Perolehan suara Partai Solidaritas Indonesia pada Pemilu 2019 di Sumatera Barat hanyalah 38.373 dari total 2.929.309 suara atau sekitar 1,3% saja. Sekiranya tidaklah memerlukan seorang pengamat politik berkualifikasi doktor untuk menyatakan bahwa PSI tidak memiliki kekuatan di provinsi itu.
Program-program kampanye dari ‘Partai Urang Awak’ ini ternyata tidak bisa diterima oleh masyarakat di Sumatera barat. Partai ini dituduh bermacam-macam, mulai dari antek asing, tidak Islami, tidak sesuai adat-istiadat Minangkabau, bahkan berkembang isu bahwa PSI akan membela LGBT.
Tidak lama lagi Sumatera Barat akan menghadapi pilkada untuk memilih Sumbar 1. Beberapa nama sudah melakukan pergerakan untuk check selera pasar. Baliho-baliho beberapa tokoh telah terpampang di jalan-jalan.
Kurang lebih setahun menuju perhelatan Pilkada di Sumatera Barat. Seorang tokoh muda penuh semangat, Faldo Maldini, digadang-gadang akan ikut bertarung. Dalam sebuah pidato politiknya, Faldo Maldini dan Rian Ernenst bertemu lagi dan bercengkrama dengan akrab di ruang publik. Bukan sebagai dua kubu berseberangan yang keuhkeuh memperjuangkan pihak masing-masing.
Publik barangkali masih belum lupa dengan duduk tegaknya PAN–partai tempat Faldo bernaung pada pemilu 2019 yang lalu, dan Faldo juga merupakan salah satu juru bicara kampanya yang sangat aktif dalam pertarungan itu. Sedangkan PSI dengan gigih hingga berdarah-darah berjuang di kubu 01.
Berbeda dengan pertemuan sebelumnya, pertemuan kali ini mereka bersatu dalam dalam naungan Partai Solidaritas Indonesia. Ya, setelah kampanye panjang pemilu 2019, Faldo mengundurkan diri dari PAN dan menyeberang ke PSI –sesuatu yang sangat menarik sekali bukan? Kini, nama Faldo Maldini bersanding dengan PSI. Betapa dinamisnya politik itu, tidak ada kawan ataupun musuh yang abadi.
Ketika perdebatan Faldo (PAN) dan Rian Ernenst (PSI) muncul di media daring, kita disuguhi tontonan politisi anak-anak enerjik saling yang “baku hantam” dalam sebuah wacana politik. Mereka saling serang, menangkis, menghindar dan menunggu untuk melakukan serangan balik dengan manuver-manuver yang brilian. Lalu sehabis perdebatan yang melelahkan, para petarung ini berbagi kopi dalam satu meja, bercengkrama, melupakan politik sejenak dan tertawa bersama.
Melihat pindahnya Faldo, beramai-ramailah orang di Sumatera Barat mencela. Dalam pada itu, bermunculanlah kalimat-kalimat yang mendiskreditkan seperti; pragmatis, kutu loncat, munafik, anak kemarin sore, jelas belangnya dan segala macam.
Walaupun Faldo sendiri telah mengakui, pertarungan 2019 telah usai dan saatnya untuk memulai sesuatu yang baru, tetapi tampaknya orang di Sumbar menganggap pertarungan itu tidak pernah usai. Dan keputusan Faldo untuk hijrah ke PSI disesalkan oleh banyak pihak.
Tetapi, Faldo bukanlah sebodoh yang dikira. Paling tidak rekam jejak yang telah ditorehkan menyebutkan bahwa ia dalah orang yang layak untuk diperhitungkan. Menjadi presiden BEM KM UI, menjadi ketua PPI di Inggris, founder dari pulangkampuang.com, menjadi wasekjen PAN, menjadi orang dalam dalam kubu 02, ikut dalam pertarungan DPR RI –meskipun akhirnya tidak terpilih.
