Putaran demi putaran diskusi telah dijalankan, aneka protes baik di media sosial maupun nyata telah digalakkan. Mulai dari tolak revisi UU Ketenagakerjaan, revisi UU KPK, rancangan UU pertanahan, Minerba, KUHP dan lainnya. Namun isu per isu belum klik atau tersinkron antar satu sama lainnya. Sehingga terkesan parsial serta memiliki fragmentasi, seolah-olah berdiri sendiri.
Pengakselerasian aneka revisi dan rancangan Undang-undang tersebut seakan-akan dipaksakan, mungkin dengan motif akan segera berakhir kepemimpinan di periode ini atau memang ada urgensi mendesak sehingga para elite merasa untuk mengesahkannya. Urgensi para elite inilah yang patut dipertanyakan, karena aturan-aturan tersebut sangat relasional dengan kepentingan oligarki dan para pembajak reformasi.
Misal kita bicara rancangan UU pertanahan, ada yang penting sorot. Misal pembahasan rancangan UU Pertanahan tidak mengakomodasi kepentingan rakyat bawah, khususnya kaum tani. Mengingat tidak secara spesifik membahas perihal aset dan akses dalam koridor landreform atau perombakan menyeluruh terkait tata lahan. Tidak serius juga membicangkan masalah konflik yang berakar dari ketimpangan. Malahan adanya yaitu melegitimasi pemerintah untuk melakukan hal-hal yang rentan terhadap rakyat.
Pemberian HGU yang izin awalnya 35 tahun, bisa diperpanjang 35 tahun dan diperpanjang lagi 20 tahun atau jika dikalkulasi bisa mencapai 90 tahun. Pengakuan atas wilayah adat harus berdasarkan penetapan dari pemerintah, artinya pemerintah yang menentukan bahwa meraka adat atau tidak. Belum lagi jika petani tak bisa menunjukan bukti tanahnya, maka pemerintah akan mengambil alih paksa, konsep domein verklaring kembali dihidupkan.
Revisi UU lainnya yakni terkait air, di mana pemerintah mengganti UU terdahulu yang telah dibatalkan oleh MK, karena ada poin yang menjurus pada privatisasi air. Tetapi RUU yang bru tak jauh beda, lebih menekankan bahwa korporasi bisa mengelola atau “menguasai” air untuk tujuan komersil. Padahal air sendiri merupakan public good atau milik umum, serta sangat haram hukumnya jika diprivatisasi untuk kepentingan bisnis. Karena akan merengut hak manusia atas air.
Selain RUU Air, ada juga revisi UU Minerba yang sarat kepentingan pemodal. Perlu diketahui dalam rencana revisi ini hanya membahas tentang bagaimana izin tambang bisa lancar dan terkoneksi dengan investasi.
Tanpa sekalipun berbicara penyelamatan ruang hidup, khsusunya yang bertautan dengan kelestarian lingkungan. Revisi ini pun “diduga” sarat transaksi para oligarki pasca pemilu, di mana banyak kepentingan yang bertalian dengan tambang, sebagaimana kajian dari Jaringan Advokasi Tambang. Hal ini dapat dilihat dari trayek revisi UU yang diakselerasi sejalan dengan proyek investasi masif.
Revisi UU Ketegakerjaan, sangat rentan sekali mengkebiri hak-hak pekerja. Di mana kepentingan pengusaha sangat dominan, mulai dari upah yang menyesuaikan inflasi sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2017.
Masalah pemutusan hubungan kerja, di mana pengusaha bisa memberikan pesangon sesuai dengan kondisi mereka, artinya ada kemungkinan manipulasi sehingga banyak merugikan buruh. Penghapusan hak cuti haid, tunjangan kesejahteraan, hingga penambahan jam kerja serta waktu lembur. Bahkan yang paling fatal ialah diterapkannya kembali pelanggaran berat, kala buruh mogok kerja karena haknya tidak diakui, itupun bisa terancam untuk diberhentikan sepihak.
