Jumat, April 19, 2024

Redupnya Arab Saudi

Musyfiqur Rahman
Musyfiqur Rahman
Mahasiswa Pascasarjana Kosentrasi Kajian Timur Tengah, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep. Redaktur sastraarab.com

Pangeran Arab Saudi, Mohammed bin Salman (MbS) yang sejak awal kemunculannya sebagai putra mahkota pada tahun 2017 mendapatkan banyak sorotan karena dinilai punya keberanian membawa Arab Saudi keluar dari tradisi konservatif menuju Arab Saudi yang reformatif dan progresif, kini benar-benar tengah menghadapi situasi serba sulit.

Dengan melihat perkembangan situasi terkini di kawasan, tidaklah berlebihan jika banyak kalangan mulai meragukan kecakapan sang putra mahkota dalam memimpin Arab Saudi ke depan.

Sikap arogan dan ambisius tampak mewarnai setiap kebijakan strategis yang diambil oleh Muhammd bin Salman terkait isu-isu terakhir di Timur Tengah. Sejak awal mula agresi Arab Saudi bersama koalisnya terhadap negara Yaman sampai saat ini belum juga menemui titik terang, selain banyak kekalahan dan kerugian yang menimpa Arab Saudi.

Padahal Mohammed bin Salman pernah sesumbar bahwa perang di Yaman akan diselesaikan dalam waktu 1-2 minggu. Tak hanya itu, banyak para pengamat di Timur Tengah yang juga pesimis akan kemampuan kelompok Houthi Yaman dalam bertahan atas agresi besar-besaran pasukan koalisi.

Tapi faktanya tidak demikin, hingga saat ini justru milisi kelompok Houthi menunjukkan kegigihan perlawanan mereka dengan terus menyudutkan pasukan koalisi. Peristiwa penembakan kilang minyak Aramco pada Sabtu, 14 September lalu oleh kelempok Houthi menjadi pukulan telak bagi Mohammed bin Salman.

Serangan yang terkordinasi menggunakan 10 pesawat nirawak (drone) mampu menembus pertahanan udara Arab Saudi yang menggunakan sistem pertahanan paling mutakhir buatan Eropa dan Amerika dengan biaya miliaran dolar AS.

Menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) 2018, Arab Saudi merupakan negara dengan belanja persenjataan terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan China. Peristiwa penembakan pada kilang minyak Aramco, tentu saja membuat publik bertanya-tanya, bagaimana Arab Saudi mengelola sistem pertahanannya yang sedemikian canggih senilai miliaran dolar, jika pada akhirnya kebobolan juga?

Memang sebelumnya ada spekulasi yang beredar bahwa di balik serangan kilang minyak Aramco, ada keterlibatan pihak istana Arab Saudi yang bekerja sama dengan milisi Houthi sebagaimana klaim juru bicaranya, Yahya Saree.

Namun klaim Yahya sejauh ini belum bisa dibuktikan. Tuduhan semacam ini bisa jadi sengaja dilakukan oleh kelompok Houthi untuk meruntuhkan wibawa Arab Saudi dengan menyeret apa yang oleh mereka disebut sebagai “orang dalam”. Sehingga dampaknya, terbangun opini publik yang mengarah kepada dugaan adanya konflik internal di istana kerajaan.

Upaya Mengakhiri Konflik

Pada 29 September lalu, kelompok Houthi kembali memberi pukulan telak kepada Mohammed bin Salman. Peristiwa penyanderaan 3 brigade yang berjumlah ribuan pasukan di kawasan Najran, Arab Saudi, cukup mengejutkan dunia. Kali ini serangan milisi Houthi mulai merangsek hingga masuk ke perbatasan dua negara, bukti bahwa kelompok Houthi sama sekali tidak melemah. Justru dari waktu ke waktu semakin menunjukkan kamajuan yang sangat signifikan sejak awal mula perang Yaman dilancarkan pada tahun 2015.

Kekalahan pasukan Arab Saudi di dalam wilayahnya sendiri dinilai akan meruntuhkan semangat dan militansi para pasukan Arab Saudi. Sementara bagi kelompok Houthi, kemenangan yang mereka capai dengan membawa ribuan sandera dan persenjataan akan memiliki daya tawar di meja perundingan untuk mengakhiri perang Yaman, yang menurut laporan PBB telah menyebabkan krisis kemanusiaan paling parah dalam 100 tahun terakhir. Lumpuhnya perekonomian dan blokade pasokan bantuan kemanunsian berdampak terjadinya kelaparan massif yang menimpa jutaan rakyat Yaman.