Itu semua dicapainya dalam umur yang belum genap 30 tahun. Sederet rekam jejak itu membuktikan ia pemuda yang lincah. Kemudian orang-orang mulai menasihati anak muda ini jangan terlalu menuruti nafsunya dan sedikit bersabar.
Terlepas dari semua cibiran masyarakat atau analisis politik yang muncul, keputusan Faldo tentu telah diambil dengan berbagai pertimbangan politis, dan itu hanya diketahui oleh yang bersangkutan dan segelintir orang disekitarnya. Kita hanya bisa mengamati manuver-manuver-nya akhir-akhir ini sambil mengambil berbagai kesimpulan.
Masa kampanye untuk pemilihan Sumbar 1 belum dimulai. Bahkan nama-nama siapa saja yang akan bertarung belum pula jelas. Namun, manuver Faldo telah dilakukan sejak jauh-jauh hari.
Setelah gambar-gambarnya yang menawarkan slogan ‘Sumbar’ (akronim dari Sumangaik Baru/Semangat Baru) muncul diruang publik, sebuah pidato politik diselenggarakan. Sembilan poin ‘sumangaik baru’ ditawarkan kepada masyarakat. Dua orang petinggi PSI (Raja Juli Antoni dan Rian Ernest) merasa perlu untuk menyaksikannya secara langsung. Esoknya muncul berita bahwa politikus muda ini didaulat sebagai ketua DPW PSI Sumbar.
Kemudian, tidak mengambil tempo yang begitu lama, Faldo muncul di berbagai daerah di Sumatera Barat. Dari Pesisirselatan hingga Payakumbuh. Tidak hanya menyapa anak-anak muda, geriliya Faldo juga membidik generas tua. Ia secara langsung turun untuk menemui dan berdialog dengan mereka.
Terlepas dari citra kurang baik PSI dan anggapan pragmatisme seorang Faldo Maldini, gebrakan ‘turba’ ini menjadi suatu hal yang menarik. Paling tidak secara citra, seperti inilah selayaknya seorang politisi beraktivitas.
Menyambangi coffee shop, kedai kopi, perkampungan, pos ronda, dan segala macam untuk bertemu masyarakat. Bukan hanya duduk nyaman di menara gading, muncul dengan tampilan mewah atau hanya lewat gambar-gambar editan photoshop di televisi, baliho atau poster.
Pemimpin selayaknya bicara tentang program di masa depan. Darimana program itu didapat? Tentu dari dengan bersinggungan dengan masyarakat. Aspirasi mereka menjadi grand design dari program yang akan tawarkan. Program yang menyentuh sesuai dengan apa yang rakyat butuhkan, bukan apa yang suatu golongan butuhkan.
Apa yang dilakukan oleh Faldo hari ini, terlepas apakah ia memang akan mencalon sebagai Gubernur Sumbar atau tidak ataukah sebuah pencitraan atau tidak, sebaiknya menjadi contoh bagi para elit-elit politik hari ini. Berhentilah untuk mengekslusifkan diri dan menganggap diri kalian bos!
Para pemimpin ini seyogyanya adalah pelayan rakyat. Ketika mereka duduk pada suatu jabatan, baik itu eksekutif atau legislatif, rakyat telah mempercayakan seorang politikus itu untuk melayani, melaksanakan aspirasi, mensejahterakan, melindungi dan mencerdaskan mereka.
Bertemu dan berdialog dengan masyarakat bukan hanya pada masa kampanye, tetapi bisa kapanpun, di manapun dan dalam kondisi apapun. Jika menjelang masa kampanye, kita sering melihat para politisi naongkrong di kedai kopi dan duduk bersama masyarakat.
Apakah ketika sehabis masa kampanye, masihkan kita melihat mereka di sana? Beberapa mungkin masih tetap terlihat, tetapi kiranya kebanyakan dari mereka tidak lagi tampak. Menghilang dari masyarakat untuk muncul kembali ketika mereka membutuhkan dukungan para pemilih.