Jumat, Maret 29, 2024

Perlunya Pemerintah Menertibkan Buzzer Politik

Jacko Ryan
Jacko Ryan
Mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Airlangga, Surabaya. Dapat dihubungi di jacko.ryan-2017@fisip.unair.ac.id.

Kehadiran penggaung (buzzer) mewarnai rentetan peristiwa yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Kehadiran berbagai media sosial yang dipandang telah memberikan ruang keterlibatan masyarakat dalam berbagai peristiwa nasional yang terjadi justru dimanfaatkan segelintir orang demi tujuan dan maksud tertentu. Bahkan, kegelisahan tersebut diutarakan oleh Kepala Staf Presiden Moeldoko.

Sebagaimana diwawancarai oleh media pada Jumat (4/9), Moeldoko berharap bahwa yang diperlukan saat ini adalah dukungan politik yang lebih membangun. Berbagai langkah telah ditempuhnya untuk meredakan gerak buzzer yang dinilai kerap destruktif seperti mengimbau para buzzer untuk menggunakan bahasa yang nyaman dan tak menyakiti pihak lain.

Ia mengaku sudah menyampaikan langsung kepada influencer, relawan dan berbagai tokoh lainnya. Walau ada kelemahan yang dihadapinya saat ini di mana pihaknya tidak bisa menertibkan para buzzer karen mereka dinilai bergerak dengan caranya masing-masing.

Pembiasan Makna

Kehadiran buzzer memang tidak terlepaskan dari platform politik yang semula diidentikan dengan kegiatan offline seperti mobilisasi keramaian berubah menjadi hadir dalam dunia virtual (online). Transformasi tersebut semula dipandang positif. Trend kampanye politik dengan menggunakan media sosial terus mengalami peningkatan hingga saat ini. Alhasil, berbagai konten kreatif membanjiri liminasa dengan harapan menjadi nilai lebih yang dipandang positif bagi pemilih, terutama bagi kalangan kelas menengah dan anak muda.

Buzzer sendiri dapat didefinisikan sebagai akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian dan/atau membangun percakapan dan bergerak dengan motif tertentu. Dari segi semantik, kata “buzzer” kerap diidentikan dengan bunyi dengung. Karenanya buzzer dikenal juga dengan sebutan penggaung. Ia merupakan pelaku yang terus membuat suara-suara bising seperti dengung lebah.

Akmaliah (2018) setidaknya mengemukakan empat kemampuan yang dimiliki buzzer. Pertama, kemampuan persuasif harus dimiliki seorang buzzer sehingga bisa membuat para pengikutnya membaca apa yang buzzer narasikan dan turut menyebarkannya.

Kedua, buzzer memiliki kemampuan untuk menciptakan jaringan yang luas. Prinsipnya, semakin luas jaringan yang dimiliki, maka daya amplikasinya akan semakin tinggi pula. Ketiga, kemampuannya dalam mengemas konten menjadi menarik dan dapat dimengerti oleh pengikutnya. Terakhir, buzzer digerakkan oleh motif tertentu. Tak menutup fakta bahwa ada buzzer yang bergerak secara sukarela, namun juga ada yang menjadikan itu sebagai sebuah pekerjaan yang menghasilkan pundi-pundi uang.

Motif itulah yang kemudian mengalami pembiasan makna ke arah negatif seperti yang dirasakan saat ini. Penelitian bertajuk The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation karya Samantha Bradshaw dan Philip Howard dari Universitas Oxford (2019) setidaknya mengungkapkan bahwa pemerintah dan partai-partai politik di Indonesia menggunakan buzzer untuk menyebarkan propaganda pro pemerintah/partai, menyerang lawan politik, dan menyebarkan informasi untuk memecah-belah publik.

Itu terwujud melalui berbagai informasi yang menyesatkan media atau publik dan memperkuat pesan dengan terus-menerus membanjiri media sosial dengan tagar. Media sosial yang pernah disanjung sebagai kekuatan kebebasan dan demokrasi kini dikritisi karena perannya yang mengamplifikasi disinformasi, menghasut kekerasan, dan menurunkan tingkat kepercayaan terhadap media dan institusi demokrasi.