Dalam wawancaranya dengan salah satu media Amerika, CBS News dalam program “60 Minutes” pada Senin, 30 September lalu, Mohammed bin Salman tampak mulai melunak menyikapi situasi terakhir di kawasan.

Jika dalam pernyataan sebelumnya ia pernah mengatakan “jika Iran mau mendeklarasikan perang, maka Arab Saudi akan membawa perang tersebut ke jantung Teheran”, namun dalam pernyataan kali ini Mohammed bin Salman menginginkan solusi politik, bukan militer. Perubahan sikap ini mengisyaratkan bahwa Arab Saudi ingin segera mengakhiri ketegangan dengan Iran.

Tentu tidak mudah bagi Arab Saudi untuk keluar dari segala ketegangan di kawasan, baik dengan Iran ataupun untuk menarik diri dari perang Yaman. Karena sejauh ini, Arab Saudi belum memperoleh apa-apa atas kebijakan frontal yang dikeluarkan oleh Mohammed bin Salman, sementara berbagai kerugian materil sudah tak terhitung jumlahnya.

Di satu sisi Mohammed bin Salman ingin segera mengakhiri perang Yaman, namun di sisi lain jelas ia tidak mau menanggung malu akibat rangkaian kekalahan yang kian menyudutkan Arab Saudi. Maka pupuslah ambisi Mohammed bin Salman untuk menghapus keberadaan kelompok Houthi dari bumi Yaman.

Buntut Kasus Khashoggi

Pasca satu tahun pembunuhan Jamal Khashoggi di konsulat Arab Saudi, Istanbul Turki tepatnya pada 2 Oktober 2018 silam hingga kini, pihak kerajaan Arab Saudi belum mampu menyeret pelaku intelektual ke pengadilan.

Mohammed bin Salman terus mendapakan tekanan dari negara-negara Eropa dan Kongres Amerika Serikat untuk menuntaskan kasus Jamal Khashoggi. Dalam wawancara di “60 Minutes”, Mohammed bin Salman membantah adanya keterlibatan para petinggi kerajaan yang oleh publik dinilai memiliki hubungan khusus dengan sang pangeran. Namun sebagai kepala negara, Mohammed bin Salman berjanji akan tetap bertanggung jawab secara politik atas peristiwa Khashoggi.

Sementara itu, tersangka Saud Al-Qahtani, mantan penasihat kerajaan yang juga merupakan tangan kanan Mohammed bin Salman hingga kini belum terdengar kabarnya. Iyad el-Baghdadi, penulis dan pegiat HAM yang tinggal di Oslo, Norwegia, menduga bahwa Al-Qahtani telah dibunuh oleh pihak kerajaan Arab Saudi untuk menghilangkan jejak utama yang dikhawatirkan bisa membahayakan Mohammed bin Salman.

Tetapi Iyad tidak memberikan bukti dan justru pernyataan ini dibantah oleh beberapa kalangan yang mengaku dekat dengan Al-Qahtani. Namun demikian, hilangnya Al-Qahtani selama ini menyisakan misteri bagi publik dan hanya membuat banyak spekulasi berkembang di tengah-tengah pusara ketegangan kawasan.

Belum lagi nasib Ahmad Asiri, mantan wakil kepala intelejen dan Salah Tubaigy, petugas keamanan sekaligus dokter forensik Arab Saudi yang juga diduga telah dikambinghitamkan oleh pihak kerajaan untuk membersihkan Mohammed bin Salman dari berbagai tuduhan.

Kematian Misterius Pengawal Istana

Tewasnya pengawal pribadi Raja Salman bin Abdulaziz, Mayor Jenderal Abdulaziz Al-Fagham di distrik Al-Shatee, Jeddah adalah bukti bahwa Arab Saudi, di bawah kekuasaan Mohammed bin Salman sedang mengalami situasi yang sangat rumit, baik secara eksternal ataupun internal.

Kejadian ini begitu mengkhawatirkan dan patut dicurigai adanya bola panas yang tengah bergulir di tengah-tengah kerajaan. Kuatnya kepentingan dinasti dan ambisi kekuasaan membuat para pemangku kebijakan kerajaan terjebak dalam letupan-letupan ketegangan. Sehingga tidak mengejutkan ketika harus menuntut tumbal agar suara-suara setiap pihak yang berseberangan bisa dibungkam dengan alasan tidak loyal kepada sang putra mahkota. Wallahua’lam.

Musyfiqur Rahman
Musyfiqur Rahman
Mahasiswa Pascasarjana Kosentrasi Kajian Timur Tengah, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep. Redaktur sastraarab.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.