Seruan konsolidasi aksi BEM Universitas Riau jilid V hari ini telah disuarakan, aksi “Kami Siap Membersamai G17S! dengan hastag #RIAUDIBAKARBUKANTERBAKAR” yang akan dilaksanakan 17 September 2019 yang akan datang dinilai akan mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat Riau.
Berbeda dengan problematika kenaikan bahan bakar ataupun sembako yang mana mendemarkasi kalangan bawah dan kalangan atas. Problematika ekonomi yang acap kali menghinggapi negeri ini secara gamblang mencekik masyarakat kalangan menengah ke bawah saja.
Berbeda dengan problematika yang di alami Riau saat ini, mencekik paru-paru setiap lapisan masyarakat tidak peduli strata, harta dan jabatan yang ia miliki. Asap yang mencemari partikel udara di Riau menyatukan masyarakat untuk bersama menyuarakan kesesakan di dada yang semakin memburuk.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat konsentrasi partikulat daerah di Riau mulai merangkak naik menjadi berbahaya. Partikulat (PM10) adalah partikel udara yang berukuran kecil dari mikron (mikrometer). Nilai Ambang Batas (NAB) adalah batas konsentrasi polusi udara yang diperbolehkan berada dalam udara ambien.
NAB PM10 = 150ugram/m3. Tercatat sejak 12 September 2019 Pekanbaru telah memasuki konsentrasi 350 dan memasuki pijakan awal kategori berbahaya dengan warna merah. Pada tanggal 13 September 2019 pada pukul 09.00-14.00 Pekanbaru memasuki angka >400 dengan warna ungu.
Meski pada tanggal 14 September 2019 konsentrasi partikulat sempat mengalami penurunan pada dini hari dikarenakan hujan sesaat, pada siang hari angka terus kembali merangkak naik ke kategori sangat tidak sehat.
Berbagai lapisan masyarakat baik komunitas, mahasiswa hingga instansi membagi-bagikan masker gratis ke masyarakat di jalanan. Problematika asap tidak hanya berhenti dengan pembagian masker gratis. Gubernur dan Wakil Gubernur Riau, Syamsuar-Edy Natar yang dilantik 20 Februari 2019 mendapatkan sorotan tajam.
Terutama pada janji 100 Hari kerja Syamsuar yang mana poin pertama berbunyi, ”sosialisasi pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terhadap pemerintah daerah”. Masyarakat Riau bertambah naik pitam saat mengetahui Syamsuar pergi meninggalkan Riau ke Thailand disaat Riau sangat membutuhkan tindakan atas polemik asap.
Pada awal tahun 2019 di Universitas Riau dalam talkshow dengan tema yang sama dengan artikel ini, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau, Edwar Sanger menyatakan bahwa pada 19 Februari 2091 Riau telah ditetapkan sebagai status darurat siaga hingga 8 bulan kedepan.
Kendala karhutla seperti memilin awan yang bertumpuk, selalu ada dan tebal. Replanting atau penanaman cikal bakal lahan sawit baru merupakan monster yang menyeramkan bagi masyarakar Riau.
Tidak hanya petani sawit skala kecil namun juga perusahaan besar melakukan pembakaran secara berjamaah. Tanah gambut di Riau dan Kalimantan Barat memiliki kesamaan yaitu irreversible, mudah terbakar, dan bilamana telah terbakar strukturnya kan rusak sehingga anti-air yang akan mengakibatkan banjir di musim penghujan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa BPBD bertugas di hilir saat bencana telah terjadi, termasuk di saat polemik kabut asap yang menjadi bahan lempar-lemparan tanggung jawab bagi pemerintah.
Permasalahan Asap di Riau telah dimulai sejak 1997 hingga hari ini tidak pernah surut. Sebagaimana polemik lainnya jika masih ditemukan “aktivis” maka isu ini belum menjadi isu strategis utama yang hendak di berangus.
Mitigasi asap di Riau perlu diambil tindakan yang berkelanjutan, salah satunya dengan menjadikan bencana tahunan ini sebagai isu strategis nasional. Pemerintah daerah perlu membuat tim restorai gambut yang terus membersamai dan memantau di lahan sawit.
Terlepas dari menunggu Gubernur Riau yang berpelesir atau mungkin mengungsi ke Thailand? seluruh masyarakat Indonesia harus sadar bahwa permasalahan asap di Riau perlu mendapat sorotan.