Itulah sepatah kata dari seorang pecandu rokok yang kebetulan saya temui di salah satu angkringan. Dalam percakapan itu, ia menjelaskan bahwa bisnis rokok pertama kali datang dari tanah Kudus. Adalah Nitisemito, perintis industri rokok yang memulai bisnisnya pada tahun 1906 dan usahanya resmi terdaftar dengan merk “Tjap Bal Tiga” pada tahun 1908.
Saya sempat tidak percaya, tapi setelah mencari tahu tentang sejarah rokok lewat google, ternyata memang benar bahwa rokok sudah ada sebelum bangsa ini lahir. Tidak hanya sampai di situ saja, banyak kisah tentang diplomasi yang dilakukan Soekarno yang tidak lepas dari rokok kretek.
Salah satu yang paling bersejarah adalah tentang pertemuan Soekarno dengan Khrushchev, Perdana Menteri Uni Soviet kala itu. Dalam pertemuan keduanya, seorang wartawan mengabadikan sebuah foto ketika keduanya saling sambung sebatang rokok.
Dalam buku “Dunia Dalam Genggaman Soekarno” karya Sigit Aris Prasetyo, dikatakan bahwa dalam budaya Uni Soviet, saat kedua sahabat sudah minum vodka atau sambung rokok, maka menandakan persahabatan sudah mencapai taraf saling percaya. Benar saja, saat itu Uni Soviet mengucurkan dana, melakukan pembangunan proyek serta memasok senjata besar-besaran ke Indonesia.
Ada pula sejarah persahabatan Soekarno dengan pemimpin Kuba, Fidel Castro. Masih diambil dari buku yang sama, Sigit menuliskan bahwa keduanya pernah saling bertukar rokok. Saat itu Soekarno menyodorkan rokok produk Inggris dan Castro mempertanyakan rokok merk Player’s buatan imperialis itu. Bung Karno lalu menjawab dengan nada sinis, “Betul. Kaum imperialis harus dihisap jadi asap dan debu.” Jawaban itu sontak membuat keduanya tertawa lepas.
Senjakala Industri Tembaku di Indonesia
Seiring perkembangan zaman, pabrik rokok semakin banyak berdiri di Indonesia. Keberadaan pabrik rokok bahkan menjadi salah satu penyumbang APBN yang besar. Pada tahun 2018, penerimaan Bea Cukai mencatat bahwa Cukai Rokok menyumbang Rp 153 Triliun. Jumlah tersebut setara dengan 10% dari APBN.
Indonesia menjadi salah satu negara konsumen rokok terbesar di dunia. Rokok sudah menjadi bagian dari kehidupan berbagai kalangan, mulai kalangan atas hingga kalangan bawah. Jadi tidak heran jika pemilik industri rokok sekelas Gudang Garam, Sampoerna dan Djarum menjadi orang dengan kekayaan yang berlimpah.
Bahkan di kalangan orang Jawa dan perokok berat, ada semacam guyonan yang mengatakan ‘mending ngelih daripada ora ngrokok’ atau dalam bahasa Indonesia berarti lebih baik lapar daripada tidak merokok.
Bagi perokok berat, tentu guyonan itu benar adanya, bahwa terkadang perokok berat lebih memilih menahan lapar daripada menahan untuk tidak merokok. Boleh dikatakan rokok sudah menjadi adat serta budaya bagi bangsa ini. Oleh sebab itu pula, pro dan kontra tentang rokok akan menjadi hal yang abadi di tengah masyarakat.
Persoalan terkait halal-haram rokok misalkan. Bagi perokok berat, rokok menjadi barang yang makruh, sedang bagi yang tidak merokok, rokok menjadi barang yang haram karena menimbulkan kemudharatan.
Namun, fakta di lapangan, tidak sedikit Kyai yang merokok. Dari sini pula timbul perdebatan abadi antara perokok dan bukan perokok. Perdebatan semacam itu juga tidak jauh beda ketika menjadikan sisi kesehatan sebagai patokan dalam adu argumen. Bagi perokok, merokok justru menjadi obat.
