Senin, Desember 2, 2024

Politik Eksklusif atau Politik Inklusif?

Sari Oktafiana
Sari Oktafiana
Ph.D researcher di KU Leuven Belgia. Ibu dengan 5 putera-puteri dan senang belajar.
- Advertisement -

Demokrasi adalah bagaimana mengelola relasi kekuasaan yang dapat memberikan peluang, akses dan kesempatan bagi semua elemen masyarakat terhadap kekuasaan dan sumber daya. Demokrasi seyogianya membuka ruang bagi semua masyarakat dari berbagai kelompok untuk dapat mengekspresikan kepentingan, pendapat dan pilihan.

Artikel ini hendak membuka dialog tentang pilihan politik eksklusif yang telah menjadi salah satu program pemerintah Presiden Jokowi pada periode kedua yang kental dengan nuansa deradikalisasi.

Program deradikalisasi ini tentunya ditujukan kepada mereka yang termasuk kelompok fundamentalis Muslim yang dianggap telah menguat dan menjadi ancaman bagi integrasi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pengertian fundamentalis Muslim dalam hal ini  dipahami sebagai kelompok yang menghendaki pemberlakuan hukum Islam (Syariah), negara Islam, menggunakan metode jihad dan memiliki penafsiran secara literal terhadap Al-Quran dan Sunnah.

Merujuk pada pengertian ini, mereka yang termasuk pada kategori fundamentalis Muslim adalah HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), JI (Jemaah Islamiyah), JAT (Jamaah Ansharut Tauhid) serta beberapa kelompok Muslim lainnya. Kelompok-kelompok ini yang diidentifikasi sebagai kelompok Muslim fundamentalis yang telah menampakkan dirinya seiring dengan demokratisasi pada masa transisi reformasi.

Apabila menilik sejarah sebelum NKRI berdiri, politik Islam apakah itu Islam moderat, Islam modern, ataupun fundamentalis, telah ada, bahkan sejak hadirnya kerajaan-kerajaan Islam dan menjadi salah satu akar dari komunitas terbayang (imagined community: meminjam istilah dari Ben Anderson).

Komunitas-komunitas Muslim dan politik Islam bahkan turut menjadi bagian dalam perlawanan kolonialisme dan menjadi kontributor dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Bahkan pesantren merupakan cikal bakal pendidikan ala Islam yang menjadi media propaganda dan dakwah untuk melawan kolonialisme. Merujuk dari berbagai literatur, fundamentalis hadir untuk melawan ketidakadilan. Kolonialisme, imperalisme dan kapitalisme dianggap meletupkan semangat perlawanan dari kelompok fundamentalis.

Dari mulai awal kemerdekaan Indonesia, perbedaan konsepsi untuk menentukan formasi dan ideologi NKRI  antara berbagai kelompok Muslim dan nasionalis hingga sekarang terus berkelanjutan.

Penetapan Pancasila sebagai ideologi nasional masih belum disepakati oleh berbagai kelompok fundamentalis, sehingga hal inilah yang melahirkan eksklusi. Dalam konteks nasionalisme, kelompok fundamentalis menjadi ancaman akan integrasi nasional karena ketidaksepakatannya akan Pancasila menjadi nilai dan perekat dari komunitas terbayang.

- Advertisement -

Hieraj, Jalong dkk (2018) mengemukakan tiga argumen yang menjadi dasar eksklusi atas kelompok fundamentalis yang melahirkan sekian prasangka dari berbagai kelompok masyarakat arus utama termasuk kelompok Muslim arus utama, yang pertama adalah kontestasi Islam dan nasionalisme memproduksi batas-batas eksklusi.

Perbedaan pandangan keislaman dan nasionalisme, telah melahirkan identitas untuk mengidentifikasi siapa kelompok nasionalis, kelompok Muslim arus utama dan kelompok Muslim fundamentalis.

Belajar dari disintegrasi negara-negara Balkan dan Arab Spring adalah kecemasan utama yang diberikan kepada kelompok fundamentalis  dari sekian elemen masyarakat nasionalis Indonesia. Seperti layaknya hantu komunisme, gerakan politik kelompok Muslim fundamentalis dikuatirkan menyebabkan Balkanisasi NKRI ketika desentralisasi memberikan kesempatan bagi mereka untuk bergerak dari bawah.

