Jumat, Oktober 11, 2024

Sejarah Militer yang Hilang Karena Orde Baru

Reza Hikam
Reza Hikam
Mahasiswa S1 Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga, Aktif di Berpijar.co dan Center for Extresmism, Radicalism, and Security Studies (C-ERSS)

Tentara Nasional Indonesia memiliki sejarah yang panjang semenjak zaman perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka adalah orang-orang yang melawan Belanda bukan melalui meja diplomasi, melainkan dengan operasi militer.

Ketika Orde Baru berkuasa, banyak nama-nama, baik personal maupun kesatuan militer yang dihilangkan dengan dalih keamanan negara. Mereka yang tidak sejalan dengan Soeharto dihilangkan atau diberi label “komunis”. Kemenangan Orba adalah kemenangan militer yang berusaha menghilangkan sejarah dan warisan kelompok musuhnya, tidak ada bagian bagi kubu yang kalah, singkatnya, Orba memainkan zero sum game.

Banyak sejarawan yang berusaha untuk menguak kembali kisah-kisah yang terlupakan, seperti sosok Letnan Kolonel Untung dan resimennya: Cakrabirawa. Resimen Cakrabirawa sendiri bisa dilihat sebagai prototipe dari Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) selama Orde Lama dengan satu tujuan: mengawal dan mengamankan Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno. Petrik menuliskan dalam buku ini pada halaman 27 terkait jumlah Resimen Cakrabirawa sekitar 3.000 orang. Angka yang besar dengan tugas pengawalan dan pengamanan.

Kesatuan dalam Cakrabirawa dan Polemik Soekarno vs AD

Ia membandingkan Cakrabirawa dengan Waffen SS bentukan Partai Nazi di Jerman yang bertugas mengawal dan mengamankan Sang Führer, Adolf Hitler (64). Adapun resimen ini tidak terdiri dari satu batalyon saja, melainkan sumbangan dari berbagai batalyon seperti KKO (Marinir) dari Angkatan Laut (AL), Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dari Angkatan Udara (AU) dan Banteng Raiders dari Angkatan Darat (AD) dan Brigade Mobil (Brimob) dari Kepolisian pada halaman 51 sampai dengan 52.

Adapun AD enggan menyumbangkan personil dari pasukan khususnya Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dan menggantinya dengan Banteng Raiders dengan alasan bahwa keduanya memiliki kemampuan yang tidak beda jauh.

Keengganan AD dalam menyumbang pasukan secara implisit dikarenakan perbedaan pandangan perwira atas AD dengan Soekarno, seperti Achmad Yani dan A.H. Nasution. Pembentukan Cakrabirawa ini ditanggapi dengan kritikan dari Petrik Matanasi bahwa terbentuknya resimen untuk pengawalan justru menunjukkan sikap paranoid Soekarno yang memiliki banyak musuh (64). Lebih jauh lagi, penulis juga menyebut Soekarno yang dikawal Cakrabirawa membuatnya tidak jauh berbeda dengan raja-raja Jawa (66).

Terkait kontroversi pertarungan antara Soekarno yang dekat dengan pemikiran komunis melawan AD yang dekat Amerika Serikat (AS), Petrik memberikan analisis kedekatan AD dengan AS melalui peringatan ulang tahun ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965 yang diliputi suasana duka pasca G30S, RPKAD terlihat senjata laras panjang M-16 buatan AS dalam iring-iringan duka yang masih jarang terlihat dipakai tentara pada umumnya (dan masih memakai AK-47) karena masih baru dikembangkan oleh AS (85).

Digunakannya M-16 itu menandakan hubungan baik antara AD dan AS karena Soekarno yang anti-Nekolim jelas-jelas menentang Amerika yang Nekolim dan tidak mungkin pengadaan senjata dilakukan dengan kekuatan yang dilawan oleh “Pemimpin Besar Revolusi” (PBR).

Banyak versi terkait G30S, namun penulis berusaha membeberkan dengan se-objektif mungkin, dimana ia menyebutkan hanya 60 dari 3000 anggota Cakrabirawa yang terlibat G30S, adapun kisah ketika Untung bertemu dengan Soekarno yang memberikan semacam instruksi untuk menindak siapapun yang kontra revolusioner.

Konon perkataan ini yang menjadi awal timbulnya G30S. Namun dengan jelas Petrik menyebutkan bahwa tidak ada sebuah kelompok pun yang menyatakan dirinya sebagai Dewan Jenderal menjelang G30S, hanya ada sekelompok Jenderal AD yang berseberangan dengan Soekarno (100). Dari ungkapan ini bisa terlihat bahwa Dewan Jenderal adalah ilusi yang dibentuk oleh siapapun oknum dari G30S.

