Pelaku bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Kota Medan, Sumatera Utara (13/11) ditengarai terpapar pandangan ekstrem dari istrinya sendiri. Fenomena ini menjadi unik karena dalam sejarah kelompok ekstrem di Indonesia, seorang istri biasanya bukanlah pendoktrin atau aktor utama serangan terorisme.
Perempuan biasanya sebatas pengikut setia suami dan kedudukannya cenderung bersifat domestik. Namun dalam tren terorisme mutakhir, perempuan bukan hanya menjadi pendamping suami, tetapi juga menjelma sebagai ideolog, perekrut ulung sekaligus menjadi pelaku serangan teror.
Dalam sejarahnya, serangan terorisme di Indonesia lebih banyak dilakukan dan didominasi oleh pelaku laki-laki, baik serangan yang bersifat individu maupun kelompok yang terstruktur. Misalnya serangan Bom Bali I (2002) dan II (2005), Bom JW Marriot (2003), Bom Kedubes Australia (2004), Bom Masjid Az-Dzikra Cirebon (2011), Bom Thamrin (2016), Bom Mapolresta Solo (2016) dan Bom Kampung Melayu (2017). Namun demikian, berbeda dari serangan-serangan ini, aksi teror mutakhir ini justru turut melibatkan perempuan.
Dalam satu setengah tahun terakhir misalnya, sejak Mei 2018 hingga 13 November 2019, sudah ada lima kasus teror bom yang melibatkan perempuan. Bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya (13/5/2018) melibatkan Puji Kuswati bersama suaminya serta dua anaknya. Bom rakitan di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo Jawa Timur (13/5/2018) melibatkan Sari Puspitarini beserta suaminya.
Bom bunuh diri di Polrestabes Surabaya, (14/5/2018) melibatkan Tri Ernawati beserta suami dan kedua anaknya. Bom bunuh diri di Kabupaten Sibolga, Sumatera Utara (13/3/2019) melibatkan Solimah, istri dari Abu Hamzah dan dua anaknya tewas. Dan terakhir, ledakan di Medan (13/11/2019), istri pelaku tidak hanya diduga meradikalisasi suami, tetapi juga merencanakan aksi teror di Bali.
Berbagai peristiwa teror tersebut menyiratkan suatu bentuk perjuangan baru bagi perempuan ekstremis. Aksi ini merupakan cara baru yang dinilai efektif, karena teror bom yang dilakukan seorang perempuan tidak mudah diidentifikasi pergerakannya. Sementara pihak penegak hukum akan makin rumit mendeteksi gerak-gerik perempuan karena pola dan pergerakannya yang personal.
Dalam kasus terorisme, perempuan cenderung tidak dicurigai ataupun diperiksa oleh aparat. Perempuan pun cenderung dianggap sebagai pihak yang jarang masuk dalam radar atu pantauan aparat keamanan.
Terus Meningkat
Menurut Katharinavon Knop, dalam buku The Female Jihad,beberapa tahun terakhir ini keterlibatan perempuan dalam aksi kekerasan terorisme global terus meningkat. Di negara-negara Eropa seperti Jerman, Irlandia, dan Italia, Peru di Amerika Latin, juga di Gaza dan Tepi Barat di wilayah pendudukan Israel dan Palestina hingga Rusia dan Chechnya, Sri Lanka, India, Turki dan Yordania, termasuk belakangan di Irak tercatat keterlibatan perempuan dalam aksi ekstremisme kian menguat.
Di Indonesia sendiri, keterlibatan perempuan dalam gerakan terorisme pertama kali terlihat dalam kasus Dian Yulia Novi (2016). Dian mengaku mengalami proses doktrinasi jihad-qitalmelalui internet oleh suaminya sendiri, Nur Sholihin, anak buah Bahrun Na’im, salah satu pemimpin Islamic State (IS) asal Indonesia.
Berikutnya, kasus Santoso, pemimpin Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang melibatkan tiga istrinya ikut bergerilya di dalam hutan. Posisi perempuan pun cukup beragam, di antaranya sebagai informan, kurir, mata-mata, pendidik, perekrut, serta pelindung manusia (human shield). Perempuan biasanya juga mengelola narasi-narasi atau konten ekstrem di media sosial atau internet.
IS menganggap keterlibatan perempuan dalam aksi teror menjadi penting karena semakin sedikit laki-laki yang mau melakukan amaliyat. Selain itu, kaum perempuan dianggap lebih loyal dari laki-laki pada ajaran dan ideologi ekstrem. Perempuan pun dinilai lebih militan dalam melakukan aksinya.
Apalagi bagi mereka yang pernah mengalami trauma, masalah, dan konflik keluarga atau masalah lainnya. Dalam keadaan demikian, perempuan bisa menjadi jauh lebih militan dari laki-laki. Apalagi, perempuan memiliki daya tarik tersendiri bagi media massa, terutama di era media sosial.
Tertarik
Pertanyaannya, apa yang menarik perempuan sehingga berani melakukan aksi amaliat dan terlibat dalam aksi teror mempertaruhkan nyawanya sendiri? Setidaknya ada empat faktor. Pertama, faktor relijius.
Kita tahu, kelompok ekstremis sangat gencar, terutama di media sosial menyuarakan propaganda bahwa umat Islam sedang tertindas dan diserang, karena itu umat diminta bangkit dan melawan. Kedua, faktor ideologis. Sepintas kalangan ekstremis terdengar kuat memperjuangkan keadilan dari berbagai konflik yang terjadi di sejumlah wilayah konflik.
Ketiga, faktor masalah pribadi atau trauma. Dalam keadaan terpojok, seorang perempuan dengan mudah terpengaruh paham-paham yang seolah menawarkan solusi. Keempat, faktor politis.
Beberapa terma seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, dan berbagai diskriminasi adalah narasi yang juga kerap disuarakan kelompok ekstremis. Dengan narasi yang memukau, para perempuan kemudian tertarik melakukan perlawanan terhadap pemerintah dan aparat penegak hukum.
Kelima, faktor kekalahan IS di wilayahnya sendiri. Ajakan kepada perempuan untuk terlibat dalam aksi teror mengemuka setelah IS mulai terjepit. Pemimpin IS mengajak perempuan melakukan amaliyat di negara masing-masing untuk menggugah semangat laki-laki. Pesan yang ingin disampaikan adalah kalau perempuan saja bisa melakukan amaliat, maka laki-laki seharusnya lebih bisa. Strategi ini pun menyasar laki-laki agar lebih berani meskipun melanggengkan streotipe yang berlaku.
Fenomena keterlibatan perempuan dalam ekstremisme ini menunjukkan bahwa proses radikalisasi saat ini justru berawal dari orang-orang dekat di lingkungan keluarga sendiri. Karena itu, penanggulangan terorisme tidak cukup hanya dengan melakukan penangkapan, namun juga harus ada upaya preventif agar ideologi ekstremisme tidak terus berkembang. Penanganan terorisme pun harus menyentuh akar persoalan yang substansial, yaitu memutus rantai ideologi paham ekstremis.