dan cepat mencerna berbagi ilmu ngaji­-nya.

Diceritakan pula dalam serat Ranggawarsita ini, saat di Poncol Bagus Burham diberikan nama baru oleh Ki Mukisat, agar status priyayinya tak terbongkar. Ngabdultahir itulah nama samaran Bagus Burham dan Bakir nama samaran untuk Sabandar. Yang dimaksudkan agar kedok pengakuan cucu dari Ki Mukisat tak terbongkar warga.

Hal menarik lain terkait Dusun Poncol yang diceritakan dalam manuskrip ini. Nama dusun yang tercatat berada di Panaraga itupun berganti nama menjadi Kobran. Dimana letak dusunnya? Hal itu belum diketahui secara pasti. Mungkin, disorientasi masyarakat atar zaman menybabkan tak teridentifikasi. Yang sebetulnya, dusun bernama Poncol/Kobran itu sangat lanyak menyandang pengakuan dan perlakukan sama dengan Tegalsari.

Mungkin, ulasan ini tak bisa dipandang menjawab secara gamblang terkait Bagus Burham (Ranggawarsita) dan Ponorogo. Namun, terkadang sangat menjemukan mendengar kisah para tetua menceritakan Ranggawarsita yang diajar oleh Kyai Ageng Besari.

Pertama, sebagai sosok guru sekaligus Kyai yang pernah bertemu dengan Pakubuwono II. Agak aneh mengimajinasikan sosok yang hidup sebegitu lama. Ditambah, tradisi penobatan Raja yang mustahil lengser kedhaton, hingga beberapa generasi Raja. Dan tak cocok dengan biografi yang tertulis mengenai raja-raja Surakarta. 

Kedua, terdapat silsilan deretan nama disekitar makam yang memakai kosakata sama “Kyai dan Besari”. Dilengkapi, jejeran angka romawi I atau II dibelakangnya.

Apa mungkin sosok yang sama? Atau hanya nama gelar?

Frengki Nur Fariya Pratama
Frengki Nur Fariya Pratama
Mahasiswa Ilmu Susastra Undip Semarang, Komunitas Sraddha Institute, Komunitas Sastra Langit Malam, anggota Pramuka.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.