Kesalahan terbesar dari gerakan tersebut tidak memperhitungkan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) di bawah pimpinan Soeharto yang di dalamnya ada RPKAD, padahal menurut Petrik, Kostrad adalah pasukan cadangan yang memiliki daya pukul (92).

Ketika G30S Terjadi

Pasukan yang bertugas menculik “Dewan Jenderal” dinamai Pasopati, mereka beranggapan bahwa menculik jenderal-jenderal yang kontra terhadap Soekarno adalah kewajiban sebagai pengawal pribadi Paduka Jang Mulia (PJM) di halaman 123. Penjelasan rinci G30S ada pada halaman selanjutnya, dimana Pasopati mulai bergerak pada pukul 02.00 dini hari 1 Oktober 1965.

Wacana yang berkembang adalah usaha CIA untuk menumbangkan Soekarno melalui AD dan para petingginya. Penulis mengilustrasikan operasi ini dengan cukup detail, terutama pembagian kelompok beserta tugas-tugasnya dan elemen Sukarelawan Dwikora dari sipil.

Penjelasan paling detail ketika usaha penculikan Jenderal A.H. Nasution, yang mengerahkan banyak orang untuk melakukan penculikan. Nasution selamat dengan memanjat tembok rumahnya yang menempel dengan tembok Duta Besar Irak. Ia bersembunyi di tempat itu hingga tentara yang masih loyal menjemputnya pada pukul 06.30 (128).

Adapun alasan yang ditekankan pada penculikan Ahmad Yani adalah hidupnya yang bermewah-mewahan (129). Adapun kedekatan Yani dengan George Benson menjadikan dirinya dianggap antek Nekolim karena keduanya pernah mengenyam pendidikan di Fort Leavenworth, AS.

Nama-nama lain yang juga menjadi sasaran penculikan juga disebutkan dan dijelaskan kronologi penculikannya, beberapa diantaranya mati tertembak ketika penculikan, sisanya mati ditembak di lubang buaya.

Semuanya adalah pendukung Achmad Yani dalam militer, kecuali A.H. Nasution yang termasuk jenderal kawakan semasa revolusi Indonesia. Semuanya dianggap memiliki hubungan dengan AS, kecuali Pierre Tendean yang merupakan pengawal Nasution. Pada akhirnya, korban-korban G30S diberi kenaikan pangkat satu tingkat dan gelar anumerta. Tiap Jenderal ditangkap di rumahnya masing-masing.

Akhir dari Kisah Untung, G30S & Cakrabirawa

Usaha Untung dan pasukannya dalam menculik anggota “Dewan Jenderal” terbukti merugikan dirinya sendiri, dan semua yang mengikutinya, termasuk Ketua Biro Chusus PKI, Sjam Kamaruzzaman dan Ketua PKI yang mengetahui dan konon merestui adanya gerakan tersebut, Dipa Nusantara Aidit.

Kajian yang disuguhkan oleh Petrik Matanasi dalam buku ini dikumpulkan dari berbagai sumber. Ia memberikan penjelasan-penjelasan baru terkait polemik G30S dan mengangkat sesuatu yang baru dari permasalahan itu: Letnan Kolonel Untung (dari sudut pandang yang berbeda) dan Resimen Cakrabirawa yang dianggapnya hanya alat dari gerakan tersebut.

Ia menjelaskan bahwa elemen Cakrabirawa yang terlibat gerakan tersebut dikarenakan anggapan mereka bahwa ada ancaman terhadap keamanan Presiden Soekarno, sehingga apa yang mereka lakukan, di mata mereka adalah mengawal dan mengamankan PBR dari ancaman kudeta.

Tindakan preventif dari “kudeta” justru merugikan semua elemen di dalamnya yang berujung pada pembubaran sekaligus pelarangan PKI dan ideologi Marxisme-Leninisme beserta Komunisme untuk disebarluaskan di Indonesia. Tragedi ini justru membuat luka sejarah yang tidak pernah sembuh & membuat Indonesia menjadi negeri yang paranoid. Paranoid terhadap komunisme.

Reza Hikam
Reza Hikam
Mahasiswa S1 Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga, Aktif di Berpijar.co dan Center for Extresmism, Radicalism, and Security Studies (C-ERSS)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.