Argumen itu diperkuat dengan kisah Haji Djamari yang meramu cengkeh dan tembakau untuk dilinting menjadi rokok sebagai obat. Kisah itu pula yang sering dijadikan sebagai awal sejarah kemunculan rokok di Nusantara sekitar abad 19.
Perdebatan abadi itu pada akhirnya membuat pemerintah menelurkan sebuah regulasi berupa Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pengendalian Tembakau. Adalah Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Peraturan tersebut merupakan anak dari amanat Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Melalui PP No 109 Tahun 2012, Pemerintah berupaya melakukan pengendalian rokok salah satunya dengan regulasi dalam hal promosi. Jika Anda perokok, gambar-gambar mengerikan dalam bungkus rokok adalah salah satu dari hasil Peraturan tersebut. Selain itu, peraturan itu pula yang membuat Djarum berhenti menjadi sponsor kompetisi Sepakbola Indonesia. Era Djarum berakhir pada tahun kompetisi 2011/2012 setelah menjadi promotor utama sejak tahun 2005.
Keberadaan peraturan itu pula yang mejadi landasan KPAI dalam menyerang PB Djarum. KPAI menilai kegiatan audisi bulutangkis PB Djarum melanggar regulasi terkait promosi yang diatur dalam PP 109/2012.
Secara regulasi hukum, memang dalam Peraturan tersebut diatur bahwa pabrikan tembakau tidak boleh mejadikan anak dan ibu hamil sebagai sarana promosi. Itulah kenapa KPAI menilai bahwa PB Djarum telah melaukan eksploitasi anak dalam audisi tersebut. Pada akhrinya, perkara ini menjadi ramai di tengah masyarakat dan kembali memunculkan perdebatan abadi antara perokok dan pejuang anti rokok.
Inkonsistensi Pemerintah
Permasalahan serta perdebatan terkait rokok merupakan wujud dari inkonsistensi pemerintah. Produk hukum berupa PP 109/2012 saat ini menjadi garis yang abu-abu dan tidak berjalan dengan baik. Misalkan dalam Pasal 25 butir b, jelas disebutkan bahwa setiap orang dilarang menjual produk Tembakau kepada anak di bawah usia 18 tahun.
Pasal ini akan sangat sulit dijalankan, sebab saat ini, tidak terlihat niatan pemerintah untuk menanggulangi konsumsi rokok bagi anak di bawah 18 tahun. Fakta di lapangan, saat ini banyak sekali anak usia sekolah yang bahkan masih memakai seragam sekolah yang mengisap rokok.
Pemerintah hanya berfokus kepada pengendalian promosi rokok. Setiap daerah beramai-ramai menerbitkan Perda terkait aturan merokok. Namun, semua itu toh nyatanya tidak menghasilkan apa-apa. Konsumen rokok tetap meningkat. Penerimaan yang didapat pemerintah dari cukai rokok bahkan selalu naik setiap tahunnya.
Sampai di sini jelas terlihat inkonsistensi pemerintah. Di satu sisi ingin mereduksi keinginan para pegiat anti rokok, tapi di sisi lain juga tidak ingin kehilangan pemasukan dari cukai rokok. Maka jangan heran jika perdebatan soal rokok akan menjadi perdebatan abadi, sebab pemerintah sendiri juga dibuat galau oleh rokok.
Begitulah senjakala tembakau dan rokok di Indonesia. Bagi para pegiat antirokok, senjakala tembakau dimaknai sebagai sebuah kata yang puitis dan mendayu-dayu. Namun, bagi para pelaku industri tembakau dan penikmat rokok, senjakala dimaknai sebagai kata yang penuh raungan kesedihan serta kekecawaan. Sedangkan pemerintah ibarat sepasang kekasih yang menikmati senja di pantai yang penuh dengan tumpukan sampah.