Kekacauan demi kekacauan ini memuncak kala revisi UU KPK disepakati, ada kontrol dari pemerintah secara dominan dan berpotensi menganggu kerja-kerja independen KPK. Kerja independen KPK ini harus dimaknai dalam menjalankan tugas mengungkap korupsi, tanpa intervensi pihak manapun, ini dalam konteks kasus.
KPK bukan lembaga “superbody” sebagaimana digencarkan pihak pro revisi, dalam kinerjanya tetap ada kontrol Presiden sebagai yang memberikan mandat. Ketika revisi dilancarkan, terkait penyelidikan, penyedapan dan penetapan akan sangat “tergantung” pada lembaga terkait. Karena separasi kekuasaan lembaga sudah jelas, mengenai wewenang dan tugas KPK. Revisi UU KPK hemat saya adalah bagian dari serangkaian revisi UU yang tersinkronisasi satu sama lain.
Karena begini, sejalan dengan revisi UU KPK ada pula perubahan di UU Pemasyarakatan. Seperti mewacanakan pembebasan bersyarat koruptor, serta secara paradigmatik akan menyamakan narapidana koruptor dengan narapidana biasa. Sehingga korupsi bukan lagi extraordinary crime yang menyangkut hajat hidup orang banyak, tetapi dikerdilkan dengan tindak kejahatan biasa.
Relasi revisi UU KPK dan Pemasyarakatan sangat erat sekali, dengan adanya intervensi di kinerja KPK, selanjutnya dikuatkan dengan UU Pemasyarakatan yang menurunkan stigma koruptor serta memberikan bebas bersyarat, tentu akan semakin mengistimewakan koruptor dan menjadikan pemberantasan korupsi di Indonesia akan mengalami kemunduran.
Terakhir yakni revisi UU KUHP yang sangat rentan mengkriminalisasi rakyat, khususnya yang ia ingin menegakkan demokrasi itu sendiri. UU KUHP ini jikalau disahkan akan menghajar siapa saja yang mengkritik Presiden dan wakilnya. Bahkan instrumen menghina pemerintah pun dimasukkan, sangat riskan bagi mereka yang berjuang untuk penegakkan demokrasi. Pasal tersebut pun tak jauh dari warisan Orde Baru dan kolonial.
Hal aneh, namun juga sangat fatal dalam Rancangan KUHP ini adalah dimasukkanya pasal penghinaan kepada orang meninggal, sangat rancu dan akan berakibat pada munculnya aneka kriminalisasi. Tidak hanya itu saja, pasal terkait marxisme, komunisme dan leninisme dihidupkan dengan aneka hukuman yang berat, serta tidak jelas batasannya. Tentu apa yang ditakutka dari komunis, mereka sudah tidak eksis, justru kalau negara ini makmur dan sejahtera, tidak akan ada ide-ide komunis.
Hemat saya pasal itu hanya bagian dari menghajar mereka para pejuang demokrasi dan HAM itu sendiri. Rancangan KUHP yang diklaim menggantikan warisan kolonial ternyata tak beda jauh dengan aturan kolonial yang anti pada kesetaraan, karena masih mengatur hak-hak privilese elite. Salah satunya korupsi yang hukumannya minim, pun juga yang terkait penghinaan Presiden, Wakil Presiden dan Pemerintah.
Puncak dari aneka perubahan revisi Undang-undang dan rancangan Undang-undang sangat merugikan rakyat. Karena menghianati semangat reformasi yang sejatinya sejurus dengan UUD RI 1945 dan Pancasila itu sendiri. Karena instrumentasi HAM secara mekanik mengikuti UUD RI, khususnya pasal 28 tentang hak-hak asasi manusia yang harus dijamin serta ditegakkan negara. Namun dengan aneka perubahan UU yang sangat anomalistik ini, jauh dari semangat demokrasi kerakyatan dan demokrasi partisipatif.
Pada dasarnya paradigma dari aturan-aturan pokok yang akan dirubah tersebut sangat otoriteristik, menguntungkan oligarki yang merupakan eksponen Orde Baru. Reformasi berada di titik nadir, karena dikorupsi oleh reformis gadungan yang pro oligark.