Argumen kedua mengenai persoalan eksklusi atas kelompok fundamentalis adalah perang global melawan terorisme. Pasca penyerangan 11 September 2001, Amerika Serikat getol untuk melawan apapun bentuk terorisme dan para teroris. Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia terkena dampaknya ketika sebagian dari kelompok fundamentalis dicurigai memiliki jaringan transnasional dengan gerakan teroris.

JI dan JAT dicurigai telah membangun jaringan dengan Al-Qaeda yang dianggap paling bertanggung jawab atas sekian peristiwa pengeboman dan kekerasan yang telah terjadi sepanjang reformasi. Hal inilah yang menguatkan persoalan eksklusi , bahwa metode jihad dengan kekerasan harus dilawan dan menjadi ancaman atas keamanan dan ketertiban masyarakat.

Beberapa literatur bahkan menggambarkan wajah Muslim Indonesia pasca reformasi 1998 tak lagi ramah seperti wajah Muslim dimasa rejim the Smiling general Suharto. Stigma akan karakter keras dan jahat semakin mengekslusi dan menambah prasangka bahkan perlakuan diskriminatif atas kelompok fundamentalis.

Identitas simbolik seperti cara berpakaian dan cadar seringkali memproduksi dan mereproduksi prasangka dan dikriminasi. Termasuk sulitnya untuk diterima kembali dan mendapatkan pekerjaan dari para mantan teroris dan mantan jihadis.

Argumen ketiga, eksklusi atas kelompok fundamentalis adalah multikulturalisme. Fakta NKRI adalah masyarakat multikultur yang lahir dari perasaan senasib dan sepenanggungan komunitas terbayang, memproduksi dan mereproduksi multikulturalisme.

Toleransi, empati, menghargai dan mengakui keberagaman merupakan nilai-nilai yang terus dikembangkan untuk menghidupi masyarakat majemuk. Seperti yang dijelaskan oleh Hieraj, Jalong, dkk (2018), Islamisme yang diyakini oleh kelompok fundamentalis, dianggap tidak sesuai dengan karakter Bangsa Indonesia.

Ideologi yang diyakini oleh kelompok fundamentalis dianggap bertentangan dengan multikultur dan toleransi (hal. 330). Identitas Wahabi bukan identitas nusantara adalah stigma yang sering dianggap sebagai ancaman pluralisme dan toleransi. Sejauh mana diskursus multikulturalisme dapat menerima dan mengakomodasi berbagai macam keragaman kelompok?

Menurut Jalong dkk (2018), keterbatasan wacana mulitkulturalisme justru melahirkan eksklusi baru. Wacana multikulturalisme yang berkembang masih dalam kerangka budaya dominan dan arus utama, toleransi atas perbedaan dan keberagaman diakui sepanjang bukan fundamentalis intoleran.

Kelompok fundamentalis yang diidentikkan dengan aksi intoleran, memiliki paham Islamisme yang bukan arus utama, dianggap paham yang keliru, radikal dan harus dideradikalisasi sesuai dengan paham Islamisme arus utama dalam koridor multikulturalisme. Walaupun kita sering menyaksikan bahwa kelompok fundamentalis ini seringkali menyerang, menyalahkan dan takfiri kelompok Muslim lain yang dianggap berbeda seperti kelompok Muslim arus utama, Syiah dan Ahmadiyah.

Merefleksikan dari tiga argumen yang memberikan persoalan eksklusi atas kelompok fundamentalis, mungkin pilihan politik eksklusif dengan program deradikalisasi hendaknya dikaji dengan lebih matang. Politik inklusif ataukah eksklusif yang hendak dilakukan?

Kita perlu belajar dari represi dan eksklusi yang telah dilakukan oleh rejim-rejim sebelumnya yang ternyata bukan mematikan dan sukses menderadikalisasi tetapi malah membuat resistensi yang lebih kuat dan transformasi dengan strategi-strategi perlawanan yang lebih canggih.

Modernitas, demokrasi dan teknologi yang dianggap ancaman kelompok fundamentalis telah dijadikan peluang dan memberikan keuntungan untuk mereka mengembangkan berbagai strategi gerakan perlawanan.

Sari Oktafiana
Sari Oktafiana
Ph.D researcher di KU Leuven Belgia. Ibu dengan 5 putera-puteri dan senang belajar.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.