Sinergitas Pemerintah dan Masyarakat

Kehadiran buzzer tidak dapat dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Tidak hanya dapat mencederai era kebebasan berpendapat, tidak terkontrolnya buzzer yang terus menarasikan disinformasi dan bersikap desktruktif tentu menjadi ancaman tersendiri bagi terciptanya disintegrasi bangsa.

Kita tahu bahwa gerak cepat pemerintah saat ini terlihat dalam menyusut berbagai kasus hoax, ujaran kebencian, hingga makar dalam media virtual. Juga dengan hadirnya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai unsur legal yang dapat menjerat pelaku. Hal yang sama diharapkan juga berlaku bagi buzzer-buzzer politik yang terbukti membawa pengaruh negatif.

Celakanya, hal berbeda ditunjukkan Kementerian Komunikasi dan Informatika ketika berbicara tentang buzzer. Kominfo menyebutkan bahwa pihaknya tidak memberikan perhatian khusus terhadap aktivitas buzzer di media sosial, namun hanya sekedar langkah pemantauan yang telah dilakukan.

Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini tentunya bisa menjadi alarm bagi pemerintah dan terkhusus bagi Kominfo bahwa langkah pemantauan tidaklah cukup untuk menertibkan buzzer. Berbagai regulasi harus tercipta agar sejumlah buzzer yang dikhawatirkan dapat menyebabkan disintegrasi dapat segera ditindak. Itulah yang juga menjadi harapan bagi Kepala Staf Presiden Moeldoko yang menilai bahwa para buzzer memang perlu ditertibkan.

Menjadi kekhawatiran tersendiri yakni ketika buzzer politik memang sengaja dijadikan infrastruktur dalam sistem politik yang ada. Bukan suatu hal yang mustahil jika keberadaan buzzer politik tetap dilestarikan karena menguntungkan pihak penguasa. Peran media massa sebagai penyaji dan pelopor sikap kritis justru meredup karena munculnya buzzer politik.

Di sisi lain, masyarakat yang dalam keadaan minim literasi media dan informasi diposisikan hanya sebatas konsumen dari berbagai informasi yang bersifat propaganda. Inilah kemudian mereduksi kekuatan demokrasi yang selalu mengandaikan kebebasan media. Dalam demokrasi, penting untuk hadirnya media sebagai wahana netral, pengawal jalannya reformasi serta public interest lainnya, dan bisa pula mewakili atau berada di atas semua kelompok masyarakat, tanpa kehendak untuk menguasai satu di antara lainnya.

Menyikapi itu, maka penting literasi media dan informasi dalam masyarakat guna meningkatkan jiwa kritis. Melalui itu, muncul masyarakat yang dapat menginterpretasikan dengan baik suatu pesan yang disampaikan buzzer politik dan informasi yang terkandung di dalamnya. Literasi media dan informasi akan mengajak individu untuk dapat mengakses dan menemukan informasi, melakukan identifikasi informasi yang dibutuhkan, mengevaluasi informasi, serta menggunakan informasi secara efektif.

Yang terpenting dari proses tersebut yakni kemampuan masyarakat dalam menemukan fakta serta membedakan antara fakta valid dan opini yang ada pada sajian informasi yang membanjiri media virtual.

Juga dengan pentingnya etika dalam menghadapi kemajuan komunikasi dan teknologi. Etika hadir sebagai pedoman dasar dalam kemajuan komunikasi dan teknologi untuk dapat membedakan baik buruknya suatu informasi yang didapatkan. Melalui itu semua, diharapkan bahwa proses komunikasi akan berlangsung dengan ramah dan tetap menjunjung tinggi asas komunikasi dalam media virtual berupa partisipasi, keterbukaan, percakapan, dan komunitas keterhubungan yang baik antara komunikator dan komunikan.

Jacko Ryan
Jacko Ryan
Mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Airlangga, Surabaya. Dapat dihubungi di jacko.ryan-2017@fisip.unair.ac.id.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.