Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Sebagian besar wilayahnya berupa lautan, sisanya sebesar 1.919.000 km2 merupakan daratan. Luasan daratan ini melebihi luasan daratan Eropa Barat, tentunya dengan luasan sebesar itu merupakan sebuah modal yang baik bagi sebuah negara. Selain areanya yang luas, kondisi lahan di Indonesia begitu subur, bahkan konon katanya tongkat kayu dan batu pun bisa jadi tanaman.
Beberapa informasi (Boomgard 1993 dan Burger 1960) memuat keterangan bahwa sebelum Kompeni datang ke wilayah Nusantara, masyarakat umumnya melakukan kegiatan pemanfaatan lahan sebagai lahan pertanian.
Saat itu lahan merupakan sumberdaya yang relatif tak terbatas, artinya orang dapat menguasai tanah sebanyak yang ia mampu. Persoalan yang muncul pada saat itu bukan bagaimana menguasai tanah, tetapi lebih ke persoalan bagaimana menguasai sumberdaya manusia lebih banyak agar dapat mengusahakan tanah yang telah dikuasainya.
Namun, seiring berjalannya waktu dan perkembangan jaman, permasalahan tanah/lahan ikut berkembang. Saat ini, lahan diperebutkan oleh banyak sektor, diantaranya sektor pertanian, permukiman, dan industri. Bahkan, orang mati pun masih ikut memperebutkan lahan dalam bentuk kuburan.
Perebutan lahan oleh berbagai sektor tidak dapat diantisipasi dengan baik oleh pemerintah. Buktinya adalah padatnya kawasan perkotaan yang sebagian besar di dominasi oleh permukiman landed house.
Dikutip dari jurnal Pieter J. Kunu dan H. Lelolterry, dikatakan bahwa pada tahun 2008 sekitar 86.3% lahan di Jakarta digunakan untuk permukiman. Hal yang memperparah situasi ini adalah, permukiman di Jakarta umumnya berupa permukiman yang tumbuh sendiri tanpa perencanaan.
Akibatnya, rumah-rumah saling bertumpuk menyemut dalam area yang luas dengan aksesibilitas yang sulit. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi terjadi hampir di semua kota di Indonesia. Salah satunya di kota Bandung, sebesar 55% lahan digunakan sebagai permukiman. Umumnya, permukiman ini terletak di area strategis atau pusat kota.
Bagi saya, penggunaan lahan yang didominasi oleh permukiman padat tidaklah efektif. Bayangkan, seandainya permukiman tersebut dikonversi ke hunian vertikal, kita akan mendapatkan ruang-ruang baru yang bisa dimanfaatkan untuk pusat ekonomi/perdagangan, RTH, dan lain-lain.
Selain itu, adanya aglomerasi kawasan permukiman dengan aksesibilitas yang baik, otoritas setempat akan mudah mengintegerasikannya dengan transportasi umum. Tentu beriringan dengan peningkatan kualitas layanan transportasi umum, perlahan penggunaan kendaraan pribadi bisa dikurangi.
Dampaknya, kesemrawutan lalu lintas akan berkurang perlahan. Selain itu, PKL yang selama ini berdesakan menempati ruang publik yang strategis, bisa mendapatkan ruang untuk mencari nafkah, hal ini karena adanya ruang-ruang baru yang tercipta karena penataan permukiman.
Dari uraian di atas, sedikit banyak membuktikan bahwa tata kelola permukiman merupakan hal yang sangat penting dan sangat vital. Permukiman merupakan pusat sebaran penduduk ketika akan beraktivitas. Ketika kita mampu mengaturnya, urusan tata kelola kota akan lebih mudah diselesaikan.
Saat ini okupansi lahan oleh permukiman begitu besar, tapi tidak teratur dan terlalu padat sehingga memberikan dampak yang sistemik dan serius, yaitu kesemrawutan dan kemacetan.
Padahal, rumah hanya digunakan sebagai tempat untuk beristirahat dan berkumpul. Tidak elok rasanya ketika lahan strategis habis hanya digunakan untuk permukiman yang penggunaan lahannya tidak efektif.
Dalam beberapa kasus di kota besar, pemerintah seharusnya berani untuk mengkonversi permukiman padat ke hunian vertikal. Tentu ini bukan pekerjaan yang mudah, butuh kreativitas dan keberanian yang tinggi untuk merealisasikannya.
Jika pemerintah tidak berani, setidaknya kota-kota kecil yang belum begitu padat penduduk harus sudah mulai dialihkan ke hunian vertikal, agar pemanfaatan lahan lebih efektif dan dapat digunakan untuk sektor yang lainnya. Jangan sampai kota-kota tersebut jatuh ke lubang yang sama seperti Jakarta dan Bandung.
Saya berharap, pemerintah pusat dan daerah sudah memahami permasalahan ini. Langkah konkret yang bisa dilakukan adalah dengan memperbesar anggaran untuk menata permukiman, baik yang eksisting ataupun yang baru.
Semoga kasus alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman tidak terjadi lagi. Dan semoga wajah semrawut kota-kota di Indonesia segera berubah. Jika tidak dimulai sekarang, mau kapan lagi?